PROLOG ✔

7.8K 586 83
                                    

Apakah kalian pernah mendengar ada satu kota bernama Sangatta?

Jika jawabannya belum, berarti kalian sama saja dengan manusia-manusia lainnya.

Cobalah sesekali buka atlas (maaf, itu pun jika kalian punya), lalu lihatlah bagian timur pulau Kalimantan. Atlas edisi terbaru pasti terdapat titik yang bertuliskan kota Sangatta. Jika tidak ada, salahkan atlas kalian yang ternyata belum update.

Sangatta merupakan ibu kota kabupaten Kutai Timur. Kalau kalian ingin ke sini, kalian harus menempuh perjalanan darat super melelahkan selama berjam-jam dengan jalanan yang sungguh dangdut. Ah, kalian pasti akan tahu sendiri sensasinya jika berkunjung ke kota ini.

Sebagai orang yang sejak lahir sudah tinggal di Sangatta, Nada seringkali kesulitan untuk mencari spot-spot menarik hanya untuk sekadar nongkrong di luar rumah dan sekolah. Pilihan tempatnya bahkan bisa dihitung dengan jari. Alternatif terakhir sudah jelas, yaitu di Town Hall.

Town Hall?

Gadis itu langsung menyadarkan diri, mengenyahkan imajinasi liar terkait masa lalunya bersama laki-laki itu. Kalau ia masih nekat untuk lanjut melamun di tengah perjalanannya, Nada bisa membahayakan dirinya sendiri. Tentu saja dia tidak mau jatuh dari motor untuk kesekian kalinya.

Selepas memori singkat yang tiba-tiba muncul tanpa izin, gadis berambut sebahu itu kembali fokus mengendarai motor matic-nya. Tidak peduli sudah berapa puluh kendaraan yang mendahuluinya, dia hanya ingin menikmati pemandangan sekitar selama perjalanan menuju tempat istimewa.

Memang benar, bagi Nada, tempat yang akan didatanginya adalah tempat yang sangat istimewa.

Seperti saat ini. Setiap kali ada kesempatan, Nada menyempatkan diri untuk singgah ke tempat ini.

Tempat penuh kenangan yang hanya Nada dan laki-laki itu saja yang tahu.

Tempat yang membuat Nada teringat kembali akan kenangan dirinya bersama laki-laki itu, kenangan yang seharusnya sudah berhasil dilupakannya, namun ternyata semesta tidak merestui.

Puncak.

Sebenarnya nama asli tempat ini adalah Bukit Pandang. Namun, laki-laki itu mengenalkan tempat ini dengan sebutan Puncak Sangatta. Sampai saat ini, Nada lebih suka menyebut tempat kenangan ini dengan nama pemberian laki-laki itu, Puncak.

"Kapan-kapan bawa aku ke sana. Nggak mau tahu. Kemarin kan nggak sempat. Eh, maksudku nggak jadi."

"Bukan nggak jadi, tapi tertunda," ralatnya cepat.

"Kayaknya aku memang nggak berjodoh ke sana."

"Lain kali kita ke situ."

Nada sangat antusias mendengar hal itu. "Serius? Janji?"

"Iya."

Mengingat percakapan itu, Nada tersenyum miris.

Omong kosong.

Sudah hampir sepuluh menit perempuan berambut sebahu itu berdiri menunggu senja datang menghampirinya. Akan tetapi, senja yang ia inginkan belum terlihat sama sekali. Bahkan tanda-tanda kemunculannya pun tidak ada. Langit terlalu kelabu untuk memamerkan pesonanya.

Lagi-lagi Nada datang di waktu yang tidak tepat.

Sama seperti dulu.

Nada mengacak-ngacak tas selempang biru dongkernya dan mengeluarkan sebuah amplop dari dalam sana.

Gadis itu menghela napas panjang, terselip keraguan untuk membuka amplop tersebut, sekalipun sebenarnya ia sangat ingin tahu.

Selagi menimang-nimang, mata Nada seperti kemasukan debu. Sebentar lagi dapat dipastikan air matanya akan meluncur begitu saja.

Langit seolah turut berkabung dengan apa yang Nada rasakan. Nada menengadah ke langit, tangannya terjulur hingga dia dapat merasakan setetes hujan jatuh tepat di telapak tangannya yang bebas. Tanpa sempat dibuka karena takut kebasahan, Nada memasukkan kembali benda persegi panjang itu ke tempat asalnya.

Tidak jauh dari posisi Nada, bayangan seseorang tampak semakin mendekat. Langkahnya begitu pasti.

Baiklah, revisi pernyataan sebelumnya. Kini tambah satu orang lagi yang tahu tentang tempat penuh kenangan ini, meskipun sebenarnya dia tidak diizinkan untuk tahu.

Seseorang itu kini menghentikan gerakan kakinya ketika sudah berdiri tepat di samping Nada.

Kehadiran laki-laki di sampingnya membuat Nada berpaling dan buru-buru menghapus air mata yang sudah terjun bebas dengan punggung tangannya.

Nada berusaha untuk terlihat baik-baik saja. Dia pun melayangkan sebuah senyuman kepada laki-laki itu. Hanya senyuman kaku yang bisa Nada berikan karena sebagian besar isi pikirannya telah kembali tersita oleh kenangan masa putih abu-abu.

"Nad, are you okay?"


Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Cerita Tentang KitaOn viuen les histories. Descobreix ara