Siang di Tanzania

60 1 0
                                    

Debu mengepul, tumbuh merupa jamur payung di musim panas, menggeliat di panasi terik mentari. Awan menepi, seperti segan pada matahari yang semakin memanas, seolah ada satu atau dua hal di muka bumi yang membuatnya geram. Berselimutkan terik Raja Hari, aku cuma bisa berdiam kaku, menyibukkan kepala akan rencana-rencana dan hati untuk tetap berdoa. Di depanku, sehasta jaraknya, aku melihat sekumpulan makhluk-makhluk kelaparan, para dubuk yang tak tahu santun, sementara di sabana ini hanya ada aku dan sebatang baobab yang tinggi menjulang di belakangku. Akankah begini kematianku? Tubuh kurus kering ini pastinya akan terasa lezat saat dicabik-cabikkan oleh gigi-gigi yang seperti gergaji itu.

Kepalaku menengadah, mencoba menghitung setiap daun yang ada di dahan baobab. Aku sedang sial. Siang terlalu kejam hari ini. Belum selesai aku berhenti mengeluhi panas, sekarang para dubuk mulai mendekat. Mungkin saja mereka mencoba menjual sebuah tawaran padaku, pengakhiran akan neraka yang memanggang ini. Tapi aku tak bisa senang. Sebab apa gunanya itu kalau aku harus membayarnya dengan nyawaku? Harga yang terlalu mahal dan aku terlalu miskin.

Aku bisa saja lari. Tapi sabana ini seperti lapangan bola yang tak berujung, bukan jalan yang punya banyak cabang dengan jalur yang menyesatkan. Kalau aku lari, mereka tentu saja tetap akan mengejarku, lalu, bagaimana kalau sabana ini tak punya batas dan para dubuk itu tak pernah lelah?

Dalam Lipatan Origami: Kumpulan Cerita Singkat oleh Kell AllanWhere stories live. Discover now