Follow your heart, because your heart will never lie.

416 0 0
                                    

“Cinta yang seperti apa lagi yang kau inginkan? Kesabaran yang seperti apa lagi yang kau dambakan?” Sebait kalimat sederhana milikku tertulis jelas di dinding facebook-ku, yang kini sudah terasa seperti diary.

            Aku telah cukup lelah, mengalah pada setiap apa yang seharusnya tidak aku korbankan—harga diriku. Semuanya telah hancur, semenjak aku selalu memaafkan setiap perbuatan manisnya berkali-kali. Perbuatan yang selalu sama sedari awal. Perbuatan yang terasa sangat-sangat manis, sampai-sampai aku mual dibuatnya!

            “Makanya, Cher, jadilah wanita baik yang tegas!” ucap Rere, sahabat terbaikku semenjak memasuki masa perkuliahan. Ia mengacungkan jari telunjuknya sebagai tanda bahwa itu adalah sebuah peringatan keras yang sudah seharusnya dipatuhi. Namun pada kenyataannya, telah berkali-kali aku langgar. Dan, aku selalu mendapati diriku terpuruk di akhir kejadian. Pintar!

            “Well, artikel gue mengenai kebiasaan seseorang yang hobby mencoba jenis makanan dan minuman baru itu jadi terbukti kebenarannya semenjak dia mengkhianati lo lagi.”

            Aku meneguk perlahan-lahan teh manis hangat yang telah ku aduk sebelumnya dengan dua sendok teh gula pasir pada mug berwarna merah muda polos yang bertuliskan, “Follow your heart!” dengan tulisan miring dan tebal di kedua sisi cangkir. Cangkir cantik yang ku rangkai sendiri kata-katanya di sebuah toko penyablonan. “Mungkin karena cangkir itu lo jadi terlalu mengikuti kata hati, Cher,” kata Rere. Rere sudah berkali-kali menyuruhku membuang cangkir itu, tetapi aku menolaknya. Cangkir itu tak bersalah, menurutku. Ia hanya sebuah benda mati dengan sepenggal kalimat kesukaanku yang artinya sama sekali tak memiliki kesalahan sedikit pun. Sama sekali tidak!

            “Kata hati tak pernah salah, ia selalu tau kemana harus berlabuh.” Aku menuliskan sebuah kalimat sederhana hanya untuk meluapkan perasaanku saat itu pada akun halaman facebook-ku sore ini. Sebenarnya, itu juga sebagai jawaban dari perkataan Rere yang lagi-lagi menyuruhku untuk membuang cangkir kesayanganku itu.

            Menurutku, kata hati memang tak pernah salah. Sepertiku kali ini, yang sudah tiga kali banyaknya memaafkan kesalahan Aldo, seorang lelaki yang telah menjadi kekasihku sejak empat tahun lamanya. Waktu yang tidak sedikit untuk ukuran berpacaran, bukan?

            Selama ini, aku selalu memaafkannya karena satu alasan—cinta. Bukan hanya cinta, aku juga berfikir bahwa ini juga merupakan kesalahanku. Aku terlalu mengekangnya. Aku terlalu menggenggamnya dengan erat, sampai-sampai ia jengah, lalu mencari kehangatan pada wanita lain. Dan, aku juga sering mempermasalahkan masa lalunya yang cukup buruk. Aku terlalu ingin membuang masa lalunya. Menghapusnya. Bahkan membunuhnya, kalau perlu. Aku memusuhi masa lalunya!

            “Nggak ada alasan—sebaik apapun, jika itu menyangkut pengkhianatan, Cher.”

            “Gue tau, Re. Tapi, ini bukan cuma kesalahannya aja. Ini salah gue juga yang terlalu mengekang dia. Aldo nggak seburuk dan sejahat yang lo fikir kok, Re. Menurut gue, dia hanya belum ingin terikat. Ini semua hanya masalah waktu.”

            “Kalau dia belum ingin terikat sama lo, artinya dia juga nggak menginginkan lo, Cher. Realistislah!”

            Aku memang keras kepala. Aku juga termasuk tipikal seorang wanita yang memiliki rasa penasaran yang tinggi. Dan, aku adalah seorang wanita yang selalu ingin membuktikan apa yang aku percayai. Aku ingin memberitahu semua orang yang tidak mempercayainya bahwa apa yang ku percayai itu benar, dan bukan hanya sebuah kepercayaan saja. Meskipun aku tahu, untuk hal yang satu ini tak seharusnya aku berbuat sampai sedemikian rupa.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 30, 2014 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Ikuti Kata Hatimu!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang