03. Pembunuhan di Rumah Maneken Lilin [2]

461 53 2
                                    

Mbak Rina dan aku melihat ke dalam, dan ruang itu terbakar. Dan yang lebih mengejutkan lagi, Dwi tergantung dengan dada tertusuk pisau oleh tangannya, dan dia memasang sayap.

Mbak Rina terpaku diam sejenak melihat hal itu. Dia melihat ke arah yang tidak menentu, seolah ingin meminta bantuan. Kemudian datanglah Firdaus dan Manunggal yang berlari juga. Tak lama setelah itu, datanglah Pak Wawan dengan membawa handuk basah.

Tak lama kemudian, api berhasil dipadamkan. Setelah itu, Pak Wawan memberi isyarat kepada Manunggal untuk melepas tali yang menjerat leher Dwi. Manunggal yang sepertinya paham, mengangguk kemudian mendekati Dwi.

Tap!

Manunggal dengan refleksnya mengangkat kaki, dan dia memandangi Dwi. Kuperhatikan sayap itu, sepertinya terbuat dari lilin. Ruangan yang panas itu nampak membuatnya meleleh.

Manunggal mengambil kursi, menaikinya dan melepaskan sayap yang dipasang Dwi dahulu. Pak Wawan menyambutnya perlahan karena terlihat masih panas kemudian pergi ke ruang pembuatan.

Sementara itu, Manunggal berhasil menurunkan Dwi dengan bantuan Mbak Rina. Setelah berhasil diturunkan, Manunggal mencabut tusukan pisau itu.

"Ya, ini pisau yang dia cari tadi," katanya sambil menunjukkan pisau itu kepada kami. Sementara itu Mbak Rina masih tidak bisa berkata-kata dan terus membangunkan Dwi, berharap dia masih hidup. "Mungkin ia merasa bersalah melukai perasaanmu, Tri, sehingga membunuh dirinya," lanjut Manunggal.

Mbak Rina langsung memalingkan wajahnya ke arah Manunggal. Dia terlihat kesal setelah mendengar ucapan tersebut.

"Seharusnya hal itu tidak perlu, aku sudah memaafkannya," jawab Tri.

Firdaus bertanya kepadaku dengan bisikan. "Seandainya dia bunuh diri, kenapa harus seribet ini?"

"Aku akan menelepon polisi!" ucap Mbak Rina tegas. Beliau nampaknya ingin mengetahui apa yang terjadi dengan Manunggal. Aku menduga beliau tidak ingin berpikir bahwa Dwi bunuh diri.

Pak Wawan sontak memberi isyarat 'jangan'. Kepala beliau yang menggeleng berkali-kali dan tangan yang melambai. Aku sangat heran dengan beliau.

Firdaus kemudian menyarankan untuk menelepon ambulans saja, agar jasad Dwi dapat diautopsi. Mbak Rina kagum dengan ide tersebut. Beliau bergegas pergi menuju telepon di ruang utama.

Aku salut dengan sarannya. Kami bisa mengetahui apakah dia memang bunuh diri atau dibunuh dengan hal tersebut.

Berselang beberapa menit, datanglah ambulans. Pak Wawan dan Manunggal mengangkat Dwi, aku dan Firdaus mengikuti mereka sampai di depan pintu. Para perawat membukakan pintu sementara Pak Wawan dan Manunggal memasukkan Dwi ke dalam.

Manunggal nampak kelelahan, dan dia langsung mencari ibunya. Dia menanyakannya kepada kami. "Beliau masih di ruang utama," jawab Firdaus.

"Oh ya? Kalau begitu, aku mencarinya dulu." Manunggal masuk lagi ke rumah, diikuti pak Wawan.

Aku mendekati para perawat yang berada di ambulans. Firdaus hanya mengikutiku. "Saya meminta orang ini diautopsi secepatnya, karena saya ingin tahu penyebab kematiannya," kataku.

"Kami usahakan, tapi kemana kami akan menyatakan hasil autopsi?" jawab salah satu perawat.

"Kalian bisa meneleponku di nomor ini," kata Firdaus sambil merogoh sakunya dan mengeluarkan ponsel. Dia akan menyebutkan nomornya. Perawat itu meminjam ponsel sang supir sementara menyimpan nomor yang disebutkan Firdaus.

Urusan kami sudah selesai. Pintu ambulans ditutup dan pergi. Aku menanyakan kepada Firdaus, "Kamu bawa ponsel?" tanyaku.

"Tentu, aku selalu membawanya bersamaku. Ada apa memangnya?" jawab Firdaus.

Detektif Sekolahan | TERBITTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon