Dua; Hidupku Berharga?

4.7K 661 101
                                    

2021

Aku ingin bercerita tentang pertemuan kita, tentang marahku di kali pertama, di mana kamu menganggap matiku adalah hal biasa.

Namun di kali kedua, kamu menjadi satu-satunya yang membuat dadaku berdegup lebih cepat dari sebelumnya ...

Katamu, hidupku berharga.

***

2020

Tidak ada yang mencoba bicara di sana. Mereka terlalu fokus, entah pada makanan di piringnya, atau pada isi kepalanya. Denting-denting sendok menjadi satu-satunya suara.

Gadis itu sengaja mempercepat makannya. Ia tidak tahan berada di sana. Maka setelah suap terakhir, ia bangkit dan meneguk segelas air putihnya dengan cepat.

"Aku berangkat–"

"Duduk!" potong pria paruh baya yang kini masih sibuk dengan suap demi suapnya.

Di sisinya, seorang wanita duduk anggun dengan setelan kantornya. Diam, seolah tak terganggu dengan ketegangan di sana.

"Duduk, Tera!"

Suara itu menggema, keras, seolah menampar telinga Tera. Hingga gadis itu duduk dengan terpaksa.

"Kamu tau kesalahan kamu?"

Tera memilih diam, memainkan kancing blazer sekolah yang ia kenakan. Menunduk, karena warna merah-hitam di roknya lebih menarik dari ekspresi marah Papa. Jemari gadis itu mengepal kuat, menahan sesuatu yang memaksa keluar dari dalam dirinya.

Memilih diam, karena ia sudah tau apa yang akan terjadi selanjutnya.

Jangan meledak ... jangan sekarang.

***

"Khatera Gassani lagi?"

Gadis berambut sebahu itu mengerjap polos saat Pak Soni melempar tatapan mautnya. Ada tanduk tak kasatmata di kepala Pak Soni yang sayangnya tak mampu membuat Tera ciut.

Upacara telah usai. Barisan siswa di lapangan memudar tapi Tera justru terjebak di sini karena tidak membawa topi. Padahal penyamarannya sudah keren sekali. Ia berdiri dengan setengah menekuk kaki di barisan tengah, memilih berada di antara teman-temannya yang tinggi. Namun mata Pak Soni ternyata tak bisa dikelabui.

"Itu seragam kamu siapa suruh dikeluarin begitu?"

Buru-buru gadis itu memasukkan ujung seragam ke dalam roknya. Wajahnya menunduk, menutup keluhan lirih dari bibirnya. "Ini keluar sendiri, Pak. Bandel emang."

"Iya, kayak kamu! Makanya pakai baju yang longgar! Itu kurang bahan atau gimana?" Pak Soni berjalan mengelilingi Tera yang sontak membuat jantung gadis itu terpacu. "Aturan sekolah kita lengannya harus lima centimeter di atas siku. Lah kamu?"

Tera memegang lengannya. Alasan apa lagi, ya, sekarang? Tera menghela napas panjang. "Mungkin saya tumbuh terlalu cepat, Pak, jadi gampang sempit seragamnya."

"Kamu ini, ngeles aja kerjaannya! Sekarang kamu hormat bendera sampai jam istirahat nanti! Nggak boleh ngeluh! Nggak boleh pergi sebelum bel bunyi!"

"Tapi, Pak--"

"Nggak ada tapi!"

Seketika mata gadis itu membola. Ia tidak bisa membayangkan betapa pegalnya tangannya nanti. Astaga. Tera janji pada diri sendiri, besok dia akan beli topi satu lusin untuk disimpan di laci.

Forget MeWhere stories live. Discover now