Hujan yang sangat lebat nan petir yang bergemuruh di langit membuat suasana kota Vannesrain menjadi kelam dan seperti tak berpenghuni. Bangunan-bangunan berjejeran dengan berjarak tertutup dengan rapat, begitu juga dengan jendelanya, seperti rumah tua jaman dahulu dengan khas warna kecoklatan, beberapa bangunan terlihat megah terguyur air hujan dan beberapa rumah mungil berdiri dengan kuat. Tak terdapat warna-warni bunga juga taman, hanya lapangan besar dengan rerumputan hijau yang lumayan luas. Tiada toko-toko maupun minimarket yang menampakkan diri menjualkan barang dagangan, kota ini hanya penuh dengan bangunan yang berjarak juga rumah-rumah mungil. bau khas tanah terguyur hujan yang hanya ada.
Memang, kota ini berbeda dengan kota-kota lainnya, kota kecil dengan penuh bangunan dibandingkan dengan kota besar dengan berbagai macam taman, warna-warna rumah yang berseri-seri dan juga ramai penduduk, mungkin hanya sekitar puluhan orang yang tinggal di kota Vannesrain ini. Dan keunikan kota ini, kota ini selalu diguyur oleh hujan. Hujan deras dengan gemuruh gemuruh. Hampir seluruh luar penduduk kota ini bertanya-tanya, mengapa kota ini selalu diguyur oleh hujan? Ada kisah yang mengatakan bahwa sebelum kota ini dijuluki sebagai Kota Hujan, Terdapat sebuah kerajaan besar yang dipimpin oleh Raja yang sangat adil dan dengan penduduknya yang sejahtera, kota ini begitu memiliki barang-barang kebutuhan yang melimpah, hingga suatu saat pemimpin kota entah darimana asalnya iri dengan kejayaan kota ini, Ia membunuh raja disaat raja tidur sehingga kesedihan melanda, pemimpin kota yang membunuh raja itupun dieksekusi mati. Kematian raja penuh wibawa itu mendatangkan kesedihan yang tak pernah berakhir, tiada lagi yang ingin mengganti kepemimpinan, kerajaan itupun menjadi penduduk biasa. Suasana penuh kebahagiaan pun tergantingkan dengan kesedihan mendalam hingga akhirnya Hujan turun dan tak pernah berhenti, seolah turut berduka cita atas kematian Raja itu. Maka dari itulah kota yang awalnya bernama Kota Vanessa ditambahi dengan kata Rain menjadi Vannesrain.
Kota ini selalu menjadi persembunyian orang-orang dari kota luar, karna kota ini tidak ada pemimpin jadi mereka memberi kebebasan siapapun yang masuk. Namun walaupun dibebaskan tak jarang orang mau tinggal di kota senyap ini, kebanyakan malah mereka keluar dari kota ini. Dan dimana pendapatan mereka untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari? Ya di pukul lima sampai enam pagi hujan terkadang mulai menjadi gerimis, memudahkan para ibu-ibu dengan payung mereka keluar untuk membeli kebutuhan keluar di perbatasan kota yang ramai orang luar menjualkan berbagai macam makanan juga kebutuhan lain, tentu saja itu adalah keuntungan bagi mereka karna banyak sekali orang-orang dari kota hujan yang harus membeli kebutuhan, lagipula didalam pun tak ada satupun yang berjualan. Namun ternyata tak sembarang orang yang memiliki payung. Payung di Kota Vannesrain ini sangat langka dan orang-orang yang memiliki payung dianggap beruntung dan yang tidak memiliki payung dianggap tidak beruntung. Jadi, bagaimana dengan orang yang tidak memiliki payung? Di kota ini setiap rumah memiliki pohon masing-masing, pohon itu adalah buah khas dari kota hujan, sangat unik karna Ia tetap tumbuh dengan subur walau tiap hari hujan mengguyur dan buah itu pun cukup untuk mengenyangkan perut jadi tak masalah jika harus makan buah itu setiap hari.
Seorang gadis berumur 17 tahun itu selalu saja duduk di dekat jendela, tak bosan-bosannya memandangi hujan yang turun, entah apa yang dia pikirkan. Namun wajahnya terlihat damai dan tenang, tak terlihat sedih dan tak terlihat bahagia. Disampingnya terdapat keranjang yang berisi dua buah, sepertinya telah tersisa dan akan mengambil lagi didepan sana, karna pohon disampingnya sudah penuh dengan buah yang terlihat segar. Gadis itu beranjak dengan keranjang buah ditangannya, Ia menaruh dua buah itu di meja dan berjalan menuju pintu keluar. Ia menghela nafas dan berlari menuju samping, titik-titik hujan mulai mengenai rambutnya, untungnya pohon besar itu sedikit melindunginya dari basah. Tangannya mulai aktif mengambili satu persatu buah ranum yang siap dimakan itu hingga keranjangnya penuh dan pohon itu mulai kosong Ia segera berlari untuk masuk. Geluduk dengan kilatan petir membuat jantungnya berdetak dengan cepat, Ia segera menutup pintunya dan kembali duduk dikursinya setelah menaruh keranjang buahnya.
Ia tak lagi memandang hujan namun menundukkan pandangannya ke arah lantai yang mulai retak-retak, perutnya keroncongan namun Ia tetap terdiam tanpa makna, hingga tiba-tiba satu bulir air matanya menetes kebawah. Pandangannya tetap datar namun air matanya tetap saja mengalir dan semakin deras. Tangannya mencengkram erat rok selututnya yang kusut membagi rasa sedihnya. Ia semakin tak dapat mengendalikan tangisannya. Suara tangisnya larut dengan suara hujan dan petir. Seperti makna yang begitu dalam dibalik tangisannya. Hingga akhirnya tangannya terangkat untuk menghapus jejak air matanya pada pipi, matanya memerah dengan sesenggukan yang tersisa. Tangannya gemetar mengambil salah satu buah itu dan mengigitnya dengan pelan, buah ini terlihat seperti apel dengan warna merah tua namun buah ini lebih sedikit besar daripada buah apel. Ia mengunyah dan menyandarkan punggungnya pada dinding.
Tidak ada yang menarik dimatanya, bosan yang benar benar nyata adalah seperti ini. Ia melahap habis satu buah dan menidurkan dirinya di kursi panjang itu. Listrik disini tanpa biaya dan sangat aneh, disini tidak pernah mati lampu, ya kota ini benar benar ajaib bukan?
Gadis itu hanya menatap langit-langit rumah, tiada satupun yan dapat mengetahui arti dibalik wajah datarnya itu, namun air matanya mengatakan begitu banyak hal kepedihan yang tersirat. Ia tidak tahu apalagi yang harus Ia lakukan selain berbaring, duduk memandangi hujan, merajut dengan kain-kain yang tersisa dan makan buah. Ia juga ingin bisa hidup normal seperti anak-anak biasanya, Ia juga ingin bahagai seperti mereka. Seperti bersekolah, pergi keluar bersama teman, menonton bioskop, makan bersama, menikmati musim semi dan banyak lagi. Ia benar-benar membeku dengan keadannya sekarang, Ia merindukan kehidupannya yang dulu, yang penuh kebahagiaan, yang membuatnya benar-benar menyesal.-Flashback-
“Thersa, kan sudah ibu bilang jangan buat ulah disekolah!” Teriak seorang wanita didepan anak yang bernama Thersa itu.
“Ibu...marahnya nanti saja, aku benar-benar lelah...” Anak bernama Thersa itu tak mempedulikan ibunya dan malah berbaring di Ranjang mewahnya.
“Bersikaplah sopan pada ibumu ini Thersa!” Marah Ibunya dengan nada tinggi.
“Iya bu maafkan aku.” Jawab Thersa dengan datar. Ibunya hanya dapat menghela nafas dan keluar dari kamar Thersa, Thersa tak peduli dan memainkan Handphone-nya. Baginya membully itu sangat menyenangkan, Ia bisa mengatakan hal-hal kasar pada anak-anak bawah yang begitu takut. Dan ya, dia tidak peduli berapa kali Ia telah masuk di ruangan bimbingan konseling, bahkan Ia pernah masuk ruang kepala sekolah satu kali karna membully salah satu anak perempuan dengan tindakan kejam, hingga tak ditanya lagi berapa kali ibu dan ayahnya emosi dan menasehati Thersa, Thersa yang dinasehati hanya manggut-manggut dan kembali mengulang perilakunya. Karna tak mungkin juga Ia dikeluarkan dari sekolah karna Ayah-ibunya adalah orang terhormat dikota. Thersa sangat menikmati hidupnya, bergelimang oleh harta ibu dan ayahnya, selalu berkecukupan dan tidak pernah sengsara.
End Flashback
Thersa, ya Thersa mengingat semua kenangan-kenangan masa lalunya dengan jelas, ingin saja Ia kembali ke dunia aslinya dan memperbaiki segalanya. Thersa ingin keluar dari kota ini, Thersa ingin keluar! Ia tak sanggup lagi untuk tinggal di kurungan ini, Ia tak sanggup lagi duduk disini, Ia ingin keluar. Tapi bagaimana caranya? Ia tak memiliki payung.
Tok, tok, tok.
Thersa menoleh pada pintu depan yang terketuk. Ia terdiam ditempatnya dan tidak berdiri. Suara ketukan itu membuatnya tak mengalihkan perhatiannya dari pintu. Yang ada di pikirannya adalah.
“Jika kau mau berkunjung silahkan.” Begitulah kata Thersa dalam hati.
Ia tidak berniat untuk membuka pintu itu, ia tahu pintu itu tanpa kunci jadi siapapun bisa masuk tapi Ia yakin siapa juga yang mau berkunjung ke rumah mungilnya ini. Dia tak peduli dan mengalihkan pandangannya dari pintu ke jendela memandangi hujan. Suara ketukan itu tak lagi terdengar di telinganya jadi Ia pikir mungkin saja hantu dan dia tidak peduli.
Thersa membisu dalam rintiknya hujan, Ia ingin menikmati hujan diluar namun kilat selalu menyambar dengan lantang, jadi bagaimana dia bisa keluar dari sini? Ia mengambil buah yang ada dalam keranjang dan memakannya dengan pelan. Pikirannya mulai tenang daripada tadi yang membuatnya ingin mati saja, Ia tak bisa mengendalikan emosinya jika air matanya keluar. Mungkin itu adalah kejadian yang sangat jarang, dimana dirinya menumpahkan semua air matanya dari pertahanannya. Sebelum ini air matanya tak pernah keluar, wajah datarnya mampu menyembunyikan air matanya dengan pondasi yang kokoh, entah mengapa saat itu Ia merasa benar-benar tak terkendali hingga menangis. Thersa sangat tidak suka menangis, Ia malah lebih suka melihat anak-anak yang menangis ketakutan karna Ia bully, tapi itu dulu bukan sekarang. Ia tak pernah sekalipun menangis walau ayah ibunya selalu memarahinya yang terkadang memakai kata-kata kasar. Tapi, sekarang berbeda, Ia merasa terjatuhkan oleh batu-batu besar yang meruntuhkan pertahanannya.
Tiba-tiba saja rasa penasaran memenuhi dirinya dengan ketukan pintu yang tadi. Ia berdiri dari duduknya dan berjalan menuju pintu depan, mungkin saja orang yang mengetuk masih berdiri di depan sana. Ia mulai membuka pintunya dan menatap depannya yang kosong. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri yang tiada siapapun. Geluduk yang lumayan keras membuatnya terkejut dan spontan menutup pintunya langsung. Thersa kembali ke tempat duduknya yang benar-benar membosankan.
Ia ingin saja keluar dari kurungan ini, ia ingin meninggalkan kota ini! Tapi bagaimana caranya? Bahkan Ia tak punya payung untuk berjalan keluar sana. Ia menepis jauh-jauh pikiran itu dan kembali larut dalam hujan yang tak pernah lelah menurunkan titik-titik air penuh derita, awan hitam merasa nyaman dengan posisi mereka dan tak pernah ingin pergi membiarkan matahari masuk, hawa dingin yang menusuk kulit dan dedaunan yang melayang-layang kehilangan arah.
Ia tidak tahu dimana Pagi, siang, sore dan malam. Karna setiap hari selalu sama saja, selalu sama gelap dan kelam. Rumahnya tak ada jam yang berdetak, disini Ia sama sekali tak mengenal waktu. Yang Ia ketahui adalah disaat pagi menjelang, disaat Ibu-ibu berkeliaran keluar dengan payung mereka mengarah kearah keluar kota. Jalan menuju keluar kota ini tidaklah dekat, dan tentu sangatlah jauh, hanya ibu-ibu yang biasanha terlihat berjalan keluar, dan itupun beberapa. Karna keluar dari kota ini tidaklah mudah, jadi setiap ibu-ibu itu kembali ke rumah mereka selalu saja membawa kantung plastik yang cukup besar ditangan mereka. Yang setiap kali Thersa pandang adalah Payungnya, Ia menginginkan payung itu dan pergi jauh darisini. Ia lelah duduk, Ia lelah membisu, Ia lelah dengan keadaan ini.
Dok! Dok! Dok! Dok!
Thersa terbuyarkan dari lamunannya, Ia menoleh pada pintu yang terketuk dengan amat keras. Namun Ia tak peduli dan kembali menatap hujan dari jendela. Namun ternyata gedoran pintu itu kembali lagi dan malah semakin kuat seperti hendak merusak pintunya. Karna Ia merasa itu adalah orang nyata jadi Ia segera berdiri.
Namun belum sempat Ia sampai di pintu, Pintu itu terbuka dengan kuat membuat Thersa terkejut. Berdirilah tiga orang ibu-ibu yang membawa payung mereka masing-masing. Thersa tak mengerti sampai Ibu-ibu itu menaruh payung mereka dan masuk ke rumahnya tanpa izin.
“Ada apa ini?” Tanya Thersa kebingungan sambil menatap ketiga ibu itu bergantian. Salah satu ibu itu maju mendekatinya dan mendorong bahunya dengan kasar, Thersa yang mendapat serangan itu pun terjatuh.
Thersa meringis dikala Pantatnya berbentur keras dengan lantai.....