Biru mengendarai vespanya dengan cepat. Masih tersisa beberapa jam untuk bekerja mengantarkan paket sebelum malam tiba. Untung sang bos mengerti dirinya yang harus mendapat pelajaran tambahan di sekolah, kira-kira hadiah apa yang pantas diberikan untuk bos Biru?
Drrt drrt drrt
Biru mengacuhkan ponselnya yang berdering di saku celana sekolah. Namun sudah lima kali ponselnya berdering, maka Biru berdecak kesal sebelum menepi di pinggir jalan. Merogoh saku lalu mengernyit heran ketika melihat nama Safrinda tertera di layar ponsel.
"Halo, Sa-"
"Bi...ru, t-tolongin gue!"
"Hah, gimana?" Biru semakin tidak mengerti ketika Safrinda langsung meminta tolong padanya dengan suara yang bergetar ketakutan.
"T-tolongin... gue ge-gemeter, please-Lo ngapain telfon Biru bangsat?!-B-biru, please..."
Biru bisa mendengar suara Gesha dan suara ribut Safrinda yang terus mengucapkan kalimat tolong. Biru tahu Safrinda adalah sepupu Gesha, tapi ia tidak tahu jika keduanya tidak akur.
"Oke, lo tenang! Gue bakal puter balik."
"C-cepet. T-tolongin gue! G-gue gak mau m-mati! Gue d-di rooftop!"
"Tunggu gue."
"Ce-cepet-" panggilan terputus seketika.
"Halo? Saf? Lo denger gue gak? Shit!"
Biru memutar stir motor untuk berbalik menuju rumah Safrinda. Entah apa yang tiba-tiba membuatnya berpikir bahwa kejadian ini adalah salahnya, mengingat jika Gesha menyukai dirinya tentu gadis itu tidak akan terima jika Biru mengantar pulang Safrinda. Memang Biru kelewat cepat dalam merespon kondisi.
Tidak perlu waktu lama untuk sampai di rumah dua gadis tersebut. Biru dengan gesit membuka gerbang, memasuki rumah, dan berlari menaiki anak tangga. Persetan jika dirinya tidak sopan, karena saat ini Biru benar-benar kalut.
"Gesha!"
Gesha yang semula sedang terus mendesak Safrinda untuk mundur, tersentak sebab panggilan dari manusia favoritnya. Tidak ada nada hangat, yang ada hanya nada dingin yang tersirat.
Biru berjalan mendekat, berhadapan langsung dengan Gesha untuk melindungi Safrinda dibalik punggung tegapnya. "Lo apa-apaan sih?!"
"B-biru..." Gesha tidak bisa berkata apa-apa lagi. Hatinya hancur lebur. Sakit hatinya makin meradang.
"Lo masih waras kan?! Kenapa lo mau celakain saudara lo sendiri? Pake otak lo, Ge." suara Biru melunak, mencoba tidak kelepasan. Ia tidak menyangka jika Gesha bersikap layaknya gadis jahat.
Binar mata Gesha redup seketika. Bulir air mata mengalir secara beruntun, membuat Gesha malu sekaligus marah. Ia berbalik, berlari meninggalkan Biru dan Safrinda yang masih diam tak bergeming.
"Lo gak papa kan?" tanya Biru. Menilik Safrinda dari atas sampai bawah dengan mata tajamnya.
"G-gak papa," Safrinda masih shock, ia menghela napas sebelum melanjutkan ucapannya, "Makasih, Bi."
Biru mengangguk lalu hendak pergi namun Safrinda menahan tangannya. Ketika Biru melihat genggaman Safrinda pada tangannya, gadis itu buru-buru melepaskan.
"Kenapa lagi, lo takut sama Gesha?"
Safrinda menggeleng cepat. "Gesha... pasti dia sakit hati waktu lo bentak dia. Jangan marah please, gue minta tolong lo samperin Gesha ya. Gue gak mau dia makin benci sama gue."
Pemuda seperti Biru sangat malas jika harus masuk ke dalam drama percintaan. Namun, Biru juga mempunyai perasaan tidak enak terhadap orang lain. Safrinda terus membujuknya, sebelum akhirnya Biru mengangguk setuju. Ia meminta izin menelusuri rumah untuk mencari Gesha.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐭𝐨𝐨 𝐦𝐮𝐜𝐡 [discontinue]
Fanfiction[on going • vsoo local] Gesha selalu membatasi interaksi terhadap orang lain, itu lah yang menyebabkan ia sendirian. Objek kebahagiannya hanya ada pada Biru, teman satu kelas yang membuatnya jatuh hati. Sampai Gesha menyadari bahwa dirinya berlebiha...