Hanin sedikit mendongak sambil memejamkan mata, merasakan semilir angin yang menerpa wajahnya. Mengabaikan ponselnya yang sejak tadi berdering, menandakan jika ada panggilan masuk. Saat ini ia berada di atap sekolah. Tempat yang selama ini belum pernah ia datangi. Jika bertanya-tanya kenapa ia ada di sana, jawabannya adalah Angkasa yang membawanya.
"Han, gak lo angkat?" Angkasa bertanya. Hanin menggeleng tanpa menghentikan apa yang tengah dilakukannya.
"Siapa tahu penting. Udah tiga kali, loh, itu."
Hanin membuka mata lalu menoleh. "Biarin. Aku tahu itu pasti Raka," ujarnya. "Kamu, kan tahu kalau aku lagi ngehindarin dia." Lalu tanpa menunggu respon Angkasa, cewek itu kembali melakukan apa yang tadi dilakukannya. Merasakan semilir angin di wajahnya seperti menjadi terapi tersendiri baginya saat ini. Yah, setelah apa yang dilihatnya kemarin membuatnya seakan menjadi seperti orang gila.
Angkasa tidak merespon apa-apa. Cowok itu hanya diam ditempatnya di samping Hanin. Ditatapnya secara intens teman sekelasnya itu. Hingga Hanin kembali menoleh. "Sa, boleh aku tanya sesuatu?" tanya cewek itu. Angkasa mengangguk.
Hanin menatap Angkasa sedikit lama sebelum akhirnya memandang lurus ke depan. Mulutnya bergerak, tetapi tidak ada kata-kata yang keluar. Hanin bingung dari mana memulai. Terlalu banyak pertanyaan di kepalanya saat ini. Semuanya terlalu mengejutkan.
Kalau misal seseorang yang lo suka, suka sama sahabat lo, lo akan gimana?
Pertanyaan itu. Pertanyaan yang pernah Angkasa tanyakan padanya tiba-tiba terngiang di kepalanya. "Kalau misal seseorang yang lo suka, suka sama sahabat lo, lo akan gimana?" Hanin mengulang pertanyaan itu dalam hatinya. Tidak tahu kenapa seperti ada yang mengganjal dengan pertanyaan itu. Seolah Angkasa ....
"Sa!" panggil Hanin dengan tiba-tiba. Terang saja hal itu mengejutkan Angkasa yang terdiam sibuk dengan pikirannya.
Angkasa menoleh kaget. "Anjirrr, bikin gue jantungan, lo!" serunya kesal. Hanin hanya tertawa kecil. "Sorry, aku cuma mau nanya."
"Dari tadi juga lo udah bilang kalau mau nanya." Angkasa mendengus, merasa masih kesal. Sebenarnya tidak benar-benar kesal, hanya saja tadi Hanin benar-benar mengagetkannya. Yah, salahkan juga dirinya yang terlalu tenggelam dalam pikirannya sendiri.
"Serius, kali ini aku mau nanya." Hanin mulai memasang wajah seriusnya. " 'Kalau misal seseorang yang lo suka, suka sama sahabat lo, lo akan gimana?' Kamu pernah nanya itu sama aku, bukan? Nah, apa waktu itu sebenernya kamu udah--"
"Gue fudanshi."
"Hah? Fu, fu apa?"
"Fudanshi."
Hanin menatap Angkasa yang juga sedang menatapnya. Fudanshi? Apa itu? Baru kali ini Hanin mendengarnya. Namun, saat ingin menanyakan apa itu fudanshi, Angkasa lebih dulu bersuara.
"Fudanshi itu, intinya cowok yang menyukai segala sesuatu berbau boyslove story. Entah itu novel, anime, manga, atau apapun. Yang penting temanya gay, Cowok suka cowok, paham?" jelas Angkasa diakhiri tanya.
Hanin hanya diam sambil mengerjap menatap Angkasa. Cewek itu masih mencerna apa yang baru dijelaskan oleh Angkasa. "Maksudnya, kamu suka kalau liat cowok sama cowok pacaran, gitu? Atau gimana?" tanyanya masih belum sepenuhnya paham.
"Ya intinya begitu." Angkasa membenarkan. Cowok itu pun menambahkan, "Beda lagi kalau untuk cewek. Kalau cewek penyuka gay story, cowok suka cowok, sebutannya fujoshi."
Angkasa memperhatikan Hanin yang tampak berpikir. "Kalau masih kurang paham lo bisa searching di google. Semua penjelasan ada di sana. Dan gue lupa, gak cuma penyuka gay, tapi cewek suka cewek juga. Jadi, gak cuma suka gay atau homo aja."
Cerita yang dipromosikan
Kamu akan menyukai ini
Hanin pusing dengan penjelasan Angkasa. Jadi, ada ya, orang-orang yang menyukai hal-hal seperti itu? Bukankah itu aneh? Hal seperti itu menurutnya tidak wajar.
"Lalu," ujar Angkasa membuat Hanin yang terdiam dengan dahi berkerut, menatapnya. "Tentang pertanyaan gue waktu itu. Sebenarnya gue mau kasih tau lo tentang Abi. Karena gue yakin lo gak akan percaya gitu aja, jadi, gue coba pancing lo. Kebetulan di hari yang sama kita liat mereka ... yah, lo liat sendiri apa yang mereka lakuin."
Hanin masih terdiam, hanya saja ekspresinya berubah sendu. Iya, Hanin melihat dan masih sangat jelas dalam ingatannya apa yang mereka lakukan. Mereka, Abi dan Raka. Mereka berciuman!
"Lo mau apa?! Minggir gak?!"
Suara Raka saat itu. Suara yang membawa Hanin lebih mendekat untuk melihat apa yang terjadi.
"Awas aja kalau lo cium gue lagi! Sial, gue bukan homo!"
Suara berikutnya yang mengejutkannya. Lalu yang lebih mengejutkan adalah apa yang terjadi setelahnya.
Raka dengan posisi duduk menyandar pada batang pohon yang ada di sana dengan Abi yang menyudutkannya. Cowok itu setengah berjongkok dengan satu lututnya meneyentuh tanah tepat di hadapan Raka dengan jarak yang sangat dekat.
"Gue bilang minggir! Gue mau ke kelas!"
Suara Raka kembali terdengar. Akan tetapi, Abi tampak tidak mendengarkan, cowok itu itu justru melakukan hal sebaliknya. Terus mendekatkan diri pada Raka hingga jarak keduanya semakin tipis dan akhirnya apa yang mengejutkanterjadi, Abi menempelkan bibirnya pada bibir Raka!
"Heh, jangan melamun!"
Lambaian tangan serta suara Angkasa mengembalikan kesadaran Hanin yang tenggelam dalam pikirannya. Cewek itu menghela napas, lalu menoleh pada Angkasa masih dengan wajah sendunya. Setetes air mata mulai turun membasahi pipi putihnya, "Aku harus gimana, Sa? Raka, dia, aku belum bisa ketemu dia." Hanin menangis.
Angkasa, ia tidak tahu jika akan ikut merasa sedih melihat Hanin seperti itu. Mendekat, cowok itu meraih Hanin yang menangis untuk dibawanya ke dalam pelukannya. Beruntung cewek itu tidak menolak, mengingat mereka baru saling mengenal dan belum terlalu dekat.
"Udah, gak perlu nangis," ucap Angkasa lalu melepaskan pelukannya. Kemudian cowok itu merendahkan sedikit tubuhnya guna mensejajarkan wajahnya dengan Hanin yang hanya setinggi dadanya. "Nanti Lo bisa duduk sama gue dulu untuk sementara, kalau lo mau," lanjutnya lalu tersenyum dan menepuk pelan puncak kepala Hanin sebelum akhirnya menegakkan tubuhnya kembali. Cowok itu melihat jam tangannya.
"Sebentar lagi masuk. Ayo, turun!" ajak Angkasa dengan suara lembut. "Tapi sebelum itu hapus dulu air matanya."
Hanin mengangguk dan melakukan apa yang Angkasa perintahkan. Cewek itu menghapus air matanya lalu tersenyum menatap cowok di depannya. Angkasa terlihat baik dan sepertinya perhatian. Andai saja Abi seperti itu, tetapi sayang, Abi ... ah, mengingatnya membuat Hanin ingin menangis lagi. "Ayo," ajaknya, berusaha menahan air matanya agar tidak tumpah lagi.
Tiba-tiba musik mengalun dari ponsel milik Hanin, menandakan adanya panggilan masuk. Mengurungkan niat keduanya untuk melangkah menjauhi pagar pembatas.
"Dari Raka," ujar Hanin yang menatap layar ponselnya. Namun, cewek itu tidak menjawabnya.
"Dia pasti khawatir sama lo, Han. Lebih baik lo angkat kali ini." Angkasa memberi saran, "Mau bagaimana pun, dia tetap sahabat lo."
Hanin menatap Angkasa sekilas lalu kembali menatap layar ponselnya yang masih mengalunkan lagu milik duo grup penyanyi asal Korea Selatan yang selama ini menjadi nada dering ponselnya dan menampilkan nama Raka. Merasa belum siap menghadapi Raka, Hanin pun memilih untuk tidak menjawab panggilan tersebut. Ia hanya takut air mata yang tengah ditahannya akan keluar begitu mendengar suara cowok itu jika menjawabnya.
"Gak usah, biar nanti langsung ketemu di kelas aja." Hanin kembali mengantongi ponselnya dan berjalan mendahului Angkasa. Ia sudah memutuskan pindah tempat duduk untuk sementara. Hanya dengan melihat nama Raka saja hatinya sudah berdenyut sakit. Apalagi jika harus berdekatan dengannya sepanjang pelajaran, Hanin sepertinya tidak akan sanggup. Biarkan ia menjauhi Raka untuk sebentar saja. Ia butuh ruang untuk menenangkan pikirannya.
"Sa?" Hanin menghentikan Angkasa yang siap memasuki kelas. Kini keduanya telah sampai di depan kelas mereka. "Aku pindah tempat."
Angkasa yang mengerti, mengiyakan. Cowok itu mengangguk sambil tersenyum tipis. "Ayo," ucapnya kemudian mengajak Hanin masuk. Sebenarnya Angkasa sedikit merasa tidak enak. Ia juga tidak tahu kenapa, padahal kejadian tidak terduga kemarin sangat mempermudahnya untuk mempengaruhi Hanin. Sepertinya dirinya harus berhati-hati, jangan sampai menggunakan perasaannya. Ya, setidaknya jika ingin karya tulisannya tidak ada kendala.
Begitu memasuki kelas, ternyata Hanin tidak mendapati Raka. Cewek itu pun merasa lega karena tidak harus berhadapan dengan sahabatnya langsung. Dengan segera Hanin mengambil tasnya dan pindah ke meja Angkasa. "Tio, tukeran tempat duduk, dong!"
Tio, cowok berkacamata yang duduk di samping Angkasa itu terang saja bingung dengan Hanin yang tiba-tiba datang langsung memintanya bertukar tempat duduk. Tio membenarkan letak kacamatanya dan menatap Hanin. "Kenapa emangnya?"
"Udah, sih, pindah aja, Yo." Angkasa menyahut, dan Hanin berterimakasih akan hal itu. Karena sebenarnya ia sedang malas bicara.
Tio menoleh pada Angkasa dengan tampang kurang suka. Cowok itu ingin memprotes, tetapi begitu melihat wajah datar Angkasa ia segera berdiri dan mengambil tasnya. Lalu tanpa mengatakan apa-apa ia meninggalkan tempatnya. Tatapan Angkasa yang seperti itu justru membuatnya ngeri.
"Makasih ya, Sa," ujar Hanin lalu duduk di tempat barunya. Kemudian tiba-tiba suara milik orang yang sedang dihindarinya terdengar.
"Balik ke tempat duduk lo, Han!"
Raka meraih lengan Hanin, berniat membawa cewek itu kembali ke tempat duduknya yaitu bersamanya. Akan tetapi, tangan Angkasa menahannya. Raka menatap tangan yang mencekalnya, lalu berganti menatap pemiliknya.
"Lepas tangan lo!"
"Gue bilang, lepas tangan lo!" ulang Raka. Ditatapnya tajam Angkasa yang masih saja belum mau menyingkirkan tangannya. Lalu Raka pun akhirnya memilih melepaskan tangan Hanin lebih dulu sebelum menyingkirkan sendiri tangan Angkasa.
"Ayo, Han!" Kembali Raka meraih lengan Hanin. Begitu pun Angkasa yang kembali menahannya seperti tadi.
Suasana yang semula sudah tegang, berubah menjadi semakin tegang. Anak-anak di kelas tidak ada yang bersuara, seakan menikmati apa yang terjadi. Tampak di mata mereka, Raka dan Angkasa tengah bersitegang untuk memperebutkan Hanin. Sayang, dirasa di waktu yang tidak tepat, seorang guru memasuki kelas. Menghentikan segala aktifitas yang ada dan membuat mereka yang masih berkeliaran kembali ke habitatnya, yaitu tempat duduk masing-masing. Namun, tidak untuk Angkasa dan Raka, mereka masih bertahan dengan posisinya. Saling menatap dengan ekspresi yang berbeda. Satu tampak emosi dan yang lain terlihat santai.
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.