"Pertama, dilarang keras mengambil apapun dari taman ini. Kedua, barang-barang termasuk sampah harus dibawa pulang. Ketiga, jangan pernah menyentuh mata air maupun alirannya. Terakhir ... usahakan selalu rendah hati di alam bebas."
"Kenapa?"
Kepala...
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
Barulah sewaktu mentari hadir pada titik tertinggi, Lee (Y/n) kembali terjaga dari tidurnya. Siang ini terasa gerah dan mengakibatkan bulir-bulir keringat jatuh dari pelipisnya. Berbeda dengan hari-hari kemarin di mana air dari cakrawala menghujam bumi tanpa ampun, tidak peduli siang atau malam.
Telapak tangan gadis itu kemudian dibawa mendarat pada dahinya untuk mengecek apakah si demam sudah pergi atau belum.
Suhunya normal.
(Y/n) kembali menopang tubuhnya sebelum benar-benar bangkit dari permukaan sleeping bag yang terasa menciut. Wajahnya berpaling ke sekeliling untuk menemukan sosok Changbin. Hasilnya nihil, padahal dia berharap untuk mendapat sapaan semacam, "Selamat siang, Nona!" atau ditawari makan jajangmyeon.
Karena menyadari bahwa dia memang tidak tahu diri, gadis itu langsung membuang idenya jauh-jauh. Yang dia inginkan saat ini hanyalah presensi Changbin agar dirinya merasa aman. Menepis kenyataan bahwa dirinya sedang terdampar di tengah Seoraksan dan bertemu macan palsu yang mengatakan bahwa dia memiliki sejuta dosa. Atau minimal, supaya di dalam gua ini tidak sepi-sepi amat.
"Changbin mana, sih? Pakai hilang-hilang segala."
Putri semata wayang keluarga Lee itu menarik tas carrier miliknya dan mengambil botol minum di bagian samping. Untuk kesekian kali, harus menghampiri kerongkongan gadis itu. Tidak peduli seberapa banyak air yang tersedia.
(Y/n) lantas mengambil kantong berisi stok makanan yang selama ini disimpan. Memori singkat di rest area terulang kembali dalam benak gadis itu di kala tangannya bersinggungan dengan sebungkus roti. Bukan dia yang membayarnya, tetapi Felix. Adiknya itu dengan sigap menyodorkan beberapa lembar won kepada si petugas kasir.
Ah ... Felix, ya? Gue kangen.
Dengan mata berlinang-linang, (y/n) mengunyah roti tersebut. Sesekali dia melempar kepalanya ke belakang untuk mencegah lelehan air mata sebelum diseka dengan punggung tangan. Frekuensi menangisnya dalam satu tahun masih bisa dihitung jari. Kendati demikian, sekali waktu dia menangis ternyata disebabkan hal sepele; ingin bertemu Felix.
Entah mengapa, gadis itu buta dengan keadaan batinnya sendiri. Satu bagian dalam dirinya mengatakan bahwa dia harus pulang dan memeluk saudaranya. Satunya lagi mendesak dirinya untuk masa bodoh demi menjaga gengsi. Dia menghela napas berat, lalu kemasan rotinya diletakkan kembali ke tempat semula. Tidak ingin berkutat lagi dengan perasaan nano-nano yang menghampiri.
"Mendingan gue berburu macan, terus jalan-jalan cari air."
(Y/n) berdiri dari tempatnya, kemudian merapikan setiap helai pakaian yang melekat di tubuhnya. Hiking shoes yang sempat dilepas kembali terpasang dengan baik, dan botol minumnya kini berada dalam genggaman. Sesungguhnya (y/n) menyadari bahwa dia berkeringat dan belum mandi, oleh karena itu sang gadis akan menyusuri jalan setapak yang bisa dilalui seraya mencari kamar mandi umum.
Itu juga kalau ada, sih.
Terik mentari dari sela-sela dahan beserta kicau burung menyambut gadis itu, tepat ketika langkah kakinya membawa (y/n) keluar dari gua. (Y/n) tidak mengerti di mana letak persisnya detik ini. Mustahil untuk menyalakan GPS dari smartphone miliknya, karena sinyal pun tidak ada. Kalaupun ada, paling-paling baterai smartphone miliknya sudah sekarat.
Bertanya kepada makhluk astral seperti Changbin? Jangan harap.
Yang dilihat gadis itu di depan matanya sebatas warna hijau, tanah, dan langit biru. Baik itu dari kanan, kiri, depan, belakang, tidak ada bedanya. (Y/n) pergi meninggalkan pintu masuk gua itu bermodalkan insting. Ada beberapa ranting yang dia patahkan sepanjang jalan sebagai pertanda bahwa dirinya sudah pernah melewati jalan tersebut.
Hanya terdapat dua macam hal yang diharapkan (y/n) selama dirinya menelusuri rimba ini. Menemukan Changbin, atau menemukan jalan pulang. Tujuan pertamanya untuk hari ini adalah mencari mata air. Persetan dengan kata-kata Bang Chan waktu itu, karena bertahan hidup lebih penting dari segalanya.
Beruntung, (y/n) langsung menemukan adanya lembah beberapa waktu setelah dirinya berhasil meninggalkan daerah yang ditumbuhi pepohonan lebat. Hiking shoes yang dibeli oleh sang ibu ternyata cukup berguna, mengingat sepanjang perjalanan tadi yang ditemukan adalah semak belukar, dan permukaan tanah yang tidak rata karena muncul akar. Dan saat ini, lembah di sekitar sungai yang ditemuinya malah terdiri atas bebatuan.
Gadis itu lantas berjongkok di atas batu yang berperan sebagai pijakan selama dia mengisi botol minum dengan air yang berasal dari derasnya aliran sungai. Luar biasa jernih, memang. Namun, di lubuk hatinya yang paling dalam, (y/n) merasa yakin bahwa di dalamnya terdapat berbagai jenis mikroorganisme. Semacam hydra yang pernah disebutkan oleh Minho sewaktu lelaki itu menjelaskan tentang reproduksi vegetatif ketika dia harus mengikuti ujian biologi di sekolah menengah.
Duh, jadi kangen Bang Minho.
Jika (y/n) bisa memutar waktu kembali, dirinya pasti bersikeras untuk menjaga rumah dan menghindari Seoraksan hingga akhir hayatnya. Semua ini pastinya tidak akan pernah terjadi, kalau saja (y/n) tidak menginjak tempat ini.
"Pokoknya gue mau pulang."
Gadis itu tidak pernah main-main dengan perkataannya. Perasaan rindu akan rumah yang kerap menghantui ternyata berhasil membuatnya senekat ini. Sang gadis melangkah sejauh mungkin tanpa melihat ke belakang lagi. Memang, sempat terlintas di benaknya soal tas carrier yang tertinggal di dalam gua. Prioritasnya untuk saat ini adalah jalan keluar yang harus dicari.
Namun, ada satu hal yang berhasil menghentikan pergerakannya. Setelah berbelok, mematahkan ranting, dan belasan kali memutari lembah—
"Ya Tuhan, ini bukannya lembah yang tadi?"
Alice in Wonderland, film fantasi yang pernah ditonton olehnya itu menjadi representasi dari kebingungan dan kegelisahan yang melanda (y/n) saat ini. Bumi yang dipijak oleh sang gadis seakan mengalami distorsi. Wilayah terdalam Seoraksan yang tidak terjamah manusia menjadi sangkar tanpa pintu yang tidak bisa ia tinggalkan. Hanya ada satu kata yang dapat menggambarkan ini semua; mengerikan.
"Lee (Y/n)."
Si pemilik nama segera berpaling ke belakang. Dia menemukan Changbin yang berdiri di sana sambil mengamatinya lekat-lekat.
Mampus, dari kapan dia berdiri di sana?
Gadis itu memang mencari Changbin. Akan tetapi, (y/n) sama sekali tidak berharap untuk bertemu dengannya di saat-saat seperti ini. Tepat ketika dirinya mencari jalan keluar dari lokasi terkutuk bernama Taman Nasional Seoraksan. Satu-satunya tempat di mana dirinya mengalami peristiwa paling absurd selama belasan tahun hidupnya.
"Kamu tidak diperbolehkan angkat kaki sebelum kamu menyelesaikan apa yang menjadi kewajiban kamu."
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.