Malam itu hujan turun dengan lebatnya. Seorang calon ibu memandangi jendela dengan tatapan khawatir. Pasalnya, sang suami belum juga pulang. Masih sibuk di kantor, katanya. Bagi sang istri, hal ini memang hal yang biasa, tapi masalahnya, hujan begitu deras dan membuat Sang Istri khawatir dengan perjalanan pulang suaminya. Belum lagi, jika tiba-tiba waktunya melahirkan telah tiba dan suaminya belum ada di sampingnya.
"Nyonya, gak tunggu Tuan di kamar saja? Sambil istirahat?" sapaan pembantunya membuat Si Nyonya memalingkan pandangan dari jendela.
"Saya belum mau istirahat, Mbak. Saya belum lega kalau suami saya belum pulang. Apalagi hujan gede gini. Khawatir kenapa-kenapa," jawab Nyonya namun dia kemudian duduk. Mungkin lelah jika terus berdiri.
"Mau saya teleponkan ke kantor?"
Nyonya terdiam. Kalau suaminya sudah dalam perjalanan pulang, di kantor pun tidak ada yang mengangkat kan? Dia tidak bisa bicara dengan suaminya juga. Tapi kalau ternyata belum, dia bisa mengingatkan suaminya untuk berhati-hati.
"Boleh, Mbak."
Si Pembantu mengambil telepon di ruang tengah lalu menekan nomor telepon kantor Tuan yang sudah dihapalnya di luar kepala.
"Nggak diangkat, Nya," kata Si Pembantu. Dia mulai merasa bersalah karena memberikan kecemasan tambahan kepada Nyonya.
Embusan napas Nyonya sangat pelan sampai tidak kentara. Kemudian dia tersenyum, senyum yang sangat manis dan penuh kesabaran. Salah satu alasan pembantunya betah bekerja di rumah ini.
"Ya sudah tidak apa-apa. Kita tunggu saja ya," ujarnya sambil terus mengelus perutnya yang semakin besar.
Kedua perempuan itu duduk diam berhadap-hadapan. Nyonya kembali menatap ke jendela dan Pembantunya memperhatikan Nyonya. Khawatir jika ada sesuatu terjadi yang membutuhkan bantuannya. Perut Nyonyanya sudah sangat besar. Tuan Kecil atau Nona bisa lahir kapan saja.
Sekitar lima menit mereka berdiam, tiba-tiba Nyonya mengaduh kesakitan.
"Nyonya kenapa?" Si Pembantu berdiri, menghampiri nyonyanya.
"Perut saya... sakit..." ujarnya sambil tertatih.
Mata mereka kemudian refleks mengarah ke kaki Nyonya. Darah mulai mengalir di sana.
"Astagfirullah!" seru Si Pembantu. Kepalanya langsung pusing tapi dia harus terus bertahan demi Nyonya. "Ayo kita ke rumah sakit, Nya."
Nyonya menarik napas dalam, dia diingatkan oleh dokter untuk tetap tenang jika proses melahirkan dimulai. Biar begitu, rasanya sakit, pikirannya berlarian ke sana kemari, kekhawatiran apakah anaknya akan lahir dengan selamat atau tidak, bagaimana merawat anaknya setelah lahir. Sejenak Nyonya lupa bagaimana harus bersikap.
"Pake apaaa?" seru Nyonya akhirnya. "Mobil dibawa Bapak."
Si Pembantu terdiam. Benar juga. Hanya ada satu mobil di rumah ini dan selalu dibawa Bapak ke kantor.
"Sa-sa-saya..."
Tiba-tiba Nyonya memegang tangan pembantunya dengan erat. "Tetangga kita dokter. Coba minta tolong."
Pembantu tiba-tiba berlari ke luar rumah seperti dikejar ular. Binatang paling ditakutinya. Biarpun di luar hujan, dia tidak peduli. Lupa bahwa payung selalu disimpan di samping pintu. Yang ada di kepalanya adalah meminta Sang Dokter untuk segera membantu persalinan Nyonya.
Ketika Si Pembantu kembali dengan Sang Dokter yang panik dan basah kuyup, Nyonya sudah mulai kehilangan kesadaran. Kedua orang itu memanggil Nyonya dengan panik, agar Nyonya tetap bangun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Trappucino - END (CETAK - PENERBIT PROSPEC)
RomanceSebagian sudah di-unpublish. Versi lengkap bisa dibaca dalam bentuk cetak dan ebook (Google Playstore) via Penerbit Prospec. Dibeli ya! *** Tujuan Davi pindah ke tempat kerja yang baru kan untuk meraih karir yang lebih baik. Bukannya cari jodoh sep...