Seperti biasanya, sore hari sesudah beraktivitas, aku memilih duduk di pinggiran Danau Toba. Duduk di atas pasir sambil memandang alunan ombak yang saling beradu menuju bibir pantai. Semakin berulang kulihat, semakin kusukai memandangnya.Gulungan ombak yang disertai buih-buih dan membawa pasir ke dalam danau usai bertemu dengan pasir pantai seakan membawaku pada sebuah keyakinan bahwa keteduhan dan bencana bisa saja membawa sesuatu dalam kedalaman.
Sembari memandang kejadian yang berulang itu, aku juga ditemani segelas kopi yang tersimpan pada sebuah botol minumanku.
Seruputan pertama mengingatkanku pada perjuangan para pejuang yang sudah bermandi darah demi sebuah kemerdekaan. Aku kembali memandang Danau Toba yang tepat berada di depanku.
Kuhisap rokok yang terselip pada jariku seakan membawaku pada kenikmatan para pemilik modal yang tinggal di pinggiran Danau Toba kini tak terhitung lagi. Dari tahun ke tahun, bangunan berdiri kokoh di atas sawah yang dulunya terhampar luas.
Gedung-gedung tinggi yang dijadikan sebagai penginapan para penikmat senja dan pemuja fajar yang menyingsing di antara pegunungan.
Banyak insan yang kini menjadi pemuja fajar dan pemburu senja. Dan, dari bangunan tinggi itu mereka mengabadikan momen. Itu semua alamiah, namun terus dikejar. Yang jadi tanda tanya, apakah modernisasi akan harus menghancurkan yang alamiah?
Tak perlu ditanya, itu sudah terjadi. Cukup disesali. Setidaknya, yang terlihat di pinggiran Danau Toba ini telah didominasi oleh racun bagi Danau daripada kehidupan. Pepohonan yang dulunya tumbuh dan rindang, kini telah tercabut atau dicabut dan akhirnya kering kerontang.
Bahkan, para penduduk penjaga gunung sana harus kehausan di tengah Danau Toba. Ini semua karena tangan durjana, pemilik modal tak bernurani.
Bahkan tulisan "sejuta pohon" yang terpampang di pegunungan itu dengan barisan pohon kini tak terlihat lagi. Mungkin barisan pohon itu pun sudah dibabat. Sudahlah, ini semua hanya pembangkit rasa kesal bagi generasi mendatang.
Dan katanya, tak jauh dari Danau Toba ini ada sebuah perusahaan pengelola kayu. Jangan-jangan, gelondongan kayu itu dikirimkan ke sana. Mana tahu begitu ceritanya. Masih katanya, di balik berdirinya perusahaan ini, sejumlah masyarakat telah jadi korban, kucurkan keringat dan darah.
Anak-anak yang biasanya menggembalakan kerbau di perbukitan, kini tak ada lagi. Rumput kini sudah digantikan ilalang setelah pepohonan dibabat habis.
Jangankan rumput, tanaman liar yang dikenal masyarakat sekitar, harimonting dan sanduduk juga telah punah. Padahal, kedua tanaman ini adalah pemantik semangat anak-anak bertemu di perbukitan. Bahkan, mereka asyik menghabiskan sore hanya untuk mencari buah kedua tanaman liar ini.
Usai dari perbukitan, anak-anak itu berlari dengan riang gembira menuju Danau Toba untuk merayakan kegembiraannya. Ternyata, kebahagiaan itu sangat sederhana, cukup dengan makan buah harimonting dan sanduduk sembari mandi di Danau Toba.
Teranyar, air Danau Toba sudah ciptakan penyakit kulit, gatal-gatal. Para peneliti menguraikan penyebab gatal-gatal tersebut karena air Danau Toba sudah tak sehat lagi.
Dan sore ini, angin-sepoi menghembus dan menerpa kulitku. Rasanya segar, namun aromanya tak sedap. Katanya itulah hasil limbah perusahaan kayu itu. Ini katanya, tapi saya sependapat dengan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kemanisan di balik Kepahitan
Non-FictionSetiap seruputan kopi memiliki makna. Kopi menarasikan perihal manis dan pahitnya hidup. Ternyata, perpaduan pahit dan manis dalam secangkir kopi akan menghasilkan kopi mantap. Begitu juga dengan hidup. Setiap orang memiliki kisah pahit dan manis. S...