Heeseung rasa, Jay itu sebenarnya adalah orang gila yang bisa-bisanya mengelabui seisi sekolah untuk menerimanya sebagai murid. Heeseung tidak akan memgatakan pemuda itu sebagai psikopat karena terdengar terlalu kejam.
Oke. Park Jongseong jelas orang yang hilang kewarasannya.
"Tenggat PayLater-ku itu besok hari dan aku seharusnya mencari cara untuk mendoaatkan uang dalam sekejap mata." Heeseung bergumam cepat dalam kekesalannya sambil memijit pelipisnya. "Bukan terjebak dalam urusan OSIS menyebalkan yang bahkan aku sendiri nggak paham bicarain apa."
"Tenang aja, aku juga nggak paham." Pemuda Park yang melibatkan Heeseung dalam kesusahan ini berkata dengan santai sambil duduk di kursi. Dia tengah memainkan ponselnya dan Heeseung ingin sekali melempar pulpennya ke arah pemuda itu. "Karena aku nggak paham, aku minta kamu yang kerjain. Aku yakin kamu pasti paham."
Sekuat tenaga Heeseung menahan diri untuk tidak memutar bola matanya. "Pemerasan."
"Oh, kamu lupa kalau kamu tadi di istirahat pertama nangis-nangis minta--"
"Iya, iya. Maafkan aku, aku akan kembali mengerjakan laporanmu dengan baik." Heeseung memotong cepat. Telinganya terasa panas secara mendadak karena malu. Matanya kembali terarah ke layar laptop milik Jay di depannya.
Serius, kenapa anak menyebalkan ini bisa diterima di OSIS? Apa yang membuat OSIS memilihnya?
Sambil mencoba mencerna dokumen di hadapannya ini, hanya proposal tentang pelaksanaan kegiatan classmeeting bulan depan, Heeseung mengingat kembali bagaimana Jake tidak berhasil masuk menjadi OSIS.
Jake itu pintar. Dia anak yang mudah bergaul, ramah, dan asik. Dia biasa berteriak kencang di lapangan saat bermain bola basket dan futsal--membuat semua orang mengenalnya. Sekali pun dia terlihat seperti anak manja, Jake aslinya cukup dewasa. Dia bisa menangani masalah dengan baik.
Kenapa Jake tidak dipilih? Kenapa juga OSIS memilih Jay?
Setelah berkisar satu jam Heeseung mencoba untuk memperbaiki proposal tersebut di sana-sini (rasanya seperti mengetik ulang karena Jay tidak menambahkan apapun!), Heeseung merenggangkan kedua tangannya yang terasa pegal.
"Sudah selesai," jawab Heeseung. Dia mengambil ponselnya di atas meja. "Ini sudah lewat sejam dari jam pulangku. Aku ingin pulang."
"Jangan pulang dulu." Jay mencegat pergerakan Heeseung. "Aku belum koreksi apa yang kamu kerjakan."
Heeseung ingin memaki, tetapi dia ingat dia harus menjadi orang yang sabar.
Jadinya, dia sekarang terdiam di tempatnya selagi Jay mengambil kembali laptop milikbya dan mulai membaca apa yang Heeseung kerjakan. Heeseung rasa tidak akan ada gunanya menatap Jay terus-terusan; ia akhirnya memilih memainkan ponselnya seperti apa yang Jay lakukan saat ia tengah mengoreksi proposalnya.
"Ponselmu iPhone 11."
Ucapan dari Jay membuat Heeseung mengalihkan fokusnya dari layar ponsel. Dia hanya sedang menonton video lucu dari Instagram.
"Ya," tanggap Heeseung. Dia mengetuk-etukan bodi ponselnya. "Kenapa?"
"Untuk seseorang yang berbohong kalau dia miskin dan nekat berhutang demi bisa mengikuti gaya hidup teman-temannya, aku lihat kamu cukup mampu." Jay berkata dengan tenang, tetapi bibirnya tergores senyum mencibir yang membuat Heeseung merasa mual melihatnya.
"Ini hadiah." Heeseung menjawab singkat.
"Beserta airpods-nya?" Jay kembali bertanya.
"I-Iya." Kenapa juga Heeseung harus terbata? "Kenapa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
gold digger • jayseung - hoonseung
Fanfiction[COMPLETED] Heeseung hanya butuh uang. Ia tidak butuh masalah baru. ((Yah, tapi dia memang cari masalah duluan, sih.)) . . - semi baku. kinda lokal! AU? - shortfic