jika paris tidak (pernah) ada

845 125 165
                                    

𝕊𝕒𝕥𝕦-𝕤𝕒𝕥𝕦𝕟𝕪𝕒 hal yang saya tahu darimu adalah kekasihmu yang pergi telah membawa senyummu untuk jadi teman di makamnya. Kamu menikahi saya karena saran dari orang tuamu sebab desakan atas usiamu yang tak lagi muda. Namun saya tidak begitu, saya menikahimu sebab saya memang sayang padamu, yang bisa jadi kini telah tumbuh menjadi cinta.

          Rumah tangga kita tidak sempurna. Kamu tidak banyak bicara sedang saya tidak cukup berani mengganggumu asyik dengan diammu.

          Kadangkala saya frustasi dalam usaha yang saya lakukan untuk memahamimu. Kamu perlu tahu, keheninganmu adalah bahasa seribu makna dan saya hanya bisa menafsirkan satu di antaranya: kehampaan. Setiap sabit senyummu yang kadang-kadang muncul tidak tentu waktu itu hanya menampakkan kegetiran. Kalau saya bisa menukarkan jiwa dan nyawa saya pada kekasihmu itu, saya sudi melakukannya. Saya cinta kamu dan kamu tidak wajib membalas perasaan saya.

          "Taehyung, kekasih saya pernah berjanji akan mengajak saya ke Paris. Bisakah kamu mewujudkan itu untuk saya?" pintamu sekitar satu minggu yang lalu.

          "Tentu. Saya pesankan tiketnya. Kamu ingin berangkat kapan dan berapa lama?" Saya buru-buru membuka gawai untuk mengakses aplikasi tiket pesawat. Setelah dua tahun usia pernikahan, itulah kali pertama saya menerima permintaan tolong darimu. Saya suka mendengar suaramu yang pelan memanggil nama saya.

          Kamu kembali bergaul dengan heningmu. Badai kesedihan tidak kunjung reda dari wajahmu yang ayu. Saya ingin membenci Tuhan sebab telah Dia ambil satu-satunya kebahagiaanmu. Namun Tuhan juga yang menghadirkan kamu sebagai satu-satunya kecintaan saya. Sehingga saya urungkan keinginan saya untuk membenci-Nya.

          Saya pernah sampaikan padamu, bahwa kematian bukanlah akhir dari batas usia. Kematian adalah ayat-ayat api yang dikumandangkan kehidupan—yang tak lain adalah jalan kepulangan bagi waktu.*¹

          Saya ingin kamu tahu, bahwa kematian justru mengabadikan ia. Bukankah waktu telah selesai urusan dengannya? Apalagi yang ditakutkan jika batas-batas waktu saja telah ia lewati? Tetapi kamu tidak mengerti maksud saya, lalu kembali meninggalkan bekas muram di meja makan.

          Saya yakin, kamu adalah perempuan yang keluasan hatimu tidak mampu ditaklukkan oleh petualang ulung sekelas Napoleon. Kamu bertahan dalam riuh yang kamu simpan di dalam dada. Sunyimu selalu gaduh dalam kepala saya.

          Saya pernah melihatmu menangis di suatu malam. Kamu duduk di meja rias ketika saya bangun untuk memeriksa dari mana datangnya isakan itu.

          "Maafkan saya, Taehyung," balasmu saat saya tanya apakah kamu baik-baik saja.

          Bukan itu yang saya inginkan. Saya mau kamu berbagi kesedihan itu dengan saya. Saya ingin membantu kamu melewati masa-masa sulit. Tetapi justru kamu yang memberikan masa sulit itu untuk saya, sebab saya tidak mampu menolongmu; tidak cukup mengerti kamu. Mengetahui itu, perasaan saya seperti terhimpit, sesak oleh batu pahit dan kerikil getir.

          Saya menyiapkan barang-barang untuk dibawa ke Paris selama satu pekan dan terkekeh membayangkan perjalanan ini. Kekasihmu yang berjanji, tetapi saya yang mewujudkannya. Setidaknya saya dapat menganggap diri saya sebagai kekasihmu untuk sementara waktu, kendati saya tidak tahu apakah kamu juga menganggap saya begitu.

          Di pesawat, kamu duduk di samping saya membaca buku tentang Perancis dan kota-kotanya. Seperti biasa, tidak banyak kata di antara kita. Tempat duduk kita dibatasi oleh sepi yang kita ciptakan sendiri. Saya menawarkan kamu minuman, tetapi kamu telah lelap bersama Eiffel di halaman yang terbuka.

          Kita telah sampai. "Boleh saya bantu?" tangan saya menunggu jawabanmu.

          Kamu mengambil telapak tangan saya yang terbuka dan turun hati-hati dari tangga. Kamu tersenyum tipis. Tipis sekali. Kalau mata saya tidak jeli, saya bisa saja melewatkan pemandangan langka ini.

          Di hotel, saya bertengkar dengan diri saya sendiri dalam usaha mencairkan suasana. "Kalau Paris tidak ada, kamu ingin ke mana?" tanya saya akhirnya sambil menunggumu berdandan.

          "Itu pertanyaan untuk saya?" Sudah jelas. Kepada siapa lagi saya bertanya kalau bukan padamu. Tidak mungkin saya bertanya pada diri saya sendiri.

          "Tentu saja," balas saya dengan hiasan senyum untuk pertanyaanmu yang saya anggap jenaka.

          "Saya kurang tahu, mungkin London?" Saya bahagia bukan main. Kamu menanggapi pertanyaan basa-basi saya tanpa kesan terpaksa.

          "Mengapa?" Usaha saya melanjutkan percakapan agar lebih panjang.

          "Saya suka aksen mereka dalam berbahasa Inggris."

          Saya tersenyum. Catat Taehyung! Teriak saya memerintah otak untuk mengingat satu hal yang kamu suka. Tentu saja saya tidak ingin obrolan kita berlalu.

          "Kalau Paris tidak ada, di mana Kota Cinta berada?" tanya saya padamu yang asyik membetulkan sepatu. Kamu berhenti mengikat talinya lalu melihat ke arah saya.

          "Vienna? Roma? Tidak tahu. Menurutmu di mana?"

         "Tidak ada Kota Cinta, sebab cinta telah membangun rumah di hatimu."

          Kamu menunduk kembali menali sepatu. Saya lihat kamu tersenyum. Astaga! Apa itu? Kamu memiliki lesung pipi? Bagaimana saya tidak tahu selama ini?

          Saya mengerti! Saya telah menaklukkan sebagian dari luasnya hatimu!

Fin.

__________
¹: diambil dari cuplikan puisi Sapardi Kini karya Usman Arrumy.

Aku geli dengan gombalan Taehyung yang aku tulis sendiri ಥ‿ಥ. Akhir kata, terima kasih untuk yang sudah membaca.♡

𝙟𝙞𝙠𝙖 𝙥𝙖𝙧𝙞𝙨 𝙩𝙞𝙙𝙖𝙠 𝙖𝙙𝙖Where stories live. Discover now