Written by: inggantiaraast (wattpad) inggantiaraa_ (instagram)
Sore ini cerah. Bayang-bayang keunguan tampak menghiasi jingganya langit saat matahari mulai terbenam di ufuk Barat. Cicitan burung-burung gereja terbang menemani angin lembut yang bertiup, dan dari balkon kamarku ini bisa terlihat pemandangan kota yang tidak pernah sepi.
Apa dulu keadaan seperti ini memang menjadi rutinitasku?
Sendirian.
Ketika pikiranku masih berusaha merasionalisasikan alasan kenapa aku harus mengingat lagi hal-hal yang telah ku lupakan, tangan lembut seorang wanita menggenggam tanganku. Dia berdiri di sampingku, di balkon yang sama, menatap pemandangan kota yang sama. Aku tidak tahu sejak kapan Julia berdiri di sini.
"Lagi mikirin apa, Kak?"
"Bagaimana kau bisa masuk sampai ke sini?" tanyaku. Ia menyunggingkan senyumnya.
"Aku sudah lumayan sering lho ke sini. Jadi apa salahnya aku mengunjungi kakakku?"
"Maksudku, kau tidak bertemu dengan Ibu mertuaku 'kan?"
Ia menggeleng. "Di bawah sepi, kelihatannya tidak ada orang di rumah sebesar ini." Julia menghentikan ucapannya, lalu detik berikutnya ia seperti menyadari sesuatu. "Eehh, mereka meninggalkan kakakku sendirian ya?"
"Mario belum pulang, apalagi Ibu mertuaku. Dia pergi dengan Devi sejak pagi. Shima tertidur setelah menghabiskan segelas susu," kataku sambil mengingat-ingat.
Sekarang ia memasang ekspresi kesal. "Lebih baik kau kembali ke rumah kita saja, kak. Sudah kuduga, tinggal di rumah ini hanya membuat kondisimu semakin buruk."
"Hah?" Aku menaikkan alis, tidak terlalu mengerti apa maksudnya.
"Jangan 'hah' gitu, dong! Apa enaknya di sini? Mereka bersikap seakan mengharapkan kembalinya ingatan kakak, tapi tak pernah berharap kakak akan kembali ke rumah ini 'lho." Ujar Julia yang kini mengalihkan pandangannya ke tengah kota. Pantulan cahaya lampu dari bangunan-bangunan terpancar ke matanya yang bulat.
"Mungkin itu benar." Akhirnya ada seseorang yang ikut mengerti apa yang aku rasakan ketika menginjakkan kaki ke rumah bak istana ini. Bukan, mungkin perasaan ini sudah ada sejak aku terbangun dari koma saat itu.
"Benar, kan? Aku peka lho kalau soal beginian. Lagian, Ibu mertuamu itu masih saja dingin, ya? Tidak pernah tersenyum saat aku bermain ke sini, seperti aku orang asing yang harus dihindari. Ternyata ada ya orang sepertinya. Menyebalkan. Lebih menyebalkan daripada pacarku." Julia terkekeh, membuatku tersenyum mengiyakan. Rupanya sikap Ibu mertuaku memang seperti itu terhadap keluargaku, bukan padaku saja.
"Sepertinya kau tipe gadis yang punya banyak pacar," ujarku sekenanya. Akhirnya Julia di sebelahku tertawa terbahak-bahak.
"Mana mungkin! Aku baru kali ini pacaran, itu pun rasanya aku sudah bosan. Mungkin besok dia akan kuputusin."
"Tidak baik kalau cuma mau bermain-main."
"Biarkan saja, kelihatannya dia juga tidak peduli lagi denganku." Julia memonyongkan bibirnya, membuatnya terlihat menggemaskan. Aku tepuk kepalanya pelan. Rambut lembutnya tertiup angin.
Jika ada banyak pertanyaan yang ingin kutanyakan, bukannya bertanya ke adikku adalah hal yang paling tepat? Dia pasti tahu apa yang terjadi. Namun aku mengurungkan niat untuk bertanya ketika aku merasakan sesuatu terpancar darinya.
"... Kelihatannya kau ke sini bukan mau membicarakan pacarmu."
Ketika aku mengatakan hal itu, tatapannya mendadak berubah menjadi sendu. Matanya terlihat mencoba menutup diri dari keadaan yang menyesakkan. Setelah aku lihat-lihat lagi, ternyata gadis ini cukup kurus. Rasanya terlalu kurus untuk ukuran seorang remaja.
"Ternyata Kakak tetap lebih peka dibandingkan aku, ya."
Entah perasaan ku saja, kudengar suaranya bergetar, diikuti dengan matanya yang mulai berkaca-kaca.
"Aku rindu Ibu, Kak."
Deg.
Tiba-tiba jantungku berdetak kencang ketika mendengar hal itu dari mulutnya. Benar juga, aku terlalu fokus berusaha memikirkan teka-teki dari orang-orang yang memenuhi hariku. Memikirkan sikap Ibu mertuaku, si misterius Devi, dan juga Mario. Lupakan soal seseorang yang katanya sepupuku itu, juga lelaki lain yang kelihatannya punya kaitan erat dengan kehidupanku. Aku terlalu fokus memikirkan semua hal-hal itu, hingga aku tidak punya ruang lagi memikirkan keluarga yang masih berkabung atas kematian Ibu. Peristiwa itu bahkan masih 5 hari yang lalu.
"Sekarang kita jadi yatim-piatu ya," tambah Julia, masih berusaha menutupi tubuhnya yang bergetar menahan tangis. Bagaimanapun, gadis ini memang adikku. Tidak perlu dibuktikan, karena lubuk hatiku mengatakan kalau dia benar-benar saudara kandungku.
Tanpa ragu aku menariknya, lalu aku peluk dia dengan erat. Walaupun aku meruntuhkan pertahanannya, aku tidak menyesal saat ia menangis. Julia terisak, sama seperti saat kami menghadiri pemakaman Ibu. Ia menangis seperti anak kecil.
"Apa dulu aku juga menangis seperti ini saat kematian Ayah?" Aku bertanya padanya, dan ia tertawa di sela-sela tangisnya.
"Kau bahkan lebih parah dariku, Kak. Padahal saat itu kau sudah SMP."
"Berarti saat itu kau masih kecil juga ya. Sekarang umurmu berapa?"
Julia mengelap air matanya dengan lengan baju. Perlahan ia melepaskan pelukanku, menatapku dengan matanya yang sedikit sembab.
"Ah iya! Aku kesini juga mau memberitahumu sesuatu."
Aku mengajaknya duduk di bangku yang tersedia di balkon. Kami duduk berseberangan.
"Ada apa?"
"Minggu depan akan ada acara pengambilan ijazah, bertepatan dengan ulang tahunku juga. Aku mau Kakak yang datang," ucapnya yang kelihatan seperti memaksaku untuk menghadiri acara itu.
"Terlepas dari kenyataan kalau sudah tidak ada Ibu yang akan melakukan itu, aku tidak yakin untuk mengajak Kak Ralf. Di hari yang sama dia akan membawa istrinya pemeriksaan rutin. Benar-benar suami sayang istri." Kini Julia tertawa lagi. Aku merasa kalau gadis ini seperti memiliki tombol untuk mengatur suasana hatinya. Hanya dengan menekan satu tombol, ia bisa saja menangis. Di detik berikutnya, bisa saja berteriak kesenangan. Benar-benar menarik.
Aku berpikir sejenak sebelum mengiyakan. Aku jadi tertarik mengingat sosok kakakku dan istrinya yang sempat kutemui beberapa hari lalu.
"Istri Kak Ralf cantik ya."
"Anak perempuannya juga cantik. Matanya mirip ayahnya, tapi kepribadiannya mirip ibunya." Julia mengatakannya dengan bangga. Aku jadi sedikit terkejut–walau rasanya aneh.
"Berarti ini anaknya yang kedua?"
Julia mengangguk. "Aku berharap anaknya laki-laki. Tapi kalau perempuan lagi juga tidak masalah, yang penting lahir dengan sehat. Totalnya aku akan punya 3 keponakan."
"Sepertinya masih banyak yang belum aku ingat. Sering-seringlah datang ke sini, kau tau keadaanku kan? Aku ingin kau menceritakan banyak hal yang sudah aku lupakan."
"Lebih baik mengobrol di tempat lain, mungkin di café atau kita ke mall. Di sini rasanya tidak aman," ujar Julia pura-pura serius. Lalu ia terkekeh.
Malam telah tiba, lampu-lampu dari tengah kota terasa lebih hidup.
"Boleh saja. Oh iya, aku akan pergi ke acara itu. Tinggalkan saja alamat sekolahmu."
"Terimakasih." Ia pun memelukku dengan erat. Hatiku menghangat.
"Jangan lupa kadonya," tambahnya.
Aku hanya tertawa pelan.
KAMU SEDANG MEMBACA
BK1 - Samar
Romance"Ada apa Ann? Kau mencari Mario? Dia sebentar lagi akan sampai. Si bodoh itu seperti akan gila kalau kau tidak juga bangun." Untuk suatu alasan, kepalaku menolak nama itu. Seolah bukan dia yang aku tunggu. "Siapa kau? Siapa kalian?" Aku tidak tahan...