Di bawah pohon pepaya yang berbuah lebat, aku duduk menatap langit berwarna kemerahan yang terlihat sangat memikat. Namun, sayangnya keindahan itu tak berlaku lama, karena lama-kelamaan warnanya mulai memudar. Ya, seperti itulah gambaran kehidupan. Tak ada yang abadi selama kau masih berpijak di bumi-Nya, keindahan, keinginan, semua itu layaknya fatamorgana.
“Udah mau maghrib loh, Cha. Entar kamu kesambet.”
Teguran Mira sukses membuatku terkejut. Saat ini aku memang sedang duduk di belakang rumah dekat jemuran.
“Eh, piringnya biar aku aja yang nyuci, Mir!” larangku saat kulihat ia membawanya.
Rumah yang kami kontrak ini, mempunyai tempat mencuci yang cukup lebar di belakang rumah. Halamannya yang luas ke belakang pun membuatku senang menghabiskan waktu di sini ketimbang halaman depan.
“Nggak apa-apa Cha, sekalian juga.”
Aku menyerah, tak lagi berusaha mengambil piring kotor itu dari tangannya. Mataku fokus menatap apa yang Mira lakukan, selanjutnya tangannya sibuk membasuh permukaan wajah.
Ya, Mira mengambil wudhu untuk melaksanakan salat maghrib yang sebentar lagi akan tiba.
“Kamu nggak wudhu?” tanyanya yang membuatku terbengong.
Aku hanya diam menatap Mira. “Sekeras apa pun kamu, aku tak akan pernah bosan untuk mengajakmu kepada kebaikan. Jika bukan saat ini, mungkin suatu saat nanti hatimu akan luluh,” ucapnya menepuk bahuku pelan sebelum berlalu.
Mira adalah seorang teman yang tak henti-hentinya mengingatkanku tentang kewajiban kepada Sang Pencipta. Bahkan, aku yang mendengarkan sampai jengah, tapi ia tak pernah lelah.
Lantunan ayat Al-qur’an yang dibacakan Mira membuat hatiku merasa lebih tenang. Hingga di pertengahan ayat surat Abasa, air mataku menetes. Aku masih ingat betul tentang penjelasan ayat ini walau sudah bertahun-tahun lalu aku mempelajarinya. Ayat yang menjelaskan tentang bagaimana sibuknya kita pada urusan masing-masing, saat itu kita tidak lagi peduli dengan saudara, ibu, bapak, istri, atau pun yang lainnya.
“Cha, ada yang nyari kamu tuh.”
Sella menyembulkan sedikit kepalanya dari luar, setengah berbisik ia mengucapkannya karena tahu kalau Mira sedang mengaji.
Aku yang sedang berbaring langsung bangkit, menyisir rambut ala kadarnya agar tidak terlihat amburadul. Tanpa ingin menanyakan pada Sella siapa yang bertamu, aku langsung berjalan menuju teras rumah.
Dari punggung badannya yang mempunyai bidang lebar, aku sudah bisa memastikan bahwa itu Irwan. Kenapa ia harus datang kemari sih?
“Ada apa, Wan?” tanyaku yang membuatnya langsung berbalik menghadapku.
Tatapannya yang menelisik dari ujung kaki sampai ujung kepala, membuatku risih. Ya, aku tak suka bila dipandangin seperti itu.
“Kamu sudah sehat, Cha? Maaf ya, baru bisa jenguk sekarang.”Kemarin aku meminta Irwan untuk menyampaikan izinku pada bos agar tidak masuk kerja dengan alasan sakit, melalui ponsel milik Mira.
“Udah agak mendingan, kok. Duduk Wan, biar aku panggilkan Mira juga.”
“Nanti aja, aku masih mau ngobrol sama kamu,” cegah Irwan saat aku hendak meninggalkannya.
Jadilah sekarang kami duduk berdua di teras rumah yang menghadap jalan. Untuk beberapa saat tak ada yang memulai, entah kenapa embusan angin malam yang berhasil membuat daun mangga terlepas dari rantingnya lebih mencuri perhatianku.
“Jadi, kapan kamu masuk kerja, Cha?” tanya Irwan memecah keheningan.
Aku pun tak tahu, perasaan takut tentang pulang malam tiba-tiba saja menghantui. Bukan karena takut ada hantu, tapi takut kalau peristiwa itu terulang lagi.
“Kayaknya, aku bakal berhenti dari sana.”
“Loh, kenapa? Bukannya kamu lagi butuh pekerjaan ini ya?” tanya Irwan penasaran.
Aku memang masih butuh pekerjaan ini, terlebih lagi sekarang ponselku telah hilang. Namun, bayang-bayang malam itu masih membuatku trauma.“Aku masih bisa nyari kerja di tempat lain kok .... Kalau nggak ada yang mau diomongin lagi, aku masuk ya.”
“Tapi, tolong beri tahu alasannya kenapa kamu sampai berhenti kerja segala?”
Kini tubuhku sudah berdiri tegak hendak meninggalkannya. “Aku udah nggak bisa pulang malam-malam lagi. Oh, makasih untuk buahnya ya, tapi aku harus istirahat, Wan,” elakku yang tak ingin mendengar pertanyaanya lebih banyak lagi.
“Kalu gitu, tolong panggilkan Mira, ya!”
Aku hanya tersenyum sambil mengangguk mendengar permintaannya. Pintu kamar yang terbuka bisa membuatku langsung menatap Mira yang tengah sibuk mengetik sesuatu di laptop miliknya.
“Mir, Irwan mau ngomong tuh sama kamu.”
Setelah mendengar itu, Mira langsung mengenakan mukenah yang tadi dipakainya salat. Berbeda denganku, Mira selalu menutup rapat auratnya bila keluar rumah. “Sebagai seorang muslimah, sudah menjadi kewajiban kita untuk menutup aurat. Tak ada tawar-menawar dalam hukum yang sudah ditetapkan. Panasnya dunia, bukanlah alasan agar kita terhindar dari kewajiban yang sudah jelas tertuang dalam Al-quran.”
Seperti itulah jawaban Mira saat aku pernah memintanya untuk melepaskan kerudungnya. Saat itu, kami sedang mengikuti seminar di ruangan tertutup yang diisi oleh ratusan bahkan hampir seribu peserta. Kulihat Mira mengibas-ngibaskan tangan ke dalam jilbabnya. Dan hal itu terjadi setelah seminggu perkenalanku dengan Mira.
“Cha, tolong sleep-kan laptopku ya.”
Ucapan Mira membuatku tersentak dari kejadian delapan bulan lalu, segera kulakukan apa yang dipinta Mira. Setelah itu kembali berbaring di atas peraduan yang menempel dengan lantai.
Sudah empat hari berlalu sejak kejadian yang menggenaskan itu. Aku tak boleh terus-terusan seperti ini, ada banyak hal yang harus kulakukan, bahkan impian yang selama ini kuimpikan belum tercapai.
Pahitnya perjuangan untuk mengambil gelar sarjana sudah sampai separuh jalan. Ya, aku harus bangkit, setidaknya untuk menyelesaikan perjuangan yang telah kulalui agar tidak sia-sia.
Yang lalu biarlah berlalu, tak ada yang perlu disesali dengan histeris sampai melupakan persiapan untuk masa yang akan datang.
Konon katanya, masa lalu itu layaknya kaca spion. Kita hanya perlu melihatnya sesekali ke belakang untuk memastikan keadaan. Namun, jika terlalu fokus melihat spion itu, kita bisa saja menabrak apa yang ada di depan.Aku memejamkan mata, mengistirahatkan tubuh, dan otak yang akhir-akhir ini bekerja sangat keras. Berharap kesedihan serta ingatan buruk juga ikut menghilang bersamaan dengan mata yang terlelap.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bidadari yang Ternoda
RomanceKecantikan yang melekat pada dirinya, membuat hampir seluruh mata hanya terfokus padanya. Bahkan, tak jarang pandangan orang-orang yang menatap seakan ingin memiliki. Hingga suatu malam di gang menuju kontrakannya, ia dihadapkan dengan peristiwa yan...