Flight deck room, Xavier's pivate plane.
Here I'm.
Little One sedang duduk di pangkuan ku. Dia tampak sangat antusias. Sifatnya yang agresif membuatku sedikit kewalahan karena tangannya selalu saja berusaha menyentuh instrumen penerbangan yang ada di ruang kokpit ini meskipun aku sudah mengingatkannya berkali kali.
"Don't touch anything, Lil' O. Don't touch anything till your Papa come here," begitulah aku memperingatinya.
Meski dia selalu menjawab "Ya, Mama. I'm sorry," nyatanya dia masih selalu melakukannya lagi dan lagi.
Apa aku marah? Of course, No!
Bagaimana aku bisa marah pada bocah kecil yang selalu bisa membuat ku luluh seperti dia? Bahkan ketika tadi aku marah besar pada Xavier, hanya dia yang berhasil membuatku keluar dari kamar.
Do you wanna build a snowman, kalimatnya saat mengetuk pintu kamar ku tadi terngiang di pikiran ku. Caranya yang polos dan sederhana itu mampu membuat ku melupakan rasa kecewa ku pada Xavier.
Aku juga masih mengingat ketika dia sampai di bandara ini tadi. Dia langsung meminta turun dari gendongan ku dan berlari ke jet pribadi Xavier yang tampak sangat megah.
"Wow, Papa!! It that my plane?" Dia bertaya dengan sangat antusias sambil menarik narik baju Xavier.
"Ya. It's yours." Aku tidak buta. Aku bisa melihat Xavier tersenyum tipis kepada Little One. Persis seperti ketampanan dan sorot matanya yang menyesatkan, senyuman miliknya juga bisa membuat ku tersesat dalam pesonanya. Cepat, keras, dan dalam.
See? Sekali lagi aku lupa bahwa dia adalah orang yang sama yang membuat ku marah dan kecewa.
Ow, bicara soal Xavier, Si tampan menyesatkan itu sedang berbicara dengan pilot pribadinya di belakang sana.
"Mama," Little One menepuk pipiku pelan sambil menatap ku.
"What are you thinking about?"
Sepertinya dia menyadari kalau aku melamun sejak tadi. Tersenyum kepadanya, aku mencoba meyakinkannya bahwa aku baik baik saja.
Little One baru saja membuka mulutnya untuk kembali berbicara ketika Xavier dan pilot nya masuk ke ruangan ini.
"Lil' O." Xavier memanggilnya.
Dia mengulurkan tangannya, memberi isyarat kepadaku untuk mengalihkan bocah itu ke gendongannya.
Xavier menatap ku, begitupun dengan aku yang menatapnya. Tatapannya terlihat sangat dalam, seolah ada banyak hal yang ingin dia coba untuk ungkapkan.
Aku hanya diam dan menatapnya kosong. Bagaimana pun aku masih kecewa padanya.
"Permisi, nona. Perkenalkan saya Jeff, pilot pribadi tuan Xavier." Ucapannya menghentikan aksi tatap menatap kami.
Oh, pantas saja dia terlihat asing di mata ku. Dia pilot pribadi Xavier yang baru. Karena seingat ku, pilot yang membawa ku dan Xavier pergi ke Hong Kong dan Korea waktu itu sudah terlihat tua dan mungkin sudah memasuki masa pensiunnya.
"Aku Magika, Jeff. Kau bisa memanggil ku Megg."
Jeff tersenyum sambil mengangguk hormat.
Sekarang mereka sudah berada di posisinya masing masing. Jeff berada di kursi pilot, sedangkan Xavier menjadi Co-pilot nya dengan Little One di pangkuannya. Aku berdiri di belakang mereka.
"Jeff, apa ini akan aman? Maksudku, ada Lil' O disini. Apa akan baik baik saja?"
"Tentu, nona. Ada tuan Xavier yang akan menjaga tuan Franklyn."
Franklyn. Tentu saja Little One yang dia maksud.
Franklyn is his name, remember?
Aku mengangguk percaya. Ya, meski ku akui aku masih sedikit berdebar cemas. Khawatir jika Flight kali ini akan bermasalah. Terlebih, aku baru tahu jika Xavier bisa mengemudikan pesawat.
Mesin pesawat sudah di nyalakan. Xavier dan Jeff mulai fokus pada instrument flight dan control flight yang berada di hadapan mereka. Itu terlihat sangat rumit, namun mereka berdua terlihat tenang.
Sesekali Xavier akan membawa tangan Little One untuk menekan tombol atau menarik tuas salah satu instrumen di sana. Bocah itu terlihat sangat senang dan sesekali tertawa.
Setelah beberapa saat yang mendebarkan, maksudku, setidaknya mendebarkan bagiku, akhirnya pesawat ini berhasil take off dengan lancar.
"Mama.. Look Mama!! The plane flies. I drive it. I drive my plane, Mama!!"
Tawa kecil ku terdengar. Tingkah anak itu sungguh menggemaskan. Dia mulai bergerak tak beraturan di pangkuan Xavier.
"Lil' O, duduklah dengan benar atau aku akan membawa mu keluar dari ruang cockpit ini."
"No, Mama!! I won't!"
"Maka jangan berulah, Lil' O. Ini akan berbahaya jika kau banyak bergerak. Kau tidak mau pesawat mu ini jatuh, kan?"
Aku bisa melihatnya menggeleng cepat dengan ekspresi tidak terima yang sangat menggemaskan.
"Baiklah, aku akan ke dapur pesawat."
**********
Seseorang sedang menyelipkan helaian rambut ke balik tengiaku, aku merasakan itu.
Mata ku mengerjap pelan. Aroma tubuh seseorang menyeruak ke indera penciuman membuat ku tenggelam dalam aromanya yang memabukkan, menjadi candu setiap saat.
"Wake up, angel."
Aku masih enggan membuka mata ketika bisikan halus itu terdengar di telinga ku. Rasa kantuk masih menguasai diriku.
"Wake up or I'll kiss you till die." Seperti mendapat alarm mutlak, mata ku spontan terbuka lebar.
Aku menemukan si tampan menyesatkan sedang duduk di samping ku. Dia membungkukkan tubuhnya hingga wajahnya berada sangat dekat di depan wajahku.
Hey, dimana Little One? Seharusnya dia yang membangunkan ku.
Ah, aku lupa. Dia sudah pulang kemarin setelah puas mengendarai pesawat. Mr. One dan istrinya yang datang menjemput Little One.
"Wake up, angel. Time to breakfast." Sekali lagi dia berbisik di telinga ku.
"It's ok jika kau masih marah padaku dan tidak mau sarapan bersamaku. Aku akan membawa sarapan mu kesini."
Aku masih mendiamkannya, membiarkan dia berbicara semaunya.
"Aku akan mengambilnya untuk mu."
Baru selangkah dia beranjak dari sisi ku, tangan ku sudah terulur untuk menahannya. Ku pikir tadi dia akan membahas masalah yang kemarin. Namun dia justru terlihat seperti menghindari pembicaraan yang menyangkut hal hal itu.
"Aku ingin ke tempat ibu."
Si tampan menyesatkan berbalik menatap ku, berdiri tepat di hadapan ku. Aku bakan harus mendongak untuk bisa menatapnya.
"Later."
"When?"
"Soon."
"Ya?"
"Ya."
Tidak tinggal diam, dia sedikit membungkuk untuk mencium kening ku.
"I'm sorry." Bisiknya.
Aku memafkan mu, aku menjawabnya dalam hati. Bibir ku masih tertutup rapat, seolah aku masih belum bisa memaafkannya begitu saja.
"I'm sorry."
Oh, dia adalah pria keras kepala, aku lupa. Dia tidak akan berhenti sampai aku benar benar menjawabnya.
"I'm sorry."
Sudah ku katakan aku memaafkanmu, X. Lagi, aku menjawabnya dalam hati. Ego telah membuat ku menolak permintaan maafnya meski hati ku sangat ingin.
"I'm sorry."
Apa kau lupa telah membuat ku kecewa, X? Aku mempercayai mu sepenuhnya tapi kau justru memilih berbohong padaku. No matter what's your reasons, lie is still lie, X. And the point is you still did it. Dan setelah semua itu kau pikir aku mau memaafkanmu?
"I'm sorry."
"Ya." Meski hanya suara lirih, aku menjawabnya.
Oh, aku menyerah. Nyatanya meski sebesar apapun aku menolak semua hal tentangnya, aku tak pernah bisa.
Apa yang telah kau lakukan padaku, X?
Kenapa aku tidak pernah bisa menolak mu? Kenapa aku selalu bisa memaafkan dan kembali padamu ketika aku sendiri benar benar marah dan kecewa padamu?
What have you been done to me?