Ternyata...

110 15 0
                                    

Diam nya seseorang bukan berarti kalah. Terkadang ia butuh tempat yang bisa menjadikannya pelabuhan abadi.

~n

Pagi ini cukup mendung, musim hujan pun memasuki waktunya. Laki laki dengan seragam lengkap disertai topi andalan, menatap hamparan langit luas. Menghembuskan nafas panjang. Ia rindu kehidupannya, kecewa akan kepalsuan yang meraja lela. Merogoh kantong celana, mengambil recehan koin.

Ia tertawa sumbang, sekarang keberadaannya bagai recehan uang yang tidak ada makna. Tak ada seseorang pun yang bisa menghargainya. Hidup hampa tanpa kasih sayang. Berjuang sendiri tanpa ada dukungan.

Lelaki itu Nevan, anak yang tidak pernah merasakan kehangatan keluarga. Sedikit iri dengan cerita teman sebayanya. Bagaimana indahnya berkumpul bersama orang tua. Bagaimana serunya belajar bersama saudara.

"Hai adik kecil gue." Ucap Nevan bernarasi tentang adik laki lakinya.

"Semoga lo bahagia ya. Gak usah hirau in gue. Abang lo ini kuat kok."

Tanpa Nevan ketahui. Ada seorang gadis berlesung pipi mengupingnya. Dicelah jendela yang menghalangi kedua insan itu. Menatap dalam, tak ingin beranjak pergi.

"Kejadian lalu, biar gue handle. Lo gak perlu ngrasa bersalah. Udah seharusnya, abang lo. Ngelindungi adiknya sendiri." Lanjut Nevan.

"Hahaha. Curang ya lo, masa udah main kawin aja. Nggak ngundang ngundang lagi." Tawa miris Nevan mencuat. Mengetuk kepalanya. Bodoh sekali dia, mengapa ia menghabiskan energi hanya untuk bergumam tidak ada arti.

"Lo udah besar, udah waktunya lo buang sikap kekanak kanakan lo. Ngeliat lo waktu itu yang cemburu banget sama gue. Itu buat gue tertawa ngejek lo. Ternyata sikap lo masih labil."

"Gue sayang sama lo, adik kecil. Aidar Keenan Aezar." Lirih Nevan.

Gadis penguping tadi menutup mulutnya tak percaya. Kenapa nama suaminya disebut Nevan? Setahu dia, Aidar tidak punya kakak laki laki. Wanita itu Asatifa. Tadinya ia hanya sekadar iseng melewati koridor kelas 12 Ipa. Melihat Nevan ada disana, ia berniat menjaili. Tapi ia tunda kala Nevan bergelut dengan pikirannya sendiri.

Asa perlahan mundur, ia terlampau kaget. Tapi naas, mungkin ini hari sialnya. Dibelakang Asa ada tong sampah. Ia tak sengaja menyenggol, dan berakhirlah Nevan menoleh kearahnya. Laki laki itu merapikan seragam dan mendekat ke Asa.

"Sa? Lo ngapain disini?" Tanya Nevan datar.

Sang penguping menggelengkan kepala. Tak percaya atas lontaran Nevan tadi. Jadi? Selama ini, yang selalu ada disamping Asa. Adalah kakak iparnya sendiri?. "Lo kakaknya kak Aidar?"

Nevan terenyuh, segitu keraskah ia bergumam. Sampai sampai tak menyadari keberadaan Asa. "Lo nguping?" Tanya balik Nevan.

"Gue tanya sama lo. Lo kakaknya kak Aidar?"

"Lo salah paham Sa." Asa mengangkat tangan, menggerakkan kekanan kiri. Tidak setuju atas perkataan Nevan.

"Nggak. Gue tau semuanya."

"Sa. Dengerin gue dulu. Jangan simpulin sesuatu sebelum lo denger seutuhnya."

Jawab Nevan. Ia mulai panik. Buku buku jarinya dingin, keringat membasahi tangan. Menyakinkan Nevan, keberadaannya dalam kondisi tidak aman.

"Ya udah. Jelasin ke gue." Kekeuh Asa.

Ia butuh kejelasan dengan Nevan. Apalagi ini menyangkut sang suami. Teka teki ini membuat Asa bingung. Tidak habis pikir, masalah apa lagi yang akan memporak porandakan hatinya. Nevan hanya menghembuskan nafas panjang. Mungkin ini sudah waktunya. Beritahu secukupnya pada Asa. Dan kehidupan akan kembali berjalan normal.

Darsa (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang