Kata Sandi, Broadcasting merupakan jurusan eksklusif di Bayanaka. Padahal, itu cuma slogan peninggi ego di balik fakta nyelekit bahwa dua tahun silam, Broadcasting sempat jadi jurusan sepi peminat. Bahkan, hampir ditiadakan kalau saja Haikal nggak tiba-tiba daftar di detik terakhir masa PPDB dan menjadi pelengkap kelas, sempurna di angka tigapuluh.
Sulit dipercaya memang, tapi itu bukan sekadar karangan iseng kakak Dewan Ambalan di malam renungan api unggun kemah besar. Kejadiannya benar-benar pernah terjadi. Kelas yang sempat dibagi menjadi tiga ruangan, mendadak menyusut menjadi remah-remah sisa karena sebuah insiden.
Maka dari itu, sebuah hal mendekati ajaib ketika—persis setahun setelahnya—penggemar jurusan satu ini mengalami peningkatan. Nggak pesat, tapi cukup. Seenggaknya, lebih dari sepadan untuk membuat angkatan dua tahun lalu menjadi angkatan paling sedikit dari yang pernah ada.
Entah hal tersebut termasuk sesuatu yang patut dibanggakan atau enggak. Yang pasti, Sandi nggak pernah absen pamer perihal kisah ini kapanpun dapat kesempatan pidato di depan banyak orang pakai dalih memberi motivasi dari kejadian masa lalu.
"Masa, sih?"
Chelsea nggak perlu repot-repot menoleh hanya untuk tahu bahwa Banyu melihatnya dengan satu alis terangkat. Mungkin ini bukan jawaban yang Banyu mau, tapi Chelsea dengan amat sengaja mengangguk. Bukan untuk berbohong, hanya murni meyakinkan.
Masalah percaya atau enggak, itu urusan Banyu.
"Lo studi begituan di mana, berapa lama?"
Pertanyaan Banyu nggak digubris. Gerutuan Sandi yang sibuk mencoret kalimat panjang yang sempat ditulis untuk wawancara radio siang nanti secara gamblang telah mengalihkan penuh perhatian si gadis pemilik senyum manis.
Sayang sekali. Banyu bukan termasuk pribadi yang senang diabaikan.
"Spekulasi aja, kan?" desak Banyu. Masalahnya sepele, hanya tentang informasi yang disampaikan Pak Noval tadi saat mengajar. Katanya, jantung akan berhenti berdetak waktu bersin. Banyu ada di tim kontra, jelas. Sementara Chelsea mengaku percaya funfact dari Pak Noval segampang mengunyah permen kapas. "Lo percaya, San?"
Sandi yang sebenarnya ikut mendengarkan sejak awal, memilih berpura-pura nggak tahu apa yang mereka bahas. Apalagi, pertengkaran kecil itu dimulai dari celetukan papanya sendiri. Yang, sebenarnya juga biasa. Sandi sering dengar yang lebih random dan nggak masuk akal di rumah.
"Gue nggak ikutan." Oleh sebab itu, Sandi memilih cari aman.
"Buktinya aja, deh. Lo pernah ngerasain sendiri?" Banyu beralih pada Chelsea lagi.
"Kayaknya udah," balas Chelsea singkat.
"Kayaknya?" Banyu merasa aneh. "Itu namanya spekulasi. Irasional, nggak bisa dipercaya. Lo bahkan nggak yakin sama jawaban lo sendiri."
"'Kayaknya' bukan berarti enggak, Bay."
Banyu mengusap wajah, habis akal. "Dan apa yang bikin lo sepercaya ini padahal nggak ada bukti?" tekannya lagi.
Chelsea mengedikkan pundak. "Well, Bay. Lo terlalu serius. Nggak seru."
Suara pintu didorong menghentikan gerakan bibir Banyu yang hendak melayangkan protes. Kemunculan Yumna, disusul Yuda di belakangnya, memaksa ketiga sosok lain di ruang siaran menekuk kening.
Namun, semuanya terjawab ketika Yumna meletakkan plastik putih ke atas meja. Makan siang.
"Udah siap?"
"Belom." Sandi sengaja menambah kesan dengan menggeleng sebanyak dua kali. "Noh, malah berantem."
Auranya memang berbeda sejak mereka datang, Yumna sadar. Ada sesuatu yang menyebabkan Banyu lebih memilih sibuk membaca naskah siaran—yang mana jarang dia lakukan—dan Chelsea yang tampak kesal saat menggulir layar hape. Terdapat hening yang nggak normal di antara keduanya, menyekat semacam dinding nggak kasat mata.
"Kenapa?" bisik Yumna. Sandi mengangkat pundak.
"Biasalah, anak kecil."
"Siapa yang lo panggil anak kecil?" Sialnya, Chelsea dengar. Airpods di telinganya ternyata cuma pajangan.
"Enggak, Beb. Bercanda." Sandi meringis.
Yumna lalu mengambil tempat di kursi yang tersisa. Niat awalnya hanya untuk datang membawakan pengganjal lapar para penyiar siang ini. Namun rupanya, ada hal nggak terduga yang mengharuskannya tinggal agak lama. Mungkin, sampai siaran Jumat ini selesai. Siapapun nggak mau ambil risiko situasi tegang yang sempat terjadi terdengar lebih banyak orang.
Yuda juga berpikiran serupa, agaknya. Laki-laki itu memukul pelan punggung Banyu di sofa. "Mau gue gantiin apa gimana?" tanyanya.
"Jadwal lo kapan?"
"Senin," Yuda melirik permukaan lantai yang mulai kotor, "eh, Kamis. Gue udah gantian sama Haikal minggu kemarin."
"Sama ... siapa?" Suara Banyu memelan di akhir, mirip gumaman.
"Yumna."
Singkat, hampir nggak terlihat kalau bukan karena Yuda yang sangat teliti memperhatikan gerakan leher Banyu yang mengangguk. Banyu sepakat tanpa perlu waktu berpikir. Cowok itu menyerahkan kertas dialognya pada Yuda di detik berikutnya, lantas secara cepat bangkit, dan keluar dari ruang siaran. Menyisakan tanya nggak terbendung di wajah yang lain.
"Gue tukar jadwal sama Banyu."
Cuma itu penjelasan yang dipaparkan Yuda. Soal satu atau dua hal lain, itu rahasia.
...
...
first thing first, hai! sejujurnya, gue nggak yakin, tapi yaudah. niat gue buat "nyatuin" 00l woollim di satu project udah dari lama. jadi, ini dia. pokoknya kerjain sampai selesai, bagus nggak bagus.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lalu, Titik
Teen FictionThey are just teenagers who are seeking joy and happiness. Thinking everything is a piece of cake ... including the problems they might involve in. ©2021 [O2/O9 - O6/29] woollim OOz