27

24 4 1
                                    

Yoyo dan Jinan berjalan beriringan di koridor rumah sakit. Jinan benar-benar menekuk wajahnya, kali ini dia benar-benar marah merasa di hianati temannya sendiri. Setiap kali ia membayangkan Kakaknya dengan pemuda yang berjalan di sampingnya itu, ia menggeram dan mendelik pada Yoyo yang takut-takut melirik padanya berjalan agak melamban, jadi satu langkah di belakang Jinan.

"Kok bisa sih!" desis Jinan berhenti berjalan menoleh seketika membuat Yoyo tersentak ikut berhenti. Yoyo sadar temannya itu kini marah beneran bukan lagi kesal seperti tadi saat mereka di kamar inap. Mengenalnya lebih dari dua tahun cukup baginya untuk tahu seperti apa seramnya marah seorang Jinwhandi. Dia juga sadar kesalahannya yang tak pernah menceritakan apapun tentang siapa yang sedang ia sukai dan pacari.

"Lo bilang naksir kakak kelas. Kenapa bisa pac_" ucapannya terhenti jadi menggeram sebal, "Kenapa lo bisa sama Kakak gue?" lanjutnya mengubah kalimat masih enggan menyebut mereka pacaran. Gimana kalau orang tua Jinan tahu dan nentang. Yang galau tuh bakal bukan mereka berdua aja. Jinan juga bakal kena imbasnya.

"Ya kan dia alumni sekolah kita juga. Jadi dia juga kakak kelas." jawabnya.

"Ya tapi kenapa harus kakak gue?!" tanya Jinan gemas menggertakan giginya.

"Ya namanya juga suka. Emang lo bisa milih bisa suka sama siapa?" ucap Yoyo membela diri, Jinan semakin mendelik membuat Yoyo mengkerutkan wajahnya menatap Jinan memelas.

Jinan kembali menggeram menghela nafas kasar mengalihkan wajahnya.

"Hari ini hidup gue udah kaya roller coster. Lo jangan ngintilin gue. Gue pengen sendiri." ucap Jinan pelan. Ia beranjak lebih dulu melangkahkan kakinya lebar dan cepat meninggalkan Yoyo yang memandangi punggunya menghela nafas pasrah. Dia sudah membayangkan konsekuensi apa yang akan dia hadapi dan mengantisipasinya setenang mungkin. Tapi hatinya mulai tak tenang saat melihat raut Jinan yang begitu keruh dan marah.

***

Leoni diam sedari masuk mobil sampai mobil itu memasuki rumahnya hanya menatap jalanan lewat kaca di sampingnya. Leo tak menegur hanya melirik sesekali merasa heran karena adiknya diam seperti itu, tak seperti biasanya.

"Le?" panggil Leo menepuk lengan adiknya, Leoni menoleh malas. "Udah sampe lo mau tidur di mobil?" kata Leo membuka pintu mobil dan keluar di ikuti Leoni dengan lunglai. Leoni menutup pintunya kembali. Baru saja ia melangkah terdengar suara pintu mobil yang terbuka. Langkah Leoni terhenti, ia jadi mematung kaku membelalakan matanya ingin memanggil kakaknya yang telah memasuki rumah tapi tenggorokannya tercekat. Bulu kuduknya seketika berdiri, pikirannya sudah kemana-mana. Jantungnya menderu karena takut. Dengan tangan mengepal menggengam erat tali tasnya memberanikan diri untuk berbalik.

"HWA!"

"AAAAAAAA..." teriak Leoni nyaring refleks melayangkan tendangannya. Beruntung orang yang mengagetkannya gesit menghindar.

"DEKAAA IIH! GUE HAJAR YA LO!" teriak Leoni mengejar pemuda itu yang sudah lari menghindar dan tertawa gila.

Leoni terengah ambruk terduduk di atas rumput di bawah pohon ramputan yang rindang. Setelah lelah mengejar Deka yang tak bisa ia tangkap. Deka yang masih tertawa menghampiri Leoni saat melihat gadis itu menyerah memgejarnya. Pemuda itu ikut duduk terengah dengan senyum lebar masih terukir di wajahnya. Leoni mendelik langsung menyerang Deka, menghujani pemuda itu dengan pukulan.

"GUE KAGET DEKA!! GUE PIKIR LO HANTU KELUAR DARI MOBIL KAKAK GUA!"

"AMPUN LE Ampun..." rengek Deka minta ampun menghadang pukulan gadis itu sebisanya di selangi tawa geli. "Udah dong. Gue nyerah. Sori deh sori..."

Leoni yang awalnya berdiri dengan lututnya kembali terduduk terengah menatap Deka dengan delikan tajam dan nafas terengah. Deka merengek kecil meringkuk di depan Leoni mengusap-usap tubuhnya yang tadi kena pukul. Deka perlahan bangkit dan duduk di depan Leoni kembali dengan cengengesannya.

My EighteenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang