Di ponsel aku sih ngeklik emot ⭐ gratis. Di hapemu gitu juga nggak? Klik coba ☺️
__________________
“Dari siapa, Pak?”
“Tadi orangnya bilang, kalo Mbak Dena nanya, saya disuruh jawab dari Mas Ganteng, gitu Mbak.”
✂️✂️✂️✂️✂️✂️✂️
“Kamu masih pacaran sama Aldi?” selidik Mbak Salma dengan mata memicing menatapku.
“Udah putus dari lama kali, Mbak.” tegasku seraya menuang es degan ke dalam gelas bekas minumku.
“Terus siapa dong yang ngasih es ini? Mana cuma sebungkus lagi. Mencurigakan!” tak mau kalah, Mbak Mela ikut-ikutan kepo.
“Ya mana aku tahu Mbak. Kan tadi Pak Sarip nggak bilang namanya siapa.” balasku sedikit kesal.
“Aneh ....” gumam Mbak Salma.
“Udahlah Mbak, nggak usah dipikirin. Mending kita nikmatin sama-sama esnya. Rejeki ga boleh ditolak. Anggap aja rejeki anak sholihah.” ujarku membuat kedua orang di depanku menatapku jengkel, beberapa detik kemudian kami tertawa bersama.
✂️✂️✂️✂️✂️
“Gimana sample yang tadi kamu buat Den? Udah jadi belum?”
Pertanyaan Mbak Mela membuatku mengalihkan fokus padanya. Ternyata sebentar lagi jam pulang kerja.
“Tinggal masang kancing dan finishing aja Mbak.” Jawabku dan dibalas anggukan Mbak Mela dari meja kerjanya.
“Ya udah kalo gitu dilanjut besok aja. Sekarang beres-beres dulu.”
Ku lihat penjahit yang lain memang sudah bersiap-siap pulang. Sepertinya aku terlalu fokus menjahit sampai lupa waktu.
“Den, nanti malam mau ikut nonton nggak?”
Pertanyaan Mbak Salma membuat dahiku mengernyit, menimbang apakah sebaiknya aku ikut atau tidak.
“Sebenarnya aku pengen ikut Mbak, tapi aku udah ada janji sama tetanggaku. Kemarin dia minta tolong buat permak bajunya malam ini soalnya besok pagi mau dipakai.”
“Ya udah deh, aku berdua sama Mela aja.” ujarnya sedikit merengut.
“Mangkanya cari pacar Mbak, biar enak kalo kemana-mana ada yang nemenin. Syukur-syukur ada yang bayarin.” Godaku di iringi tawa yang membuat Mbak Salma memanyunkan bibirnya.
“Kayak kamu punya pacar aja. Kamu juga ‘kan sekarang jomblo, Den!” balasnya sewot.
“Hei, sesama jomblo dilarang mengejek!” seruan Mbak Mela makin membuatku tertawa.
“Udah-udah. Buruan beresin tuh meja!” lerai Mas Bimo, pegawai yang juga bertugas menjahit sepertiku. Hanya bedanya, Mas Bimo khusus menjahit pakaian pria.
Meskipun Mas Bimo baru berumur 29 tahun, tapi sosoknya yang hangat, tegas dan bijak membuat kami segan. Pembawaannya yang tenang selalu berhasil membuatku kagum. Sayang, dia udah taken.
Lantai dua ini selain menjadi ruang kerja kami berempat, ada lagi dua wanita kisaran umur 40an yang juga sebagai penjahit.
Karena aku yang paling muda diantara mereka semua, jadilah aku seperti anak bungsu dalam ‘keluarga’ ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Permak Hati
Non-FictionKisah perjuangan gadis yatim piatu dalam perantauan. Berikut lika-liku percintaannya. Cinta masa lalu yang kembali menyapa, membuatnya dilema. Akankah dia membuka hati untuk cinta yang baru ? Ataukah memaafkan dengan hati yang terluka ?