Tujuh

24 6 0
                                    

"Kebahagiaan yang sederhana, aku bisa melihat pancaran kebahagiaan dari matanya. Apakah selama ini dia tidak bahagia?
Kalo boleh beri aku kesempatan Tuhan, aku ingin melihat ia tertawa lepas denganku, esok atau nanti."

~Ⓓⓘⓝⓓⓐ~

Sesuai kesepakatan kemarin, hari ini Dinda pergi bersama Elang. Jika kalian bertanya apakah Nino memberi izin kepada Dinda jawabannya iya, karena Nino sudah mengenal siapa Erlang dan dari mana asal buluknya. Jadwal weekend yang seharusnya Dinda manfaatkan untuk belajar musnah hanya karena balas budi, sudah setengah jam Dinda menunggu Erlang di perempatan lampu merah tapi hingga kini batang hidungnya pun belum terlihat. Dinda merasa kesal sendiri seharusnya saat Erlang bilang otw Dinda bisa makan sampai kenyang, lanjut Scincerean, ngurus sumur sekalian.

Satu jam berlalu dan Erlang masih belum menampakkan diri. Dinda menghela nafas, kemudian berbalik arah untuk pulang.

"Kalo tau gini mending belajar tadi." Dinda terus mengoceh di sepanjang jalan.

"DIN," teriak Erlang nyaring.

Dinda menoleh kearah belakang, ia melihat Erlang menuju ke arahnya tak lupa dua plastik merah yang bertengger manis disisi kiri dan kanan motornya. Erlang menyugarkan rambutnya kearah belakang tak lupa kaca mata pantai yang menyilaukan seseorang yang melintas di depannya.

"Kamu tuh ya, janjian jam berapa datang jam berapa." Dinda terus mengomel tanpa memandang Erlang yang saat ini tengah menutup kedua telinganya akibat suara Dinda yang begitu nyaring.

"Udah woy, telinga gue pusing." Dinda melotot ke arah Erlang.

"Apa kamu bilang," ucap Dinda sambil mengeluarkan jurus andalannya.

"Aww, aww. Udah heh!" Erlang menangkap kedua tangan Dinda. "Jadi nggak?" tanyanya.

"Itu apa?" Dinda menunjuk dua kantong plastik yang ada di motor Erlang.

"Ohh buah, tadi di suruh nyokap ke pasar. Mangkannya gue telat njemput lo."

Dinda tidak merespon ucapan Erlang, ia menduduki jok belakang kemudian menepuk pundak Erlang. "Ayok cepat, nanti keburu panas!"

~Ⓓⓘⓝⓓⓐ~

Motor yang di kendarai Erlang masuk ke daerah persawahan. Hampir empat puluh lima menit mereka melakukan perjalanan, tetapi rasa lelah itu terbayar dengan keindahan sawah yang masih asri di tambah burung yang saling berkicau. Dinda melihat ada saluran sumber mata air, baru saja Dinda melangkah namun tertahan karena mendengar suara Erlang.

"Mau kemana, bantuin gue dulu." Mau tidak mau Dinda menghampiri Erlang yang saat ini bergelantungan di pohon mangga.

"Ehh, kamu mau ngapain?" Dinda reflek menggoyang pohon mangga itu.

"Jangan di goyang aduh," ucap Erlang saat buah mangga melayang mengenai wajah tampannya.

"Maap guys." Tanpa rasa dosanya Dinda meninggalkan Erlang seorang diri, kemudian ia naik ke rumah pohon yang bersebelahan dengan pohon mangga yang di naikin Erlang.

Erlang mendarat sempurna di rumah pohon itu, ia mengeluarkan cobek, ulek-ulek, dan buah buahan dari kantong plastik. Tak lupa baskom yang berisi air mineral karena mereka tak sempat mengambil air saat di bawah tadi. Erlang begitu telaten mengupas buah buahan itu, bukan Erlang namanya kalo belum merasakan satu persatu buah yang ia kupas.

"Jangan di makanin," peringat Dinda.

Tugas Dinda hanya satu membuat bumbu rujak, untung saja ia mahir dalam membuat bumbu bumbu. Dirinya jadi inget di kampung yang selalu menemani eyang nya berjualan rujak, rasanya Dinda ingin cepat cepat lulus dan berlibur di rumah eyangnya.

Pertama tama Dinda menghaluskan bawang merah, bawang putih, cabai rawit dan garam, setelah bumbu itu halus barulah Dinda memasukkan gula merah ke dalam cobeknya, Dinda mencicipi bumbu rujak nya. Meskipun tidak memakai kacang bumbu rujak ini tetaplah nikmat.

Dinda berdiri dan membawa bumbu rujak nya ke arah Erlang. Ia menyuruh Erlang untuk mencicipi bumbu rujak nya. "Huh huh huh, gila berapa cabai nih?"

"Lima belas." Jawab dinda enteng.

"Astaghfirullah, lo mau buat gue mencret." Erlang mengelus dadanya sabar.

"Mana ada pedes, ini tuh pas tau," belanya.

Erlang mengajak Dinda turun ke bawah. Dinda turun dengan hati hati karena ia membawa cobek yang bisa di bilang berat, sampai tangga kedua ia bertukar dengan Erlang. Dinda yang membawa buah buahan dan Erlang yang membawa cobek.

Sungai dengan mata air yang jernih membuat mata dan mulut tak berhenti takjub. Dinda menyapu air sumber itu dengan tangannya tak lupa mulutnya yang tidak berhenti menguyah rujak buatannya, Dinda berfikir tak siap sia pengorbanan nya menunggu Erlang sejam di tambah perjalanan yang menguras waktu dan tenaga.

"Kamu tau tempat ini dari siapa lang," tanya Dinda.

"Dulu waktu SMP sering di ajak papah mancing karena gue orangnya lupa waktu, jadi gue berinisiatif buat rumah pohon. Kalau capek tinggal neduh," jelasnya.

Baru saja Dinda mengambil buah yang ternyata tinggal separuh. "Jangan makan buah doang Elang, bumbunya juga."

"Bumbu buatan lo emang enak, tapi sayang.." jeda Erlang.

"Sayang kenapa." tanya Erlang.

"PEDES BEGO." Baru saja memakan beberapa buah yang ia olesi dengan bumbu kini air mineral yang berukuran besar habis di teguk oleh Erlang.

"Ihh, kok di habisin sih," sebal Dinda.

"Ya maap, nanti gue beliin lagi." Erlang mencuci mukanya menggunakan air sumber untuk mengurangi rasa pedasnya.

"Asri banget yah, belum banyak diketahui orang orang. Mangkanya lingkungannya masih terjaga." Apa yang Dinda ucapkan sangatlah benar.

"Lo mau nggak ngerawat ini sama sama." Erlang menatap Dinda dalam.

"Beneran," ucap Dinda antusias.

"Kapan gue boong anjer." Reflek Dinda menampol mulut Erlang.

"Elang mulutnya."

~Ⓓⓘⓝⓓⓐ~

Hallo gaess?

Kalian tim siapa nih?

Dinda/Erlang

Dinda/Nino

Jangan lupa emot cintah💛💛

9 Maret 2021
Petty Ana.

D I N D ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang