Part 48

273 26 0
                                    

"Rasep. Itu hanya usus busuk. Yang kemungkinan usus dari rusa yang mati disini. Aku sering melihat hal itu." Ujar Rumangsih mencoba untuk tidak menakuti Rasepna.

Rasepna hanya duduk beralas tanah  memandang api disisi Rokhaya. Sekitar 4 menit yang lalu ia telah membasuh sebelah tangannya di air yang dibawa oleh Rokhaya dari sungai menggunakan ember.

Dan kini mereka semua duduk mengelilingi api yang masih membakar kayu ditengahnya, kecuali Tuta dan Adipani.

Malam itu benar-benar dingin dan agak menyeramkan.

"Wardana bilang, penunggu disini menunjukkan rasa sukanya dengan cara membuatmu terkejut. Aku juga pernah mengalaminya, bahkan hingga sekarang." Ujarnya kembali.

Rasepna masih terdiam. Rokhaya hanya memandang penjelasan Rumangsih.

Sementara Daryan dan Wardana nampak serius melihat Rasepna yang kini nampak murung, karena mereka tahu jika Rasepna itu merupakan sosok seorang penakut.

"Sudahlah Sep. Tidak usah kau pendam dalam hati. Abaikan saja hal yang tadi. Aku juga sudah mulai melupakannya." Ikut Daryan menimbrung pembicaraan.

Setelah itu mereka semua terkejut seketika, dikarenakan Sugeng tertawa geli.
Kemudian mengatakan sesuatu, "Pengecut."

Membuat Rasepna menatapnya kesal.

"Sugeng. Jaga mulutmu." Ucap Rokhaya membela.

"Kau juga pengecut." Ujarnya kembali mengutuk.
Setelah itu Sugeng beranjak dari duduknya, dan ia menjauhi lingkaran tersebut. Lalu bersandar pada pohon berjarak 4 meter dari mereka, duduk dan memejamkan mata untuk beristirahat, serta melipatkan kedua tangannya di perut.

"Kenapa sih dia?" Tanya Daryan yang kini juga nampak heran.

Sedangkan Wardana hanya memperhatikan.

"Jangan kau anggap pembicaraan Sugeng tadi. Anak itu kekurangan nutrisi." Ujar Daryan.

"Ya, jangan didengarkan." Ikut Rokhaya.



Beberapa jam berikutnya.
Mereka semua telah terlelap merebahkan tubuh mereka di dekat api unggun dengan jarak 2 meter dari sana.

Tuta dan Adipani masih terlelap di dalam hunian milik Wardana.

Sedangkan Sugeng masih bersandar di pohon yang sama.

Beruntung sekali malam kemarin dan malam itu tidak turun hujan, entah apa yang akan mereka lakukan jika hujan mengguyur. Hunian Wardana tidak banyak menampung orang.

Dan juga setelah hujan reda pun tidak ada tikar untuk digelar sebagai alas tidur di luar hunian.

Seketika Wardana membuka kedua matanya yang masih belum berwarna merah. Ia masih terjaga dan berpura-pura untuk memejamkan matanya.

Ia bangun dan duduk di tempat, memandang kesekeliling yang lain. Mereka semua tertidur masing-masing dengan dengkurannya. Nampak Daryan mendengkur dengan amat besar.

Sedangkan ia melihat Sugeng yang tidur bersandar di pohon. Tidak ada dengkuran. Dan posisi tubuhnya belum berpindah posisi. Masih di titik awal.

Sesaat suara burung hantu berbunyi didekatnya. Wardana hanya mendengarkan. Ia tahu disekelilingnya banyak makhluk halus yang sedang memperhatikan mereka semua. Namun hal yang dilihat Wardana sudah sering terjadi, sampai-sampai ia merasa bosan harus melihat atau berhadapan dengan roh halus disekitar hutan di area tersebut.



Keesokan harinya, sekitar pukul 08.
Tuta terbangun dari tidur peristirahatannya.

Didalam hunian itu ia tidak menemukan keberadaan Adipani yang terbaring. Hanya melihat gulungan tikar berada disisinya, bersandar di dinding hunian.

Itu berarti Adipani telah keluar rumah, dan kemungkinan tubuhnya telah sembuh.

Tuta pun perlahan untuk bangkit dari rebahnya, lalu ia beranjak menuju pintu luar hunian.

Diluar hunian, ia hanya melihat Adipani sedang duduk di luar memandangi api unggun yang telah padam dan menyisakan asap kecil berterbangan.

"Adi." Sapanya.

Adipani menoleh ke arah Tuta. Dengan senyumannya menyapa Tuta kemudian.

"Tuta. Kau sudah pulih?"

Tuta ikut duduk disisi Adipani kemudian. Hingga mereka berdua saja disana tanpa seorangpun.

"Kemana yang lainnya?" Tanya Tuta terhadap Adipani.

"Mereka mencari kayu bakar dan umbi-umbian, disisi hutan." Ujar Adipani kembali dengan senyuman.

"Itu ide bagus yang dicetuskan oleh Rokhaya dan Rasepna. Mereka selalu giat."

"Ya. Semoga saja mereka tidak diserang lugut (bulu halus pada bambu hijau yang menimbulkan rasa gatal apabila terkena)."

Tuta tersenyum.
"Mereka punya obatnya, tenang saja."

Beberapa detik setelahnya mereka berdua saling terdiam satu sama lain.

"Aku merindukanmu Tuta."

Ucapan yang dilontarkan dari bibir Adipani itu membuat Tuta berhenti bernafas seketika. Memperhatikan kembali ingatan dari ucapan yang barusan diucapkan oleh Adipani.

Dia tidak mampu mengatakan sesuatu, terasa bagai semua kosa kata telah habis terucap.

"Aku tahu, ada seseorang yang lebih merindukanmu. Tentunya kamu pun merindukannya."

Lagi-lagi kata berikutnya terucap kembali dari bibir Adipani.

Entah apa maksudnya, tapi itu membuat Tuta merasa senang sekali. Karena Adipani ternyata merindukannya.

"Entahlah. Aku rasa tak ada yang merindukanku lebih dari Ibu dan Kakakku juga sahabatku." Ungkapnya. Membuat Adipani merasa yakin jika ternyata Tuta tidak mengerti apa maksudnya.

"Ya, mereka sangat merindukanmu... Aku pun, sebagai sahabatmu. Merindukanmu, Tuta."

Sebagai sahabat, kata itu akhirnya terlepas dari bibir Adipani.
Ekspresi wajah Tuta seakan turun puluhan derajat.

Pikirnya, Adipani hanya menganggapnya seorang sahabat bukan? Jadi jangan terlalu berharap untuk lebih.

Seketika kedua kelopak matanya sedikit berkaca-kaca. Seraya mengatakan, "Terimakasih, telah merindukanku. Aku pun turut merindukanmu juga, sahabatku."

Adipani terdiam, mencoba tersenyum lebar. Padahal perasaannya kini sedang sedih.

"Aku mau membersihkan badan dahulu. Rumangsih bilang ada sungai di depan sana." Ujar Adipani menatap arah depan tanpa putus sebelum ia beranjak, dan sebelum Tuta mengucapkan sesuatu.

"Baiklah. Aku akan tunggu kamu tiba disini." Ucap Tuta sambil tersenyum memandang sisi wajah Adipani yang masih menatap arah depan.

Dan saat itu pula Adipani beranjak dari duduknya ditanah, meninggalkan Tuta yang menatap langkahnya menjauh dari pandangannya.

Dan beberapa detik setelahnya Rumangsih, Rokhaya, dan yang lainnya kembali dari mencari kayu bakar dan umbi-umbian.

Rumangsih memandang Tuta yang kini tengah duduk. Nampaknya tubuh Tuta telah pulih dari sakitnya.

"Tuta."

"Rum."

"Adipani, kemana?" Tanya Rumangsih.

"Dia baru saja pergi menuju sungai untuk membersihkan badan katanya."

Rumangsih memahaminya.

Sedangkan yang lain sibuk menaruh kayu bakar dan umbi-umbian di bakul yang tadi mereka semua cari.

Rumangsih yang masih merangkul bakul berisi Umbi-umbian itu mendekati Tuta. Kemudian menemaninya dari kesunyian.

"Kau sudah lebih baik sekarang, bukan?" Tanyanya terhadap Tuta.

"Ya. Aku sudah lebih baik sekarang. Ini semua berkat bantuanmu dan sahabat yang lain."

Rumangsih tersenyum bahagia.

"Setelah ini kita makan umbi." Ujarnya tersenyum.

Dan Tuta membalas senyumannya. Namun disisi lain ia murung, tentang Adipani.

Kelimut (Revisi) END ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang