"Lo mau mundur bukan karena gue kan?" kalimat Aksen tersebut terus terngiang di kepalaku dan membuat tersenyum kecut berkali-kali. Bisa-bisanya dia dengan pedenya mengeluarkan kalimat itu, di depan Iko pula!
Siapa dia sampai membuatku memutuskan keluar dari kompetisi? Sekalipun aku keluar dari kompetisi karena dia, itu juga bukan urusannya. Ini murni urusanku dengan diriku sendiri. Aku menggigit bibirku menahan kesal dan aku tertawa saat itu juga. Iko yang sedang nyetir langsung menoleh ke arahku.
"Mbak Rindu nggak apa-apa?" tanyanya.
"Ko, lo pilih gue atau Aksen?" aku balik bertanya dan langsung membuat Iko bingung.
"Kok tiba-tiba suruh milih gini," sahut Iko bingung.
"Ya pilih aja, Ko!" ucapku. "Lo denger kan tadi dia bilang apa, gue mundur kompetisi karena dia, hah," tambahku yang membuat Iko semakin bingung. Aku bisa melihat jelas dari wajah Iko.
"Ya kalo emang nggak bener ya santai aja, Mbak," kata Iko yang membuatku langsung terdiam selama beberapa detik.
"Oke, berarti lo emang lebih milih Aksen. Gue terima, Ko," sahutku yang langsung membuat Iko jadi salah tingkah.
"Nggak gitu juga, Mbak..."
"Lo kan ngefans banget sama Aksen, wajarlah kalo lo lebih bela dia."
"Mbak, bukan gitu maksudku..."
Kami sampai di Coffee Break satu jam kemudian. Macet di Jakarta emang sudah gila. Aku langsung naik ke lantai dua dan duduk di sofa sembari memandang ke luar jendela. Iko yang sudah paham dengan kelakuanku saat emosi, langsung meminta Reza membuatkan jus jeruk dan mengantarkannya ke lantai dua.
Aku memandang jalanan di depan kafe dari sofa tempatku duduk. Lantai dua ini memang ruangan paling sempurna untukku. Aku bisa menyendiri dan berpikir secara jernih. Tentu saja saat ini yang sedang kupikirkan adalah keputusanku untuk keluar dari kompetisi dan juga Aksen.
Memang benar jika laki-laki itu jadi salah satu alasan aku keluar dari kompetisi, tapi dia bukan alasan utama. Alasan utamaku adalah kehamilanku. Janin yang ada di dalam kandunganku. Aku nggak mau terjadi apa-apa dengan dia jika aku memaksakan diri mengikuti kompetisi ini.
Aku ingin menjaga dia dengan baik.
Aku menyentuh perutku sembari mendesah panjang.
"Ndu, gue boleh masuk?" ucap seseorang yang dari suaranya aku tahu itu Hesti.
"Masuk aja, Hes," sahutku dan tak lama kemudian Hesti muncul.
"Sama siapa ke sini?" tanyaku.
"Yuki. Tuh sekarang lagi jadi rebutan Iko sama Reza," jawab Hesti. "Iko bilang lo mau mundur dari kompetisi," kata Hesti sembari duduk di sampingku.
Aku memandang Hesti dan kembali mendesah. "Gue takut," ucapku.
"Kalau emang menurut lo itu akan membahayakan lo dan bayi lo, nggak apa lo keluar dari kompetisi," kata Hesti. "Tapi kalau lo masih sanggup, ya lanjut. Yang penting jangan kelelahan. Kamu bilang ke Iko, dia pasti bantu," tambahnya lagi.
"Bilang kalo gue hamil?" tanyaku. "Gue belum siap," lanjutku.
"Daripada terjadi apa-apa sama lo dan bayi lo," jawab Hesti.
Aku menangkupkan kedua tanganku ke wajah. Hamil di luar nikah itu bukan sesuatu yang mudah untuk dibicarakan. Bukan hanya sama orang tua tapi juga sama siapapun. Bahkan pada Hesti yang sudah seperti saudaraku, rasanya sangat berat.
"Makanya cepatan bilang ke Biyan," kata Hesti. "Dia semalam chat gue," lanjut Hesti yang membuatku kembali memandangnya.
"Chat apa?"
"Nanyain kabar lo," jawab Hesti dengan suara agak ngegas. "Gue yang ngenalin kalian berdua dan kalau terjadi apa-apa di antara kalian berdua gue merasa bertanggung jawab," tambah Hesti yang membuat beban di kepalaku semakin bertambah.
Aku membayangkan wajah Biyan saat terakhir kami bertemu. Saat aku mengatakan mau putus darinya. Saking kagetnya laki-laki itu tidak bisa berkata-kata. Sejak saat itu aku menjauh darinya. Tak kuizinkan dia menghubungiku meski hanya sekali. Biyan terlalu baik buatku.
"Ndu, sekuat apapun lo, hamil itu bukan pekerjaan yang bisa dijalani sendirian. Bahkan dokter selalu mengatakan hamil itu berdua dengan pasangan. Lo butuh Biyan," kata Hesti.
Aku menempelkan kepalaku di atas meja sembari mendesah panjang.
"Gue satu kelompok sama Aksen," ucapku dengan berat.
"Di kompetisi?" tanya Hesti.
"Iya," jawabku dengan frustasi.
Di sampingku Hesti tampak bingung. "Gue dukung lo keluar dari kompetisi," ucapnya yang membuatku tambah frustasi.
***
Aku memandang Iko yang masih berada di depan Ruang Bicara dan sedang bercakap-cakap dengan pasangan yang baru keluar dari ruangan tersebut. Iko tersenyum dengan sangat ramah dan mendapatkan salaman hangat dari pasangan tersebut. Setelah selesai dengan pasangan yang sepertinya berhasil berbicara di Ruang Bicara, Iko melambaikan tangan ke arahku.
Aku bangkit dari kursi dan melangkah mendekati Iko. Iko memandangku dengan heran. Saat ini sudah pukul 20.00 dan di kafe tidak terlalu ramai. Reza juga izin pulang lebih awal karena harus menemani ibunya check-up ke rumah sakit, jadi saat ini hanya ada aku, Iko, dan Malik. Karyawan shift pagi juga sudah pulang.
"Ada yang mau gue omongin sama lo, Ko," ucapku ke laki-laki yang tiga tahun lebih muda dariku itu.
"Mbak Rindu mau pecat aku ya?" tebak Iko yang membuatku membulatkan mata.
"Nggaklah!"
"Kita beneran mau mundur dari kompetisi?" tanyanya lagi.
Aku melangkahkan kaki ke bagian utama kafe dan meminta Iko mengikutiku. Tidak ada siapapun di sana. Hanya ada perkakas kafe yang tersimpan rapi dan bersih. Aku menarik sebuah kursi dan meminta Iko duduk di depanku.
"Gue hamil, Ko," ucapku pelan. Meski aku sudah merencanakannya, namun mengatakan aku hamil – di luar nikah – bukan sesuatu yang mudah. Hamil di luar nikah adalah aib. Meski aku mengatakan ini bukan di depan orang tua atau laki-laki yang menghamiliku, tapi tetap saja ini tidak mudah.
Dan di depanku muka Iko benar-benar terlihat kaget. Cowok itu bahkan tidak berkedip sampai satu menit.
"Gue nggak akan nikah," ucapku. "Dengan keadaan gue saat ini, gue menyerahkan kelanjutan kompetisi ini di tangan lo, Ko," tambahku.
Iko menarik napas panjang dan memandangku tidak percaya.
"Mbak Rindu baik-baik aja?" tanyanya.
Aku menganggukan kepala dan tersenyum tipis. "Gue tahu kompetisi ini impian lo dari lama. Bisa satu kelompok dengan Aksen juga impian lo. Jadi, gue serahkan keputusan ke elo."
Iko menundukan kepala. Pasti tidak mudah bagi Iko untuk mengambil keputusan seberat ini. Ia diam cukup lama memikirkan apa yang akan ia lakukan.
"Ko, ini bukan anak lo dan gue nggak minta lo tanggung jawab, nggak usah sebingung itu," kataku.
Iko menaikan wajah dan memandangku dengan wajah berbinar. "Kita bilang ke Mas Aksen dulu ya, Mbak," ucapnya.
Aku mengerutkan kening. "Bilang kalo Mbak Rindu hamil," jelas Iko.
Seketika itu juga mataku terbelalak dengan mulut terbuka. "Gue bunuh lo kalo sampe bilang ke Aksen!"
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Coffee Break
RomanceRindu, pemilik kafe yang menyediakan layanan 'Ngobrol dan Ngopi' dimana pengunjung akan mendapatkan ruangan privat untuk menyelesaikan masalah nyatanya tidak pernah melakukan hal tersebut di hidupnya. Ia selalu memilih kabur dibandingkan menyelesa...