Bab 8

19 2 3
                                    

Written by: MitzyLavenntia (wattpad)


Langkah juan semakin lama menjadi semakin cepat. Bahunya sampai menabrak beberapa kakak kelas yang tengah berjalan menyusuri lorong lantai tiga. Sudah berapa kali Juan meminta maaf? Namun ia tidak punya waktu untuk melepaskan pandangan dari layar ponselnya. Delapan kali Juan mencoba menghubungi nomor Fano, dan selalu tidak diangkat. Padahal Fano tidak pernah sesulit ini untuk dihubungi. 

Napas Juan mulai memberat kala ia menapaki tangga menuju lantai empat. Sepi langsung menyelubungi seluruh indranya ketika ia sampai di tangga terakhir. 

Lantai empat jarang dikunjungi siswa. Selain laboratorium, di sana hanya ada sebuah kamar mandi besar yang dulu dipakai untuk para murid yang menggunakan lapangan basket indoor di sebelahnya. Fasilitasnya lengkap, dari shower, toilet, hingga ruang ganti baju serta loker-loker yang bisa dikunci. Namun semenjak lapangan olahraga indoor dipindahkan ke lantai satu karena protes dari anak-anak ekstrakulikuler olahraga lain seperti badminton dan voli yang juga ingin punya lapangan indoor,  lapangan basket lantai empat menjadi ruang penyimpanan meja dan kursi yang sudah rusak. 

Selain itu ada apa, ya? Juan tidak begitu tahu. 

Kalau tidak salah ada ruang penyimpanan alat musik, dekorasi untuk acara sekolah yang bisa dipakai ulang agar mengirit pengeluaran, dan sekretariat ekstrakulikuler lain yang punya banyak barang inventori. Selain ruangan-ruangan penting seperti laboratorium, lantai empat tepatnya hanya berisi gudang. 

Juan memasukkan ponselnya ke saku, takut ada seseorang yang tidak seharusnya ia temui, tiba-tiba saja muncul di depannya. 

Harus ke mana? Petunjuknya hanya ruang 9-L12. 

Bermodalkan petunjuk minim itu, akhirnya Juan memutuskan untuk memastikan nomor ruangan-ruangan yang ada di lantai empat. Nomor satu sampai empat, adalah laboratorium-laboratorium beserta satu ruangan penyimpanan hasil eksperimen. Empat sisanya, adalah gudang penyimpanan. Hanya tersisa satu ruangan yang tidak bernomor:

Kamar mandi yang sudah tidak dipakai itu. 

Akhirnya Juan membuka pintu terakhir. Begitu masuk, sinar matahari sore yang menerobos dari ventilasi-ventilasi kecil di atas dinding shower, langsung memperlihatkan partikel-partikel debu yang beterbangan di dalam ruangan itu. Bentuknya persis seperti kamar mandi kolam renang, dengan kepala shower tertempel di sisi ruang terbuka, lalu di sebelahnya merupakan bilik-bilik toilet dan ruang ganti. 

"Ah ... kalau harus membuka pintu toiletnya satu-satu ...." aku tidak mau, lanjut Juan dalam hati. Andai ada Fano di sini, mungkin cowok itu sudah jadi korban suruhan Juan untuk membuka bilik-bilik kamar mandi yang sudah terbengkalai bertahun-tahun itu.

Mata Juan menangkap satu lagi tempat yang bisa ia telusuri. Sebuah pintu kayu di sisi kanannya. Sambil menghindari lumut-lumut yang mengotori lantai, Juan meraih knop pintu itu, lalu membukanya perlahan. 

Hanya ada satu jendela di sana, hal itu membuat cahaya tidak bisa masuk terlalu banyak ke dalam ruangan. Namun Juan masih bisa melihat barisan rak-rak loker yang berjajar. Ia langsung merogoh saku, menarik keluar ponselnya agar bisa menyalakan flashlight demi mengusir rasa cemasnya yang perlu meneliti satu per satu dari loker itu. 

Pintu ia biarkan terbuka lebar, kalau-kalau ia perlu kabur dari tempat itu, pintu kayu tersebut akan menjadi satu-satunya akses bagi Juan menyelamatkan diri. 

Begitu cahaya dari ponsel Juan menyorot ke sisi rak, Juan langsung menemukan sebuah angka di sana yang tercetak besar-besar berwarna putih. 

Angka 3. Lalu rak di sebelahnya angka 4. 

BK3 - GlamouriansTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang