Suara dua puluh lima; Sekepul Oase

3 3 0
                                    

Lihat penghuni bumi itu,
Ia menangis karena kepergianmu

Tuhan telah merengut sekepul oase
yang kau miliki
Bahwa, tetesan air mata tak hanya sekadar kamuflase
Tatapan yang kian tertutup
Kemudian kau ditumpuk tanah merah yang menyerangkap.

***

"Khal, ngapain nangis? Lebay amat si, nggak keren seorang penyiar nangis bombay."

Kiran terusik oleh suara itu, maka ia mendonggak meneliti Akhal dengan mata setengah terbuka, ini pasti mimpi, tapi di sudut pintu itu Dokter Reyhan tersenyum lantas pergi dan tidak mengatakan apa-apa.

"Khal beneran udah sadar, sejak kapan?"

Menerawang sejenak langit-langit ruangan, Akhal melepas oksigennya sempat Kiran melarangnya namun Akhal tetap berisi keras menolaknya, udara alami lebih menyejukkan katanya.

"Nggak perlu tahu," jawabnya setengah menahan sakit di bagian kepala, diliriknya jaket levis miliknya yang tidak jauh dari sebelah kanan kepalanya, ia berikan jaket itu kepada Kiran sebelum akhirnya ia mencium, menghirupnya lebih lama. "Ran tolong ya cuci jaket ini, besok mau sekolah. Yang wangi ya. Satu lagi jangan rusak, nggak mau tahu harus wangi soalnya, mau dibawa pergi jauh."

"Mau sekolah, Khal? Tapi 'kan masih sakit? Lagian mau pergi jauh kemana?" tanya Kiran penasaran.

Rasa penasaran yang Kiran miliki kian mengguar, melumpuhkan ego yang sempat ia miliki. Untuk saat ini seutuhnya ia tersesat dengan ucapan Akhal, sebenarnya apa yang Akhal pikirkan? Selama berbicara ... ia seperti ingin mengatakan banyak hal tapi seolah waktunya menipis. Ini menyakitkan. Kepada Akhal, Kiran telah menjadi orang yang paling jahat dengan ego mengungkungnya. Kemarin yang berlalu terlalu mustahil untuk dimaknai dan mengulangnya. Mungkin jutaan tahun ke depan, semua itu sudah terlambat untuk menebus semua sesal dan salahnya.

"Luka kecil ini sekarang juga sembuh kok. Ya, mau pergi aja, mau istirahat udah capek banget."

"Lukamu belum sembuh, Khal. Jangan ngomong aneh-aneh deh."

"Ran ... selama ini aku minta maaf sama kamu. Banyak salah, terlalu menekan kamu yang seharusnya kita tidak pernah bertengkar atau kita yang sering mempersalahkan Mama. Kamu juga pasti punya alasan untuk tidak mempertemukan Mama denganku, kamu takut Mama kenapa-napa. Tapi tenang aja, debct collector itu tidak akan ganggu lagi. Aku mau pergi dan sekarang mau tidur dulu ... capek. Sampaikan maaf kepada Papa, Mama, Binar dan semua teman-teman kita."

"Khal ngomong apa sih? Ini nih yang bikin Papa pusing ngurus kamu, omonganmu ngelantur terus. Udahlah, lebih baik istirahat aja baru juga pulih." Kiran mengacak rambutnya pusing, ia memalingkan wajah cekikik tawa Akhal mencuat sesaat karena melihat tingkah Kiran.

"Soal Binar, dia pasti udah bahagia karena sebentar lagi akan bertemu dengan bundanya. Jangan sakiti dia, ya. Aku nitip Binar sama kamu."

Kiran merapatkan kedua tangannya, ia benci keadaan hening seperti ini. Dua belas hingga dua puluh empat jam, ia tidak ingin mendengar hal menyakitkan di balik kesadarannya yang kosong. Perpisahan dan kepergian, tolong ia belum siap untuk itu. Cowok itu terhenyak seketika karena suara dari monitor sontak membuatnya menegang, garis-garis hijau layaknya sandi rumput itu menaik dan menurun tapi sekarang garisnya sangat lamban ... berisik lalu datar.

"Khal kamu kenapa? DOKTER ... TOLONG!" Kiran segera bangkit berharap ada seseorang yang mau mendengarnya, ia berlarian dari lorong ke lorong, ruang ke ruangan namun nihil, tidak ada orang-orang di sana. Kiran meninju tembok sementara jantungnya kian berpacu cepat.

Kamu akan menyukai ini

          

"Khal kamu nggak mungkin pergi secepat ini, Khal aku minta maaf," teriak Kiran lantang tapi tidak lama tubuhnya terhuyung saat orang-orang berjas putih menariknya paksa keluar.

"Jangan pergi!" teriaknya lantang yang membuat seseorang di sebelah Kiran menepuk-nepuk pipinya pelan.

"Kiran, sadar!" Binar mengguncang tubuh cowok itu yang sepenuhnya keringat bercucuran di keningnya.

"Maaf, ..." ucap Dokter Reyhan keluar dari ruangan. Menatap lekat satu persatu orang-orang di sana, pria itu sedikit berdeham upaya mengatur nada bicara karena Kiran yang menginterupsi.

"Akhal, sudah sadarkan diri, Dok?"

Dengan susah payah, Dokter Reyhan mengeluarkan kalimatnya meski itu akan menyakitkan ia harus tetap manyampaikannya. "Kami sudah berusaha untuk menangani pasien. Namun, karena keadaan pasien sangat fatal kami tidak bisa berusaha lagi. Pasien atas nama Akhal Kieran Kharisma, sudah meninggal. Ternyata Tuhan berkehendak lain, semoga anak Bapak dan Ibu diterima di sisi Allah Subhanahu Wa Ta'ala."

"Akhal ... meninggal, Dok?"

"Iya, pasien tidak dapat kami tolong lagi." Serentetan kalimat yang menghancurkan semua harapan mereka, Dokter Reyhan menyeka air mata, lalu bergegas menemui bagian petugas lain.

Perlahan-lahan masuk, kaki Kiran terasa berat, seluruh tenaganya lemah yang membuat napasnya tersengal saat hatinya dirobek oleh kenyataan. Mengapa sesingkat ini? Kiran memegang tangan Akhal yang dingin, digenggamnya erat tanpa peduli luka di tangan kirinya akan terbuka kembali. Ia tak kuasa menahan tubuhnya lalu ambruk di sisi Mama yang sedang memeluk Akhal, Papa yang mencium kening Akhal dan Binar yang menunduk lesu.

"Akhal ... kamu masih bisa dengar Mama, kan?" gumam Mama meracau, tangisan yang teramat pilu bersatu di ruangan itu. Redup ruangan mendominasi kesedihan mereka. Tangis membumi dan doa melangit.

"Khal, buka mata sejenak, sampaikan sesuatu kamu nggak bisa pergi begitu saja ..." teriak Kiran tak sadar suaranya semakin meninggi. Papa menjauhkan Kiran dari sosok itu, ia menggeleng pelan saat Kiran menahan tangannya.

"Khal, maafin Papa."

Pelan, Papa menaik kain putih yang menutupi setengah dada Akhal, lama-lama tangan bergetar itu bergerak hingga mata mereka terpisahkan dengan wajah pucat Akhal.

Yang lebih menyiksa setelah kecelakaan, Akhal tidak sempat melihat mata terbuka Akhal, bahkan untuk sekadar meminta maaf Kiran tidak bisa menyampaikannya. Hanya sesal dan maaf terpendam saat ini, Kiran begitu terpuruk.

***

Kabar kepergian Akhal sudah tersebar, sebagian murid-murid yang masih di sekolah langsung berhamburan ke rumah duka. Berbagai karangan bunga dan ucapan bela sungkawa berjajar dari gerbang hingga sudut rumah.

Binar segera menghubungi Ayah, kakaknya yang kemudian teman-temannya. Binar pulang lebih cepat karena ikut dengan Pak Zaki, adiknya Pak Nova. Melaju lamban, mobil meninggalkan rumah sakit setelah menyelesaikan semua administrasi. Di mobil itu, Tante Winda tidak sadarkan diri sementara Kiran dan Pak Nova berada di mobil ambulance.

"Hallo, Bu sebentar lagi kita sampai di rumah Kang Nova." Sepertinya beliau sedang menelpon isterinya. Beliau berbalik ke belakang memberikan sebuah botol lecil. "Coba hirupkan kayu putih ini, agar napasnya bisa berjalan dengan lancar."

"Baik, Pak." Binar membuka tutup kayu putih yang kemudian didekatkan ke arah hidung beliau.

"Pak, Akhal mau langsung dimakamkan?"

"Iya karena tidak ada lagi keluarga yang harus ditunggu. Kamu temannya Akhal?"

"Iya, temannya juga Kiran."

"Nggak pernah ada teman yang sedekat ini dengan keluarganya Kang Nova, hanya kamu yang pertama kenal dengan mereka."

"Apa yang saya lakukan lebih jauh dari apa yang keluarga Pak Nova lakukan kepada saya."

"Tidak apa-apa, sesama manusia kita harus saling membantu."

"Tante di mana?" tanya Tante Winda tiba-tiba yang bersandar di bahu Binar.

"Teh, sekarang kita di jalan mau ke rumah Kang Nova."

"Akhal ... di mana?"

"Akhal di depan sana," ucap beliau menunjuk mobil yang melaju tergesa di depannya. "Ditemani Kang Nova dan Kiran."

Bebarapa saat mobil jenazah melambat, seperti terhalang orang-orang dan beberapa kendaraan yang menghadang. Binar langsung melenyap, air mata kian meluruh saat sebuah karangan bunga berjajar di kanan-kiri jalan. Akhal yang telah berjasa di hidupnya. Keasadaran Binar buyar saat mobil berhenti, nyaring sirine ambulans belum sepenuhnya berhenti bergerak. Pak Zaki menuntun Tante Winda yang sudah tak berdaya. Riuh orang-orang mengerubungi, pandangan Binar semakin kabur namun untung saja, Bintang dan Nessa langsung menahan tubuhnya.

"Binar ..." panggil Bintang sembari memeluknya erat. Tak bisa menjawab apa-apa mereka langsung membawa Binar masuk.

"Khal ... bangun! Masih ada mimpi-mimpi kita yang harus kita gapai." Di sana, di sudut ruangan Kiran terus memanggil kakaknya. Butuh waktu untuk mempercayai semua kenyataan ini dan ia sangat terpukul.

"Mama belum bisa bahagiain Akhal, maafin kami semua Khal." Semua orang berduka tangis terus mengalir dan doa-doa terus menggema di ruangan. Ayat-ayat suci Al-Qur'an dibacakan setelah Ustadz datang dan memimpin doa.

Sang senja menyemburat di halaman pekarangan rumah, pancarannya seolah memenuhi titik itu. Semua orang bangkit, karena sudah saatnya Akhal harus dikebumikan. Iringan panjang itu berderet rapih di sepanjang jalan hingga ujung pemakaman yang tidak jauh dari rumah Pak Nova. Nyanyian alam, burung-burung, angin, seluruh hewan-hewan mendadak sunyi, bahkan serangga kecil pun hanya mampu menggoyangkan ilalang.

"Allahu Akbar ... Allahu Akbar ..."

Lantunan adzan terdengar syahdu, tak terasa air mata mereka menetes menghayati suara Pak Nova yang mampu menggetarkan hati semua orang di sana. Lantunan semakin meninggi lalu melambat nan lirih.

Semua berjalan lancar sampai setumpukan tanah merah itu menutupi seluruh tubuh Akhal. Raga Akhal memang membumi, namun untuk jiwanya masih mengendap dan akan selalu tertanam di hati.

"Khal, aku minta maaf ... aku rasa ini mimpi kamu akan pergi secepatnya. Beri aku kesempatan untuk menebus semua kebaikan kamu." Di sisi nisan itu, Binar meraih sekeranjang bunga mawar, menaburi pusara yang masih hangat ditempati Akhal. Tetes-tetes air mata jatuh membasahi tanah, sejenak Binar memegang dadanya karena ruang oksigen yang di sekelilingnya terasa menyiksa.

"Khal, rasanya baru kemarin kita ketawa-ketawa bareng. Secepat ini takdir memisahkan kita, sebentar lagi kita akan lulus sekolah. Semoga kamu diterima di sisi Allah." Biar bagaimana pun, Adul tidak pernah memihak antara Akhal dengan Kiran, justru Adul yang sering menyatukan mereka.

Hari sudah semakin sore, orang-orang pamitan pulang hingga Binar terpaksa harus meninggalkan pemakaman. Ia kemudian memeluk Tante Winda untuk berpamitan, di belakangnya Ayah menuntun kedua puterinya. Punggung Binar semakin menjauh yang tak hentinya ia berbalik memandang pemakaman Akhal yang merah dan jingga yang membias di atasnya.

"Khal, aku pamit. Nanti aku akan kembali lagi ke sini."

***

Aku tak mengerti mengapa kehilangan begitu menyiksa

Kesepian untuk mengajarkan terbiasa

Aku tak mengerti bagaimana penyesalan tersisa

Dan segenap maaf ingin tersampaikan, namun seolah tak bisa.

See,

Ayu Intan

ᴡʜᴀᴛ ɪғ ʜᴇᴀʀɪɴɢ [END√]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang