"Kak Al!" Naren mengecek setiap sudut rumah, tetapi tak mendapati keberadaan kakaknya. Berkali-kali ia menelepon, pun tiada jawaban. Ia sejenak berhenti, mengusap peluh di kening dengan punggung tangan. Lantas, melepas jaket yang ia kenakan hingga menyiksakan kaus putih polos yang membalut tubuhnya.
Naren menggantungkan jaketnya asal sebelum kembali mencari Alya. Ia hendak menuruni tangga, tetapi berhenti di anak tangga paling atas ketika berpapasan dengan Akram. "Kak Alya mana?" tanyanya, meski sebenarnya enggan.
"Gue---"
Belum sempat Akram menyelesaikan ucapan, Naren lebih dulu berjalan melewatinya menuruni tangga. Akram menoleh ke belakang, mendapati Naren menghampiri Alya. Meski penasaran sebab mendapati Naren tampak begitu kacau, pada akhirnya ia membiarkan saja.
Naren langsung menarik lengan Alya dan mengajaknya ke luar. Setelah sampai di halaman yang cukup sepi, ia melepaskan genggamannya.
"Kenapa, Ren?" Alya melempar tanya. Ia tak mengerti dengan Naren yang tiba-tiba membawanya ke luar. "Tunggu, ini kenapa?" Alya menempelkan jarinya menyentuh lebam di sudut bibir Naren. Ia meringis ngilu. Meski cahaya di sekeliling mereka tak begitu terang, Alya masih dapat melihat luka sang adik. Pun, wajah Naren yang tampak kacau menarik perhatian gadis itu. "Habis ngapain sih sampai keringetan begitu, luka-luka juga." Alya beralih mengecek lengan Naren, mencari tahu jika ada luka lain pula.
"Gue mau lo putusin Delvin, Kak. Sekarang!" tegas Naren.
Alya sontak menghentikan kegiatannya saat ucapan itu keluar dari mulut sang adik. Otaknya sulit untuk mencerna ketika Naren berucap dengan nada yang begitu tegas. Selama ini memang Naren tak menyukai Delvin, tapi tak pernah Naren mendesaknya untuk memutuskan hubungan dengan pacarnya itu. Jelas ia terkejut ketika Naren tiba-tiba bersikap seperti ini. "Maksud kamu?"
"Kak, lo nggak bisa lanjutin hubungan lo sama dia lagi. Dia punya niat jahat ke lo. Gue mohon, lo putusin dia dan jangan pernah hubungin dia lagi!"
"Kenapa?" Alya bertanya dengan nada dingin. Ia sama sekali tidak suka dengan sikap Naren yang satu ini.
"Karena dia bukan orang baik. Dia nggak tulus sama lo, Kak."
"Tau dari mana? Gini, Ren, Kakak nggak pengin debat sama kamu. Tapi, jujur Kakak kesel. Kamu habis ketemu Delvin? Habis berantem?" Alya tak lekas mendapatkan jawaban. Ia akhirnya mengambil ponsel di tas selempangnya, lantas melakukan panggilan dengan Delvin. Tak butuh waktu lama untuk ia mendengar jawaban dari seberang telepon.
"Kenapa, Al?"
Alya sengaja menyalakan loud speaker agar Naren turut mendengar ucapan Delvin. "Kamu habis ketemu sama Naren?"
Butuh waktu beberapa saat untuk Delvin kemudian menjawab, "Kenapa emang, Al?"
"Dia pulang-pulang minta aku buat putusin kamu. Kalian habis berantem?"
"Oh, itu. Aku tadi nggak sengaja nabrak motor Naren. Naren ada di situ?"
"Iya, dia denger kita ngobrol."
"Sekali lagi gue minta maaf, Ren. Gue janji gue bakal ganti rugi kok."
"Anjing! Lo---" Naren tak menyelesaikan ucapannya sebab Alya lebih dulu memutuskan sambungan telepon, "dia bohong, Kak," lanjutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Stagnasi✔️
Teen FictionNaren bukan anak baik. Kiranya begitu nilai orang-orang terhadap dirinya. Namun, Naren pikir penilaian orang tidaklah penting. Ia hanya harus berbuat seperti apa yang hatinya katakan. Karena baginya, menikmati hidup juga perlu. Membuat masalah jika...