"Serius kau putus sama bang Togi?" tanya Nita tidak percaya.
"Iya...," jawab Mika singkat.
"Terus apa kata abang itu pas kau minta putus?"
"Ya dia bilang oke. Dan terima kasih...."
Nita menghela napas lalu keluar dari kamar Mika. Sebenarnya ia ingin bertanya alasan yang membuat Mika memutuskan untuk mengakhiri hubungannya dengan Togi, namun ia mengurungkan niat itu. Lebih baik ia biarkan Mika dalam kesendiriannya dulu, mungkin beberapa hari kedepan ia akan bertanya soal itu lagi, ketika semua telah normal kembali.
Dia merasa iba pada abang angkatnya itu, yang sering mendengar ceritanya dan memberi nasihat padanya. Tapi melihat bagaimana hubungannya dengan Mika berjalan beberapa bulan ini, sepertinya itu adalah keputusan terbaik untuk mereka berdua. Karena sebelum mereka jadian, Nita lebih sering melihat Togi dan Mika tertawa bersama.
Sementara itu, Mika keluar dari kamarnya menuju balkon luar. Ia duduk di dinding pembatas balkon sambil melihat jalan setapak perumahan guru. Ia berpikir apakah setelah ini Togi masih akan sering melihat ke jendela kamarnya yang ditutupi gorden kuning keemasan? Ia tidak tahu, semua tergantung Togi.
Sejak Togi tidak menghubunginya lagi semenjak malam itu. Ia sedikit khawatir tentang bagaimana keadaan Togi disana. Sampai akhirnya ia menemukan pesan itu di akun Facebook-nya tiga hari berselang. Ia merasa lega karena yang hilang adalah handphone-nya, bukan diri Togi sendiri. Namun entah kenapa, saat itu ia mulai berpikir untuk mengakhiri hubungannya dengan Togi. Ia sudah tidak tahan lagi dengan hubungan mereka yang malah lebih sering membuat mereka terluka daripada bahagia.
Malam berganti malam keputusannya semakin bulat. Dan akhirnya hari ini ia telah mengatakan itu. Ada sedikit perasaan lega dalam dirinya. Namun rasa kehilangan juga tidak bisa ditahan untuk merasuki dirinya.
"Seseorang baru terasa sangat berarti ketika mereka telah pergi...," ujar Mika lirih.
Ia kembali ke dalam kamar, membuka laptopnya dan menyetel sebuah lagu lalu membuka buku pelajarannya. Ia tersenyum sambil membuka halaman yang menunjukkan bab baru dari buku itu. Seperti dirinya yang membuka bab baru dalam kisah cintanya.
***
"Kau mau masuk kampus mana nanti Gi, setelah lulus dari sini?
"Hmm, belum tau sih. Ini aku lagi nyari-nyari. Kau gimana, Vin?"
"Hmm, belum juga sih. Tapi aku tertarik sama kampus yang ada di Surabaya ini, Gi."
"Yang mana tuh?"
Togi melihat ke arah layar laptop yang dipangku oleh seorang laki-laki disebelahnya. Dia bernama Arvin. Teman sekelas Togi yang sering mejadi teman diskusi Togi tentang hal-hal tidak masuk akal yang ada di dunia ini. Walaupun Arvin bukan bagian dari Geng Crackers-nya, tapi Togi dan Arvin terbilang lumayan dekat. Pikiran mereka yang selalu bertanya tentang "kenapa" lah yang menyatukan mereka berdua.
Bersama Feri, mereka bertiga sedang duduk di tangga kecil dekat kantin sambil memegang laptop. Mereka sedang mencari informasi tentang jurusan dan kampus yang ingin mereka masuki kelak. Mereka memilih untuk duduk disana karena jaringan sinyal wifi-nya yang lumayan cepat.
"Bang! Mana janjinya kemarin mau minjamin aku buku Astronomi?"
Mereka bertiga kaget dan sontak mengalihkan pandangan ke arah orang yang memanggil seseorang dari mereka barusan. Togi melihat dasi perempuan itu; satu garis, berarti dia adalah siswa baru.
"Eh, iya, Na. Sorry-sorry, nanti pulang sekolah abang kasih ya," ujar Feri sambil menggaruk kepala. Ternyata Feri yang dicari oleh perempuan itu.
"Ah, gimananya abang ini. Udah pikun bah!"
Togi dan Arvin sama-sama terkejut mendengar seorang siswa baru yang berani berkata seperti itu kepada Feri.
"Woi, mulut kau dek!" seru Togi dengan pandangan tajam.
Perempuan itu menoleh ke arah Togi dan balas memandangnya tajam. Dia tidak menggubris Togi sama sekali lalu kembali berbicara dengan Feri. Feri dan perempuan itu terlihat sangat akrab, Togi dan Arvin semakin bingung karena Feri tidak marah saat ia sedang dimarah-marahi oleh juniornya sendiri.
"Pokoknya aku tunggu ya, Bang. Ingat, abang udah janji lo!" seru perempuan itu.
"Iya, iya. Tenang aja, Na. Ckck..."
Setelah mengatakan hal itu perempuan itu pun pergi dari hadapan mereka bertiga. Togi masih tidak percaya dengan apa yang terjadi, sementara Arvin hanya bisa ternganga dan tidak bisa berkata apa-apa.
"Siapa itu, Fer? Kok dia gitu sama kau?" tanya Togi.
"Hahaha! Santai, wak! Aku kenal dia pas MOS waktu itu, kan aku kakak Panmos. Terus setelah kenal dari situ ternyata dia suka astronomi kayak aku, jadinya kita lumayan dekat abis itu. Makanya dia kayak gitu. Memang agak sedikit "selengean" sih anaknya, tapi dia baik kok," jelas Feri pada Togi dan Arvin.
"Hoo pantes...," ujar Arvin sambil manggut-manggut.
"Namanya siapa, Fer?" tanya Togi.
"Elaina...."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Menari Di Atas Takdir
Teen FictionSebuah kisah beberapa remaja di masa putih abu-abu mereka, dimana mereka menjalani hari-hari dengan berbagai peristiwa unik dan lucu sehingga membawa mereka ke peristiwa-peristiwa tak terduga. Ungkapan yang terpendam, rasa yang tak kesampaian, sampa...