Selina menatap layar ponselnya. Ia tiba-tiba resah. Pesan yang baru saja masuk itu dari Banyu. Hanya ada beberapa kata yang mampu membuat gadis itu uring-uringan.
Gue pergi malam ini. Pesawat jam 12 malam
Isi pesan itu cukup singkat. Tapi sangat informatif hingga Selina bersiap sejak sore.
Kali ini, ia tidak akan melewatkannya. Gadis itu harus bertemu sekali lagi dengan Banyu sebelum pergi jauh dan entah kapan kembali. Suka-suka Banyu dan waktu liburnya.
"Mau kemana?" Tanya papa yang sedang menonton film bersama mama di ruang keluarga.
"Pergi nganterin Alir ke bandara," jawab gadis itu santai.
"Kamu balikan sama Banyu?" Kali ini giliran mama yang bertanya.
"Balikan? Kayak orang pacaran aja deh, si mama."
"Loh, bukannya dulu kalian pacaran sampai mau nikah?" Mama heran.
Kenapa kata nikahnya sampai diungkit lagi? Itu adalah kenangan menyedihkan bagi Selina. Sesalnya masih terasa sampai sekarang.
"Pokoknya Selina izin. Ntar Juna jemput kok. Selina pergi naik kereta," izin gadis itu.
Papa mengangguk, pun mama. Mereka tidak lagi khawatir karena Kevin. Lelaki itu sedang terkurung di penjara. Bukan karena laporan Selina, gadis itu tetap tidak melapor. Tapi ini tentang hal lain. Berkaitan dengan pekerjaan lelaki itu. Selina tidak peduli, dan tidak mau tahu tentangnya lagi.
Ia melangkah dengan ringan, kemudian segera masuk ke dalam taksi yang akan membawanya ke stasiun.
Selama di perjalanan, Selina menatap keluar jendela. Jauh di lubuk hatinya ia gelisah. Banyu pergi lagi sangat mengganggu otak gadis itu.
"Hei," sapaan dan sentuhan di pundak Selina menyadarkannya.
Gadis itu baru saja melamun di tengah keramaian stasiun. Ia pun berbalik dan mendapati Banyu tersenyum kecil.
"Gue kira lo nggak bakalan dateng nganterin gue," ucap lelaki itu.
"Enggaklah," tanggap Selina.
Ya mana mau gadis itu membuang kesempatan ini. Sudah cukup dua kali ia tidak berkesempatan mengucap kata perpisahan pada lelaki yang kini duduk di sebelahnya.
"Itu keretanya." Banyu beranjak. Lelaki itu menggamit pergelangan tangan Selina dan menariknya untuk segera masuk ke salah satu gerbong.
Suasana kemudian hening. Hanya ada suara ketikan ponsel Banyu. Tampaknya selama perjalanan ke bandara, lelaki itu sedang sibuk. Mungkin mengurusi pekerjaan yang satu minggu lebih sudah ditinggalkan.
Selina hanya mengintip sedikit tapi setelah itu mengalihkan tatapannya dari layar ponsel Banyu. Ia tahu, ada batasan yang boleh dan tidak dilakukan dalam menangani jiwa keingintahuannya.
Karena menumpang kereta, keduanya dengan cepat sampai bandara. Selina terus berjalan menyamakan langkah dengan Banyu. Masih dalam suasana hening.
"Habis ini gue mungkin pindah lagi ke tempat lain," ujar Banyu tiba-tiba.
"Oh ya? Kemana?"
Lelaki itu tersenyum miring, "rahasia."
Kesal, gadis itu memukul pelan bahu Banyu, "kalo nggak niat kasih tau, jangan bikin penasaran dong!"
Lelaki itu tertawa terbahak. Menambah kekesalan Selina.
"Pokoknya tempatnya bagus," lanjut Banyu.
"Bodo!" Tampaknya Selina merajuk.
Mereka berhenti berjalan. Lalu berdiri di depan pintu masuk terminal keberangkatan.
Tangan lelaki itu terulur, kemudian mengelus lembut kepala Selina. "Gue sebenarnya masih kangen sama lo."
Tubuh gadis itu membeku. Ia tidak berani menatap ke arah Banyu. Selina berdiri di tempatnya dengan kaku bagai patung.
"Haruskah gue pergi atau tetap tinggal?" Tanya lelaki itu lagi.
Kalau boleh, Selina ingin menjerit agar Banyu tetap tinggal. Ia tidak mau berpisah lalu kehilangan lelaki itu lagi untuk yang kesekian kali.
Atau...
Haruskah Selina ikut?
"If you ask me to stay, I will do it."
Hati wanita mana yang tidak akan kacau saat lelaki yang selalu mengisi relung hatinya berkata demikian?
Ragu-ragu gadis itu mendongak. Menatap Banyu yang sejak tadi tidak melepas pandangannya dari Selina.
"Kalau sekarang gue bilang jangan pergi. Apa lo batal naik pesawat malam ini?" Tanyanya.
"Hmmm... nggak juga."
Bahu Selina terkulai. Kecewa.
"Nggak mungkin gue hangusin tiket mahal yang udah diongkosin kantor. Lagipula gue juga harus selesaikan kerjaan," sambung Banyu.
"Terus itu tadi apa? Katanya mau tinggal kalau gue minta?" Selina protes.
Lelaki itu terkekeh. Ia kembali mengelus kepala Selina lalu tangannya turun ke pipi gadis itu dan mencubitnya gemas.
"Ya nggak langsung tinggal, Na. Realistis dong. Kita lagi nggak syuting film atau drama romantis."
"Terus maksudnya?"
"Kalau lo minta gue stay, ya gue selesaikan urusan di kantor dan resign. Pulang," jelas lelaki itu.
"Terus lo nggak bisa keliling kayak kemarin?" Tanya Selina. Kenapa ia malah jadi sedih membayangkan Banyu melepas impiannya begitu saja.
"Ya nggak apa-apa. Daripada gue kesana-kemari tapi..." Ucapan Banyu menggantung.
"Tapi?"
Tatapan lelaki itu melembut, "gue kangen terus sama lo."
Deg!
Jantung Selina tidak bisa diajak kompromi. Detaknya sangat keras dan tidak beraturan mendengar ucapan gombal seorang Banyu.
"Apaan sih lo," gadis itu salah tingkah. Ia rasa pipinya memanas dan sangat merah sekarang.
Melihat itu Banyu tersenyum geli. Ia meraih tangan Selina, lalu menggenggamnya.
"Jadi, apa lo mau gue tetap pergi atau tinggal?" Tanya lelaki itu.
Kali ini Selina boleh egois kan? Ia sangat ingin Banyu tinggal di sisinya.
"Bisa nggak lo tinggal aja?" Permintaan jujur itu terucap juga.
Banyu tersenyum lebar. Ia mengangguk, "I will."
Sekarang jantung gadis itu sudah jumpalitan tidak karuan. Ia ingin berteriak senang dan memeluk Banyu. Namun gadis itu menahan diri.
"So... Gue bakalan nunggu lo balik." Lanjut Selina.
"Harus dong."
Gadis itu tertawa kecil, "terus kalo lo udah balik, gimana?"
"Ya... apalagi? Lanjutin rencana enam tahun lalu. Terus hutang janji lo ke gue lunas."
Sebentar. Selina masih bingung dengan janji yang selalu diungkit Banyu. Memang ia pernah janji apa? Bahkan gadis itu berusaha mengingat sampai pusing, tetap saja tidak ada hasil.
"Alir, emang gue ada janji apa sih sama lo?" Tanyanya.
"Kecewa gue. Lo yang janji, lo juga yang lupa." Lelaki itu pura-pura merajuk.
"Ya apaan?" Sungguh Selina sangat penasaran.
Banyu menghela nafas, "lo kan janji mau nikah sama gue."
"Kapan gue janji gitu?" Selina heran. Ia sama sekali tidak ingat pernah janji begitu. Malah beberapa tahun lalu selalu denying tentang perasaannya terhadap Banyu.
Kini mereka duduk di bangku tidak jauh dari pintu masuk terminal. Masih ada sedikit waktu sebelum Banyu berangkat.
"Dulu, waktu di Bern. Lo janjiin gue begitu."
"Hah? Itu kan dulu banget gue perginya. Masih bocah. Masa iya ada janji gitu?" Selina tidak percaya.
"Buktinya gue inget. Jadi ya..."
"Iya iya Alir. Walau nggak inget, gue tetep akan nepatin janji. Puas?"
Lelaki itu tersenyum lebar hingga kedua bolongan di pipinya tercetak jelas.
Ia kemudian memeriksa jam di tangannya. Lalu menatap Selina dengan sendu.
"Gue masih pengen ngobrol lebih lama. Tapi ini udah waktunya pergi," ujar Banyu.
Mereka beranjak. Berjalan pelan menuju pintu masuk di depan.
Sejujurnya Selina juga tidak rela. Tapi kali ini ia akan menanti Banyu kembali pulang padanya.
Langkah mereka terhenti. Keduanya saling menatap dan tersenyum kecil.
"Hati-hati Alir. Jaga kesehatan dan jangan kebanyakan kerja," pesan Selina.
"Lo juga, Na."
Sekali lagi tangan Banyu terulur dan mengelus lembut kepala Selina. Sebelum berjalan menjauh.
"Alir!" Seru gadis itu.
Ia berlari kecil lalu menubruk tubuh Banyu. Memeluknya erat sekali.
Lelaki itu mematung sejenak. Namun sejurus kemudian menepuk pelan punggung Selina.
"Tungguin gue sebentar aja," ucapnya.
..
..
..Selina dan Banyu menuju tamat 😁