-Syabina Zahrah P
*****
“Nongkrong dulu kali, ya? Enaknya kemana ya kira-kira.”
Telepon genggam milik Laksa berdering, Laksa yang saat itu sedang mengendarai sepeda motor segera ke tepi jalan untuk mengangkat panggilan telepon itu.
“Halo? Ini siapa?” Laksa tidak tahu itu panggilan dari siapa, karena nomornya tidak tertera dalam kontak Laksa.
“Lak tolongin aku, aku takut banget!” ucap seorang cewek dengan nafas terengah-engah di sebrang sana.
Laksa langsung megenali suara cewek yang sedang panik itu, cewek itu adalah Ratuelita. “Ratu? Kenapa, Rat?! Aku sekarang kesana, kamu di mana sekarang?”
“Mini market yang ada di persimpangan,” jawab Ratu dengan cepat.“Oke, kamu tunggu di sana, aku otw.” Laksa yang tadi berniat singgah ke salah satu tempat tongkrongan, akhirnya berbalik arah untuk menolong Ratu. Tiba disana, Laksa pun masuk ke dalam mini market dan menghampiri Ratu yang sedang bersembunyi dibalik rak makanan ringan.
“Ada apa Rat? Kenapa?”
“I-itu, cowok yang di luar itu akhir-akhir ini ngikutin aku terus setiap pulang sekolah, aku takut Lak ... takut.” Ekspresi ceria yang biasa Laksa lihat dari wajah Ratu, kini berubah. Sangat terlihat bahwa Ratu ketakutan bukan main.
“Akhir-akhir ini kamu bilang? Berapa lama itu? Terus, hp kamu mana, nomornya kok beda? Katanya kamu dijemput?” Laksa langsung melontarkan beberapa pertanyaan sekaligus dengan cemas.
“Iya, Lak, aku kira dia orang lain yang cuma lewat, tapi ternyata dia selalu ada setiap aku pulang sekolah, dan pas aku mau nelpon kamu, hp aku lowbat jadi minjam punya salah satu karyawan di sini, tadi Papaku dipanggil atasannya supaya datang ke kantor pusat, jadi aku pesen ojek online tapi keburu mati hpnya. Aku takut ....” jawab Ratu dengan lirih.
Ratu yang dari tadi terus menunduk ke bawah karena takut, perlahan-lahan melihat ke arah cowok di depannya, Ratu melangkah lebih dekat pada Laksa lalu melingkarkan tangannya ke tubuh cowok tersebut, mendekapnya.
Air matanya mengalir dari sudut mata berwarna cokelat itu lalu perlahan membasahi pipinya.
Laksa membalas pelukan Ratu dengan hangat. “Aku udah ngerti situasinya, oke! Ayo berangkat”“Ja-jangan dulu, tung-”
Laksa mengabaikan penolakan itu dan terus berjalan ke luar sembari merangkul pundak cewek tersebut.
“Tenang aja.”
Laksa mendekatkan tubuh Ratu untuk meyakinkannya bahwa semua akan baik-baik saja. Ratu yang sedang ketakutan saat itu, justru terbang dibuatnya.
Akhirnya cowok yang sejak tadi menunggu Ratu di luar pun pergi setelah melihat Laksa bersama dengannya.
“Udah, Rat, tenang udah gak ada orangnya kok, kita pulang sekarang, yuk? Udah malem ini,” ajak Laksa di ikuti dengan senyuman tulusnya pada Ratu.
Masih dalam keadaan Laksa merangkul Ratu, cewek itu sempat melakukan senam jantung karena gugup dengan senyum yang Laksa lontarkan dalam waktu yang cukup singkat.
“Iya, Lak. Aku bener-bener panik banget tadi gatau harus gimana. M-makasih banget ya, Lak,” sahut Ratu.
“Iya, bukan apa-apa kok. Nih ....” Laksa menyodorkan tangan lalu menyerahkan helm pada Ratu.
Jam menunjukkan pukul 22.45 Laksa menyetir dengan tenang di tengah lintasan. Dilihatnya wajah Ratu yang sedang melamun melalui kaca spion. Entahlah, cewek ini seperti ingin mengatakan sesuatu tetapi kelu seolah mengikat lidahnya erat-erat. Malam itu hanya ada Laksa dan Ratu.
Tangan cowok yang sedang menyetir itu sedang mencari sesuatu di belakang tubuhnya, ternyata Laksa mencari tangan cewek yang sedang dia bonceng, digapainya tangan itu kedepan lalu, dibuatnya melingkar ke tubuh Laksa.
Ratu terkejut dengan tindakan Laksa, bibir penuh kelu. Tak kuat satu kata pun keluar. Detakan jantung yang tadinya normal, sekarang tak tentu alur iramanya berjalan.
“Hey, diem-diem aja, Rat? Jangan diem mulu dong, aku kayak bonceng arwah bisu nih,” canda Laksa sambil terkekeh pelan.
Ratu benar-benar tak sadar akan perasaan yang dirasakannya.Tak berani melihat wajah cowok yang sedang memboncengnya lewat kaca spion, dia masih mencari momen yang tepat untuk bicara. Sekian detik kemudian, bibirnya pun akhirnya mau dipaksa bicara untuk menjawab candaan Laksa.
“Ah, dasar, Laksa. Udah malem jangan nakut-nakutin!” balas Ratu, mencoba untuk bersikap senetral mungkin.
“Iya-iya, enggak kok. Btw bentar lagi sampe nih, nanti di rumah langsung kunci pintu, ya. Udah malem banget ini, kamu sendiri di rumah, kan?”
“Iya, ga usah diingetin juga aku udah tau.” Gumam Ratu.
_*_*_*_*
Ibu hanya bisa terdiam. Kelu masih mengikat lidahnya.
“Aah ... kamu ini! Bapak enggak terima. Kamu daftar cuma karena kecewa enggak keterima di perusahaan besar itu! Salah kamu sendiri tidak mempersiapkan diri dengan baik. Kamu gegabah!”
“Aku memang benar-benar ingin pergi, Pak ... cuman setahun kok.”
“Udah, diam! Kamu bakal membuang-buang waktu setahun. Keputusan bodoh itu. Kamu ini udah lulus dari univertsitas bagus, jurusan bagus, bukan untuk jadi guru!”
Aku sadar tak ada jalan keluar dari percakapan itu. Sangat sulit menanggapi seseorang dengan pemikiran konservatif. Sedihnya, orang itu adalah bapak. Watak beliau memang keras, jarang mau kompromi. Pikirannya masih terlampau konvensional soal jalur kehidupan anak-anaknya. Anak-anak harus kuliah di universitas terbaik, bekerja di perusahaan besar lalu beli rumah, mobil, dan akhirnya berkeluarga. Tak ada yang salah memang.
“Ih berisik banget sih, dek. Pagi-pagi begini udah nonton aja, mentang-mentang hari libur. Mending lari pagi sana ...” Pungkas wanita yang sedang memegang gelas berisikan setengah jus alpukat sambil mematikan tv yang sedang Rara tonton.
“Mama, Rara lagi seru-serunya nonton kenapa malah dimatiin? Justru karena hari libur ini, Rara pengen menikmati waktu dirumah Ma ...”
“Pokonya, enggak. Sekarang kamu siap-siap lari pagi.”
“Hmm.” Balas Rara.
_*_*_*
Cahaya matahari menembus awan putih perlahan naik ke atas, angin bertiup dengan lemah lembut. Angin sepoi-sepoi. Pepohonan ikut bergerak ke kanan-ke kiri di ikuti dengan alur tekanan udara rendah, pagi ini terasa hangat, udaranya pun belum banyak terkontaminasi asap kendaraan.
Jam menunjukkan pukul 07.51 Rara mengulurkan tangan dan kaki, melakukan peregangan secara teratur, dan tidak sengaja melihat Laksa bersama Ratu berboncengan dengan kecepatan normal sedang tertawa berseri-seri tanpa beban.
“Eh? Tunggu! Apa? Fer mau kemana pagi-pagi udah rapi, cakep, ganteng, bersih begitu? Malah sama cewek lagi. Eh bentar! Itu ... Ratu kan?”
Rara yang masih belum percaya kalau itu seorang Laksa Referen, segera mengikuti cowok itu bergegas mengambil sepedanya di parkiran. Kebetulan Rara sedang berolahraga di taman kota, jarak dari rumah Rara ke taman kota cukup jauh hingga dapat menguras tenaga. Tapi rasa penasaran Rara terhadap cowok yang dia lihat lebih besar.
Laju sepeda yang Rara kendarai melambat. “Astaga, capek ... di mana orang yang tadi? malah ngilang.”
Di sebrang jalan, terlihat Laksa keluar dari sebuah bangunan yang merupakan toko kue. Rara ingin menghampiri Laksa saat itu. Tapi niat itu terhenti karena ada Ratu yang menyusul dari dalam toko.
Laksa membawakan tas yang Ratu pegang dengan sambutan hangat senyum tulus Laksa pada Ratu.
Dia merogoh untuk mencari hp lalu mengambil gambar mereka, Laksa dan Ratu. Bulir-bulir benda cair yang keluar dari mata bulat hitam pekat itu menyusuri lengkungan pipi Rara. Gambar yang dia ambil, bertepatan saat Laksa mencium kening Ratu.
Rara tersenyum, senyum yang lahir dari rasa kecewa, hampa. Sakit, marah, putus asa.
“Perasaan campur aduk apa ini?”
“Fer ... gimana caranya agar lo cuman jadi milik gue seorang?”
“Ra? Tumben ada disini?” ucap cowok yang berada di belakang Rara.
Rara membalikkan badan dengan air mata bercucuran. “Eh, Ken? Kebetulan banget, ya.” Di ikuti dengan senyum hampa dari bibir kecil milik Rara.
“Kamu kenapa? Ra!”