Tangan nya terus meraba kedepan, karna mata nya di tutup oleh sehelai kain hitam yang sebelumnya sudah di ikat Ratu. Mereka bilang ada kejutan yang akan membuat Alea senang.
"Coba di sentuh."
Alea menaikan tangan nya, kulit nya bersenyuhan dengan kulit wajah yang begitu lembut dan halus.
Tunggu, ia mengenal wangi ini, bau parfum seseorang yang mungkin sekarang ia rindukan. Ia menggeleng kecil. Mungkin hanya perasaan nya saja.
Tangan nya mulai menyentuh hidung, mata, bibir, rambut yang terasa panjang dan terawat. Ia begitu tau lekukan wajah ini. Lekukan milik–
Ia melepas ikatan di mata nya dengan sekali tarikan. "Marun?"
"Hai?" Gadis itu Marun, tengah tersenyum begitu cerah pada nya. Masih dengan kepala terbalut sedikit plester juga luka-luka di tangan.
"Gak mungkin!" Alea mundur dua langkah, mata nya mengadar saat keluarga nya tersenyum haru.
"Marun belum meninggal Le–"
"Gak mungkin Bun! Bunda bilang sendiri waktu itu! Kalian bilang sendiri kalo marun di makamin di Singapur! Dan aku berusaha percaya!" Alea menggeleng, menatap Anna sengit. Bukan hanya Anna. Namun Arta, Ghea, Ratu, Bahkan Marun dan kedua orang tua nya.
"Le dengerin penjelasan gue dulu!"
"Penjelasan apa Run? Lo fikir kematin itu main-main hah? Lo fikir gue gak sedih? Lo fikir hati gue itu apa lo boongin kaya begini!" Sahut Alea tak mau kalah.
"Kalo gue gak mati, Melati gak bakal puas! Dia bakal ngejar gue terus karna gue tau rahasia nya!" Marun menatap Alea serius.
"Kecelakaan gue gak separah kecelakaan lo waktu itu, gue bahkan masih sempet sadar dan sempet minta sesuatu yang mungkin susah buat di lakuin sama tante Anna." Gadis itu menghelanfas pelan.
"Tapi ini juga buat lo Alea, buat kita semua."
"Gue emang gak ke Singapur, gue cuma pindah rumah sakit untuk perawatan beberapa hari. Setelah nya saat gue sembuh gue langung cari pelaku utama di balik kematian ka Mawar yang di perintah Melati."
Marun menatap Josua hangat. "Gue dan papah berhasil buat Melati masuk penjara karna kita udah punya bukti dan saksi Le."
"Trus sekarang lo puas?" Tanya Alea.
Membuat marun mengerutkan kening bingung. "Puas apa?"
Alea menghelanafas kasar, "Sekarang terserah deh, terserah kalian mau gimana? Toh aku juga bakal percaya aja. Aku kan bego." Gadis itu melewatkan Marun begitu saja. Berjalan menaiki tangga menuju lantai dua.
"Aku fikir aku bakal di sambut dengan pelukan, tapi sekarang–"
"Alea masih cape Run." Thalia tersenyum lembut. "Dia pantas ngerasa kecewa karna di bohongin."
"Kamu bahkan gak tau gimana tertekannya Alea waktu kehilangan kamu."
"Mamah sama papah bahkan sampe gak tega dan pengen ngasih tau yang sebenernya kalo gak ingat janji kami sama kamu."
Marun menggeleng ingin melangkah menyusul Alea namun lengan nya di taham oleh Anna.
"Biar tante aja ya?"
~•~
Anna memasuki kamar Alea yang tak terkunci, mata nya menatap Alea yang sudah berbaring di kasur dengan selimut tebal yang menutupi sebagian tubuh nya.
"Masih marah?" Tanya Anna saat sampai tepat di samping ranjang Alea. Wanita itu duduk di sisi kasur.
"Alea berhak kok marah, Waktu kamu bohongin orang-orang tentang keadaan kamu juga kita semua marah."
"Ghea, Ratu, Bunda, Bahkan papah. Kita semua ngerasa kecewa kan?"
Alea masih betah memejamkan mata, padahal ia dengar semua yang di bicarana sang bunda.
"Tapi Marah juga ada batas nya, bukan nya bunda pernah bilang kalo marah lebih dari tiga hari itu dosa?"
"Alea–" Anna meraih tangan Dingin sang anak, menggenggam nya dengan hangat. "Marun udah berusaha ngelakuin yang terbaik buat kamu. Buat kita semua."
"Kamu Tega buat di sedih? Kamu tega–"
"Dia juga Tega buat Aku nangis tiga hari tiga malam cuma karma dia yang pura-pura mati." Alea membuka mata nya, ia bangun duduk tepat di hadapan Anna.
"Kita semua tega bun, kita semua sama-sama nyakitin diri masing-masing. Kita semua sama-sama egois." Alea mengusap wajah nya kasar.
"Kalo bunda kesini buat gantiin dia minta maaf, udah aku maafin sejak tadi."
"Jadi sekarang bunda boleh pergi, aku mau istirahat."
"Le–"
"Aku cuma butuh Waktu bun, kalo pikiran aku udah tenang. Semua nya pasti bakal balik kaya semula."
"Aku janji." Alea kembali berbaring, menutupi seluruh tubuh nya dengan selimut. Membuat Anna menghelanfas kasar.
Wanita itu bangun dari duduk nya. Melangkah meninggalkan Kamar Alea.
"Masih marah ya Tant?"
Anna terlonjak kaget mata nya menatap Marun yang sepertinya sejak tadi sudah ada dan berdiri di depan pintu kamar Alea.
"Udah kok, kamu tenang aja. Alea mana bisa marah lama-lama sama kamu." Anna berucap di selingi senyum lembut.
"Aku boleh masuk?" Tanya Marun, membuat Anna harus menghelanfas pelan.
"Alea nya lagi istrihat Run–"
"Aku gak akan ganggu Tant, Aku cuma mau liat dia aja." Marun berujar meyakinkan.
Anna mengangguk kecil. "Yaudah, tapi jangan sampe buat di ngamuk ya?"
Marun terkekeh samar, membuka pintu kamar Alea kembali. Kaki nya mulai melangkah, mendekati Ranjang Alea. Hingga tubuh nya mulai naik ke atas kasur empuk itu.
Ia berbaring di samping Alea, tersenyum kecil saat wajah Alea tak terlihat karna terhalang oleh silmut.
"Alea maaf, Tapi hati gue juga sakit saat pura-pura mati buat nolong lo."
"Apalagi saat lo marah kaya begini. Gue ngerasa apa yang gue lakuin sia-sia."
"Maaf."
~•~
Tangan nya menyentuh plaster yang menempel di kening sang sepupu, batin nya bertanya apa ia berhak marah? Saat apa yang di lakukan Marun juga demi kebaikan nya?
"Pasti sakit." Ia mencicit pelan, ingatan nya terlempar saat mata nya dengan jelas melihat bagaimana Marun tertabrak.
Alea menatap Marun yang masih setia memejamkan mata di samping nya. Ia tak tau sejak kapam Marum ada, namun sepertinya saat ia sudah tertidur pulas.
"Gue– gue gak marah sama lo Run. Lo bahkan tau kalo gue gak bisa marah."
"Tapi gue marah sama diri gue sendiri. Kenapa harus jadi orang yang lemah, kenapa harus jadi orang yang selalu ngerepotin."
"Gue–"
"Gue gak pernah ngerasa kesecil pun di repotin sama lo Le." Marun memotong ucapan Alea.
Kedua mata mereka saling bertatapan. "Gue kan Big Sister lo."
"Maaf kalo lo ngerasa di bohongi kemarin, tapi sekarang. Gue udah lega banget. Melati udah di tangkap!"
"Dia‐-Beneran di penjara?"
Marun mengangguk kecil. "Berita nya bahkan udah ada di mana-mana."
"Apa yang gue tonton pagi tadi itu Melati? inisial M?–" Alea nampak mengerutkan kening bingung.
"Udah gak usah di pikirin, yang penting sekarang lo udah aman. Gak akan ada yang perlu di kahawtirin lagi." Marun berucap lembut.
"Lo bebas uwu uwu an sama ka Gara!"
"Ih kok jadi bahas Gara si!" Alea menyahut tak suka.
"Bukan nya kalian deket? Bahkan udah sampe panggil Mas-masan."
"Kata siapa?" Tanya Alea bingung.
"Kata anak-anak lah." Marun berujar di selingi senyum jahil.
"Mereka udah tau, kalo lo masih hidup? Jadi gue yang terahir?" Cicit Alea pelan.
"Yang terahir berarti yang paling sepesial Le."
Alea tersenyum, memeluk tubuh marun dengan erat. "Lo buat gue takut tau gak? Tapi sekarang gue lebih seneng. Lo emang selalu ada."