Matahari sudah mulai menyingsing dan langit berubah menjadi kemerahan saat Chaeyoung berjalan santai menyusuri jalanan kota Incheon yang lengang.
Setelah berjalan kurang lebih lima belas menit dari halte bis yang ia singgahi, langkah perempuan itu terhenti di depan bangunan dua lantai bercat monokrom.
Di muka, terpampang jelas plang bertuliskan Epilog Coffee and Brew—tujuannya.
Aroma kopi adalah yang pertama kali menyapa Chaeyoung saat ia membuka pintu kaca itu. Kemudian sapaan pelayan cafe dengan nada suara yang terlatih, dan yang terakhir adalah senyum Jaehyun.
Laki-laki itu berdiri dari duduknya saat melihat Chaeyoung yang baru saja masuk ke dalam cafe.
Jaehyun terlihat bersinar seperti biasa, meski dengan penampilan yang sedikit berantakan; lengan kemeja yang digulung hingga ke siku, dua kancing teratas dibuka, dan rambut yang tidak lagi tersisir rapih.
"Tidak sulit menemukan tempat ini, kan?" Jaehyun berbasa basi, saat Chaeyoung mengambil tempat duduk persis di hadapan laki-laki itu.
"Sama sekali tidak," jawab Chaeyoung sambil meremat rok yang ia kenakan di bawah meja. Chaeyoung menelan ludah susah payah sebelum kembali bersuara. "Jadi, kantormu berada di sekitar daerah ini?"
Jaehyun mengangguk. "Kira-kira dua blok dari dari sini."
Kemudian hening.
Sangat terasa kalau saat ini ada aura canggung yang menyelimuti mereka berdua. Bahkan pelayan cafe yang berada di balik konter beberapa kali melirik ke meja pesanan Jaehyun dan menangkap basah kaki laki-laki itu yang tidak bisa berhenti bergerak di bawah meja, dan postur tubuh Chaeyoung yang terlalu tegak untuk ukuran bertemu dengan teman lama.
"Omong-omong, aku cukup terkejut saat mendapatkan pesan darimu."
Chaeyoung tertawa hambar. "Rasanya aku sudah bisa menebak hal itu."
"Kamu bilang, karena kebetulan sedang di Incheon, maka dari itu ingin bertemu denganku."
"Sejujurnya...," kalimat Chaeyoung menggantung. "Ini bukan kebetulan. Aku sengaja kesini untuk menemuimu, Jaehyun. Aku dengar dari Johnny kalau kamu sedang dinas di Incheon satu tahun kedepan, maka dari itu aku menyusulmu ke sini."
"Benarkah?" Alis Jaehyun terangkat, dan Chaeyoung mengangguk mantap.
"Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan denganmu."
Chaeyoung dapat melihat tangan Jaehyun yang mengepal erat di atas meja. Kalau tebakan Chaeyoung tidak meleset, sepertinya Jaehyun tahu persis kemana obrolan ini akan mengarah.
"Jaehyun—"
"Sebelum kamu melanjutkan apapun yang ingin kamu bicarakan, aku hanya mau meluruskan sesuatu," potong Jaehyun, dan Chaeyoung mau tidak mau mengatupkan kembali bibirnya.
"Tentang malam itu, aku minta maaf karena sudah meninggalkanmu tanpa sepatah kata pun. Aku tahu, saat itu aku bersikap sangat kurang ajar. Tapi aku ingin kamu tahu kalau aku sedang terburu-buru karena hari itu aku harus mengejar penerbangan ke Hongkong untuk urusan pekerjaan ... "
" ... Aku ingin sekali menghubungimu tapi karena kesibukanku aku lupa. Dan saat aku tidak terlalu sibuk, aku merasa waktunya sudah terlewat dan aku takut mengganggumu. Kita sudah sama-sama dewasa, dan saling mengerti, kan, kalau malam itu hanya kejadian satu kali yang tidak akan terulang lagi."
Perut Chaeyoung seketika terasa seperti diremas dan ia harus mencubit pahanya untuk tetap tersadar dan tidak hilang kendali.
"Apa yang terjadi malam itu, berakhir keesokan harinya. Tidak ada lagi yang tersisa. Semua ucapanku hanya lips service, dan aku percaya kamu cukup cerdas untuk tidak membawanya ke dalam hati, lalu—"
"Aku hamil."
"A-apa?" Jaehyun mengernyit.
"Aku hamil, Jaehyun," ulang Chaeyoung dengan suara dan intonasi yang jelas. ia kemudian mengeluarkan surat keterangan yang didapatnya dari rumah sakit dari dalam tas. "Usia kandunganku sudah jalan enam minggu."
Surat itu kini terletak di atas meja. Mata Jaehyun melirik kertas putih yang tergeletak tidak jauh dari jangkauan tangannya, sebelum kembali menatap mata Chaeyoung.
Kali ini netra kelam itu tidak memancarkan kehangatan seperti beberapa saat yang lalu. Chaeyoung bahkan dapat bersumpah kalau Jaehyun terlihat seperti orang yang akan menebas lehernya dengan pisau tumpul.
"Dan, kenapa kamu memberitahu hal itu kepadaku?"
"Karena kamu ayah dari anak yang kukandung sekarang."
Jaehyun tertawa. Tawa mencemooh, yang membuat hati Chaeyoung langsung hancur berkeping-keping.
"Aku? Memang apa yang sudah aku lakukan, sampai bisa membuatmu hamil? Kita bermain aman."
"Tapi malam itu—"
"Jangan coba-coba untuk membodohiku. Kau pikir sudah berapa banyak perempuan tidak tahu diri yang mencoba menjebakku seperti ini? Kalau kamu pikir aku adalah mangsa empuk karena aku baik, maka kamu salah besar."
"Jaehyun, aku sama sekali tidak sedang mencoba untuk membodohi siapapun. Aku benar-benar hamil, karena malam itu kamu melakukannya tanpa pengaman."
"Kamu mimpi." Jaehyun menggelengkan kepalanya, sambil menatap Chaeyoung seperti orang gila. "Sepertinya urusan kita sudah selesai. Maaf, tapi aku tidak punya waktu untuk membahas omong kosong seperti ini."
"Jaehyun," Chaeyoung menahan Jaehyun yang sudah berdiri untuk melangkah ke luar cafe.
Mereka saling berhadapan saat ini, dan beberapa pengunjung cafe mulai melirik ke arah mereka sambil berbisik-bisik.
"Aku sama sekali tidak bohong." Mata Chaeyoung sudah mulai berkaca-kaca, dan hal itu malah membuat Jaehyun semakin muak.
"Kamu berpura-pura menjadi wanita polos yang tersakiti sekarang?" Jaehyun mendengus sinis. "Kamu pikir aku nggak tahu wanita seperti apa kamu? Kamu merokok, menggodaku terang-terangan, dan aku tahu kamu sudah tidak perawan. Wanita seperti itu, apa lagi kalau bukan wanita murahan?"
PLAKK
Suara tamparan tangan Chaeyoung ke pipi kiri Jaehyun terdengar nyaring.
"Ya, aku memang merokok, aku juga memang sudah tidak perawan lagi, tapi aku sama sekali tidak pernah menjadikan one night stand sebagai permainan. Malam itu adalah yang pertama kali untukku, karena..."
Karena itu kamu, Jaehyun.
Karena itu kamu... maka aku melakukannya.
"Hapus air mata buayamu itu, aku sama sekali tidak peduli." Jaehyun menepis cengkraman tangan Chaeyoung yang ada di tangannya lalu melenggang pergi meninggalkan Chaeyoung yang terpuruk.
Sosok Jaehyun yang selama tujuh tahun ia anggap sebagai bintang, berubah menjadi batu kerikil di matanya dalam kurun waktu kurang dari tiga puluh menit.
Hebat!
Jung Jaehyun, di balik topeng yang kamu pakai selama ini, kenyataanya kamu tidak lebih dari laki-laki brengsek.
Kamu bahkan diam-diam menghakimiku dan menilaiku sebagai wanita murahan karena aku merokok dan tidak perawan lagi.
Sia-sia sudah tujuh tahun yang aku habiskan untuk mengagumimu dari jauh.
Chaeyoung benar-benar merasa seperti orang tolol sekarang. Bagaimana bisa ia pernah menaruh hati selama itu pada laki-laki sebrengsek Jaehyun.
.
To Be Continued
KAMU SEDANG MEMBACA
My Valentines ✔️
Fanfiction[SELESAI] Tentang Jaehyun yang setengah mati menyembuhkan luka dan Chaeyoung yang berkali-kali menggariskan batasan. Lalu ada Rion yang hanya peduli dengan kodok peliharaannya. ------ Rating : R-18+ ------ Started : 04 April 2021 Complet...