1. Sahabat Macam Apa?

8.9K 888 78
                                    

Hai haiiiiiiii ... Akhirnya aku bisa menyapa kalian lagi karena dari lama stuck mulu ini isi kepala wkwks.

Selamat datang di cerita baruku yaa... Semoga menghibur, dan lari sebentar dari kenyataan huahahaha. Sebelum baca bolelah sediakan jempolnya untuk menyentuh bintang dan ngetik komen gitu, xixixi. Enjoy reading!!!

Love, Pulpenabu.

...

"Gue masih heran, kenapa Gaven nempel sama lo mulu, Del? Dia itu kan Adhyaksa, kenapa dia malah milih kerja di sini bareng lo?"

"Sama. Gue juga heran sama itu cowok. Hidupnya kayak nggak punya beban. Hobinya ngintilin Adel mulu."

"Tanya aja sama orangnya. Gue mana tau alesannya. Gabut aja kali, ntar juga balik ke Adhyaksa itu bocah."

"Yeu, kan lo yang deket sama dia. Udah kayak sendal kanan sama kiri yang nggak terpisahkan."

"Lagian masa gabut sampai setahun, sih? Terus gue juga denger dari temen yang kebetulan kerja di kantor lama lo, kalian kerja bareng di sana, kan?"

"Ya robbi, segitu penasarannya?" Adel berdecak kagum, terlebih anggukan dari orang-orang yang semeja dengannya. "Fine. Gue kasih tahu kalian, nih. Gue sama Gaven emang satu SMP, lalu satu SMA, satu jurusan, satu kuliahan, satu fakultas. Lalu dilanjut satu tempat magang, satu tempat kerja setelah lulus, sampai saat ini. Puas kalian?"

"Ya belum."

"Apa lagi?"

"Kok bisa barengan terus? Emang selalu mulus gitu, ya? I mean, pasti ada kalanya salah satu di antara kalian yang gagal atau nggak bisa selalu bareng, kan?"

"Gampang itu. Asal punya orang dalem, hahahaha."

"Bangs-"

"Tapi gue masih heran aja gitu, kenapa dia nggak kerja di Adhyaksa aja?? Gaji di sini sama gajinya dia di perusahaan bapaknya kan jelas kayak langit sama kerak bumiiii."

Adel memutar bola matanya malas. Pembahasan mengenai Gaven yang memilih bekerja bersamanya alih-alih mempelajari tentang perusahaan keluarga memang tidak pernah ada habisnya. Dan Adel lebih heran kenapa mereka tidak bosan-bosan menanyakan pertanyaan yang sama setiap kali dirinya ikut bergabung untuk makan siang di kantin. Di hadapannya, kini sudah ada dua porsi nasi padang yang ia beli di salah satu stan makanan. Bukan, Adel tidak serakus itu sampai kuat menghabiskan makanan dengan porsi kuli seperti itu. Dirinya hanya tidak mau berbagi dengan sosok-

"Del, kok beli dua? Kan enakan barengan gitu." Sosok yang baru saja menjadi pembicaraan tiba-tiba muncul dan mengambil duduk di sisi Adel. Meraih sebotol air mineral, lalu menenggaknya hingga tersisa setengah.

"Males sepiring sama elo, gue cuma kebagian dikit."

Adel yang melihat beberapa tetesan air mengalir di leher Gaven pun segera meraih beberapa lembar tissue lalu mengelap tetesan itu. Dirinya tidak sadar, bahwasannya pemandangan itu tidak luput dari beberapa orang yang juga ada di meja tersebut.

"Ya kalau kurang kan bisa beli lagi," balas Gaven sambil menutup botol itu.

"Ya terus apa bedanya dengan gue langsung beli dua porsi, Romli?!" Adel menoyor kepala Gaven, lalu beralih pada teman-temannya. "Kalian ngapain lihatin gue? Iya gue emang secakep Raline Shah."

"Najis!" ujar salah satu perempuan yang menjadi temannya di kantor.

"Jangan kasar lu sama Adel. Takutnya besok pagi muntah paku!" gurau Gaven sembari menyendok nasi padang yang disiapkan Adel.

"Lo tau nggak, Gav? Kalau lo tuh jadi pembicaraan orang satu gedung karena milih kerja di sini alih-alih ngurusin perusahaan bapak lo?"

"Bodo amat. Di Adhyaksa itu kerjaannya berat, terus gue males pusing." Gaven menelan makanannya lalu menatap Adel degan tubuh menyamping. "Jangan lupa ntar gue nebeng."

Dan Adel hanya merengut tak suka saat lelaki menyebalkan itu mengacak rambut rapinya menjadi berantakan sembari tertawa. Sialan lelaki itu. Bisa-bisanya dia merusak rambut yang ia jaga sepenuh hati ini. Lantas, karena tidak terima, Adel pun membalas mengacak rambut Gaven sambil menyerbunya dengan berjuta cubitan mematikan khas miliknya. Persetan dengan yang lain, pokoknya Gaven harus menerima ganjaran atas apa yang dia lakukan.

Padahal lelaki itu jelas tahu kalau ia paling tidak suka jika ada seseorang yang mengacak rambutnya, entah itu siapa pun. Tidak ada alasan spesifik, hanya saja Adel sudah menata rambut coklat miliknya dengan sepenuh hati, dan menjaga supaya tidak berantakan.

"Aduh, sakit, Del. Lo kalo nyubit sekali lagi gue bakal pingsan ini. Gila lo, ntar nggak gue bagi kue mampus! Buset makin kenceng woi, ini gue beneran bakal mati bentaran lagi. Ntar lo pasti nangis. Astagfirullah, lo makan apa sih kok tenaganya jadi kayak Badak gini?!" Gaven berkali-kali mengelak dari cubitan maha dahsyat milik sahabatnya itu dengan susah payah. Terlebih karena bagian depan kemejanya dipegang kuat oleh Adel. Sejak SMP hingga saat ini, Gaven masih tidak habis pikir bagaimana bisa tubuh sekecil dan seramping itu bisa menghasilkan tenaga yang tidak main-main.

"Bodo amat! Rapihin rambut gue sekarang juga ya, Romli! Atau gue nggak bakalan berhenti!"

"Iyaa iyaa aduh ya berhenti dong elah!" Hap. Akhirnya Gaven berhasil mengunci kedua tangan Adel dan memiting lehernya supaya perempuan itu tidak bisa bergerak. Entah bagaimana, keduanya sampai tidak sadar bahwa saat ini mereka sudah berdiri di tengah kantin. Memalukan.

Dengan memasang muka tembok, akhirnya Gaven menarik Adel bersamanya untuk meninggalkan kantin. Adel sendiri menutup wajah dengan sepasang tangan, tidak peduli dengan riasan yang mungkin saja menjadi berantakan.

"Mereka beneran nggak pacaran?"

"Mana ada sih, sahabatan cewek-cowok yang nggak melibatkan perasaan?"

"Tapi dengar-dengar, Adel dan Gaven itu nggak pernah pacaran sama sekali, lho."

"Lah iya? Gue pernah lihat tuh si Gaven jalan sama cewek bahenol."

...

"Sore, Tan. Aku mau balikin anak Tante yang merepotkan ini." Adel melangkah mendekati Bunda Gaven dengan cengirannya. Ia menyipitkan mata begitu melihat tangan Bunda Gaven dengan lihai mengeluarkan sesuatu dari oven. Aroma yang menguar langsung membuat indera penciuman Adel siaga, dan ia tahu betul akan harum apa yang menusuk hidungnya.

Rainbow cake.

Sial. Adel harus bergerak cepat dan mengambil sebanyak mungkin sebelum Gaven yang sedang mandi segera datang ke sini. Ia bergegas mengambil piring dan garpu, lalu duduk manis di salah satu stool bar yang tersedia.

Menyadari pergerakan Adel, Bunda Gaven pun sontak tertawa, apa lagi melihat anaknya juga berlari dan melakukan seperti apa yang Adel lakukan. Dua pasang mata itu berbinar cerah, sembari bergerak tidak sabar kapan rainbow cake itu diberikan.

"Sensitif banget hidungmu ya, Del. Tahu aja kalau Tante lagi bikin rainbow cake." Bunda Gaven tertawa, ingin meledek lagi perempuan cantik yang kini sedang memamerkan gigi rapinya.

"Ya jelas dong, Tan. Khusus rainbow cake." Adel ikut tertawa, lalu menyikut Gaven yang sedang menatap penuh puja pada apa yang ada di tangan Bundanya.

"Gav, karena gue tamu, lo harus dapet bagian yang sedikit. Nggak mau tau!"

"Heh, justru sebaliknya! Lo jadi tamu nggak tahu diri banget, sih!"

"Ya bodo amat. Bunda lo juga jadi bunda gue kalau lagi kayak gini. Itung-itung lo balas budi karena udah gue antar-jemput seharian ini."

"Bun, lama banget, sih!"

Bunda Gaven yang sedang memikirkan sebuah ide sedikit tersentak, lalu tertawa. Akhirnya, ia menaruh kue penuh warna itu di atas meja bar, dan membiarkan sepasang sahabat itu memakannya dengan lahap.

Pikirannya berkelana, memikirkan ide bagaimana caranya Gaven dan Adel berpisah, karena sepertinya tidak ada percikan cinta sedikit pun dari keduanya. Umur mereka semakin bertambah, tetapi tidak ada satu pun yang terlihat menggandeng kekasih sejak Gaven dan Adel dekat, belasan tahun yang lalu.

Dan itu adalah momok menakutkan bagi sebagian orang tua, termasuk Bunda Gaven. Ia ingin melihat anaknya berkeluarga, memiliki anak, dan berbahagia. Entah dengan siapa pun itu, bukan Adel orangnya pun tidak masalah.

Meski Bunda Gaven juga berharap, kalau takdir untuk anaknya adalah sesosok Adelaide Saphira Jashid.

...

Gimana? Lanjut gak niiiiii😆

Just Let's Do ItTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang