Prompt 5: Pada liburan musim semi, sekelompok remaja berencana melakukan perjalanan tanpa ada satu orang dewasa pun yang tahu.
***
Aku sedang mencuci tangan dengan sabun di depan wastafel marmer. Namun saat mendongkak dan menangkap refleksiku di cermin, berlatar jajaran pintu WC yang terlihat asing, aku merasa sudah melupakan hal penting.
Apa, ya?
Kumatikan keran dan menatap celana jeans dan jaket hoodie abu-abu yang kupakai. Terlihat bersih dan baru. Amane, kakak kembarku, juga punya jaket serupa, tapi warnanya putih. Jaket ini khusus kupakai saat jalan-jalan atau bepergian bersamanya.
Ah, artinya aku sedang jalan-jalan bersama Amane. Itu sebabnya sekarang aku ada di toilet laki-laki yang bagus, ala-ala toilet canggih di pertokoan. Tapi biasanya Tsuchigomori dan Yako, kakak-adik yang merupakan orang tua angkat kami, tidak pernah mengizinkan kami pergi jauh kalau hanya berdua. Apa mereka juga ikut bersama kami?
Sebentar. Sekarang tanggal berapa, ya?
Aku mengeluarkan ponsel lipat dari saku. Layar menunjukkan tanggal 24 Mei.
Mataku melebar. Kenapa aku bisa lupa? Sekarang hari ulang tahun kami. Bahkan sejak Maret, saat kami berempat piknik di Taman Komatsugawa Ojima, Amane memohon-mohon agar kami diizinkan pergi berdua untuk merayakannya.
Aku ingat suara berat Tsuchigomori ketika menolak ide Amane itu mentah-mentah. "Bioskop? Kalau mau nonton, kan, sudah ada TV di rumah."
"Tapi filmnya cuma diputar di bioskop! Lagipula tiketnya kubeli pakai tabungan sendiri!" Amane ngotot. Amane ingin sekali menonton film tentang perang-perangan di luar angkasa itu. Pipinya menggembung saat kesal. Seperti bakpau.
Yako menimpali di sela kunyahan sakura mochi-nya. "Tetap tidak boleh. Sudah tahu adikmu 'begitu'. Meleng sedikit, dia hilang, kamu yang panik."
"Tidak, kok! Kami punya ponsel. Tsukasa juga bakal jadi anak baik." Lalu Amane menoleh padaku. "Iya kan, Tsukasa?"
Kepalaku memantul-mantul mengiyakan, meskipun tidak tahu apa maksudnya dengan 'jadi anak baik'. Siapa peduli? Pokoknya aku bisa jalan-jalan berdua dengan Amane.
Namun bahkan saat hari ulang tahun kami semakin dekat, mereka berdua tetap tidak setuju. Maka kami nekat pergi sendiri.
Aku mengangguk puas setelah mendapatkan ingatanku kembali. Sekarang kami ada di Toho Cinemas Shinjuku. Kata Amane, lokasinya berjarak belasan kilometer dari rumah kami di Edogawa.
Aku ingat informasi itu karena Amane menjelaskannya dengan sangat bersemangat. "Lokasinya juga dekat pusat perbelanjaan seperti Dounki Haute, Isetan, Kabukicho, Robot Restaurant, dan masih banyak lagi. Jadi habis nonton, kita juga bisa jalan-jalan!"
Oke, aku tidak boleh lama-lama di sini. Mungkin Amane sudah menungguku cukup lama di luar toilet. Kepalaku juga mendadak sakit—
Eh, kenapa kedua telapak tanganku jadi berlumuran darah?
Penglihatanku meredup, seperti ada sesuatu yang menghalangi cahaya putih lampu di atasku. Darah itu terasa basah di telapak tangan. Lama-lama hangat dan anyir. Mengalir, meresap, meninggalkan warna gelap di jaketku.
Sebenarnya aku tidak takut darah. Aku sering melihat cairan merah itu di video-video internet, yang kalau ketahuan Tsuchigomori, aku pasti akan dijauhkan dari internet selamanya.
Tapi melihat darah yang bisa kurasakan dan kuhidu langsung di tangan, kuakui membuat perasaan sedikit tidak nyaman. Aku menyalakan keran. Air langsung menyembur, memercik ke jaketku. Kuambil sabun cair sebanyak mungkin dan mencuci tangan dengan pikiran melayang-layang.
Begitu membilas busa di tangan, kepalaku menjadi ringan. Lampu toilet cerah seperti semula. Bahkan darah di jaketku pun hilang. Hanya tersisa tetesan-tetesan basah dari percikan air tadi.
Apa aku berhalusinasi?
Kuhirup telapak tanganku. Wangi sabun stroberi. Tidak ada bau anyir sama sekali.
Sepertinya kepalaku bermasalah. Apa sesuatu yang kutonton jadi bercampur dengan kehidupanku di dunia nyata? Sepertinya Amane benar. Aku harus meninggalkan tontonan berdarah semacam itu.
Setelah mengeringkan tangan, aku buru-buru keluar dari toilet. Banyak orang asing berlalu-lalang.
Tapi Amane tidak ada.
Aku menoleh kanan-kiri, depan-belakang, atas-bawah, tapi anak sekolah menengah pertama yang mirip denganku dan memakai jaket putih itu tidak ada di manapun.
"Amane?" panggilku dengan suara sedang. Orang-orang asing tetap berlalu di depanku tanpa terganggu. Amane tetap tidak muncul.
Kuambil ponsel dan mengetikkan nomor Amane yang sudah kuhafal seperti nama sendiri. Tapi yang kudengar hanya suara mesin penjawab otomatis, mengabarkan kalau nomor yang kuhubungi sedang tidak bisa menerima panggilan.
Kenapa?
Aku panik. Terlintas di pikiranku untuk menelepon Tsuchigomori atau Yako, tapi pasti aku malah dimarahi. Lagipula semenit setelah aku menelpon Amane, ponselku langsung mati.
Kucari saja, deh. Pasti Amane tidak akan jauh dari sini.
Tiba-tiba sudut mataku menangkap sosok remaja laki-laki berjaket merah yang memunggungiku dari kejauhan, melangkah ke eskalator turun. Dari potongan rambutnya, aku yakin itu Amane.
"Amane!" teriakku. Orang-orang di sekitar melemparkan tatapan terganggu padaku.
Ups, kalau tidak salah Amane juga pernah memperingatkanku untuk tidak teriak-teriak.
Aku mengejarnya, tapi remaja berjaket merah itu begitu mudah menyalip di kerumunan, lalu hilang, lalu tiba-tiba ada di eskalator lain.
Saat aku masih menaiki eskalator turun yang mendadak terasa selambat siput, kulihat Amane sudah keluar dari gedung. Aku menyusulnya dengan terburu-buru, beberapa kali menabrak orang lain. Masa bodoh.
Akhirnya aku berhasil keluar dari gedung. Jaket merah itu langsung dapat kutemukan. Amane berdiri memunggungiku di depan restoran sushi. Aku hanya perlu menyebrang dan berjalan lurus beberapa meter untuk menyusulnya. Tapi saat menyebrang, aku baru ingat kalau Amane bahkan tidak pernah punya jaket warna merah.
Mendadak aku dibingungkan dengan ingatan sendiri. Tapi seingatku tadi Amane berangkat pakai jaket merah, kok. Atau putih? Merah muda? Putih dengan gradasi merah? Atau...
Remaja berjaket merah itu berbalik, menyapa orang asing, lalu mereka masuk ke restoran sushi.
Bukan Amane.
Aku menepi, menghindari para pejalan kaki yang mengenakan baju lengan pendek, atau pakaian tipis, topi, dan kacamata hitam. Sepeda-sepeda terparkir di depanku. Pohon-pohon cemara menghiasi jalan, dinaungi bayangan gedung-gedung pertokoan yang menjulang.
Aku baru ingat, sekarang adalah saat-saat terakhir musim semi. Bunga sakura sudah berguguran. Udara yang membungkus tubuhku terasa hangat. Aku mendongkak, mataku menyipit ditusuk sinar terik matahari. Aku menutup mata, dan saat kubuka kembali, langit di atas sana berangsur-angsur berdarah.

YOU ARE READING
24 Mei [END]
FanfictionTsukasa hanya ingin merayakan ulang tahun berdua bersama kakak kembarnya, Amane. Namun di hari istimewa itu, tiba-tiba Amane menghilang. Cerita ini diikutsertakan pada Kontes Spring's Secret yang diadakan oleh @WattpadFanfictID Fandom: Jibaku Shoune...