5 - Mama

229 26 2
                                    

Kata orang, pikiran itu seperti parasut. Hanya akan berfungsi jika terbuka. Lantas bagaimana jika sudah terbuka dan siap mendarat, tiba-tiba angin kencang datang dan membuat tali-tali membelit, lalu terombang-ambing di udara tak tentu arah mengikuti mata angin.

Sama seperti isi kepala gue saat ini yang tak ubahnya bagai parasut kusut. Entah diri gue yang mengendalikan pikiran, atau pikiran yang mengendalikan gue, ujungnya selalu bermuara pada Raka.

Masih terngiang wajah Raka yang biasa jenaka, tapi tadi begitu dingin ketika melempar isyarat tanya lewat matanya tentang sosok Rinaldy yang menghampiri gue.

"Itu tadi pacar kamu?"

Ada rasa tak enak hati yang begitu menyiksa mengingat Raka yang sempat melirik jemari gue, kemudian hanya mengangguk dan berlalu tanpa kata setelah gue jelaskan bahwa Rinaldy adalah sepupu jauh meskipun dia enggak bertanya.

"Adhis?"

Agaknya, tindakan gue yang seperti itu justru membuat prasangka Raka terganggu. Gue enggak bisa tahu apa yang ada di kepalanya. Gue hanya bisa menerka. Jika gue yang ada di posisinya, gue enggak akan percaya begitu saja.

"Dhis, kamu enggak tidur, 'kan?"

"Ck! Gue enggak budek, ya."

Sumpah, Rinaldy enggak tahu apa, kalau sekarang gue lagi mode 'senggol-bacok'? Argh!

Ini kenapa juga harus melambat lajunya? Pengin banget lama-lama boncengin gue?

"Udah di depan rumah, Dhis. Kamu enggak mau turun?"

Refleks gue mengamati sekeliling. Ah, benar. Pekarangan rumah keluarga Adhyaksa.

"Bilang, dong, dari tadi."

"Aku-"

Tak peduli dengan Rinaldy yang sepertinya ingin melayangkan kata. Gue melompat turun dari motor, lalu melempar helm. Beruntung tangan Rinaldy sigap menangkapnya. Kaki gue secara otomatis langsung masuk terlebih dahulu, meninggalkan sang pangeran rumah yang memarkirkan Kawasaki-nya di garasi.

"Oi, Adik Kecil!" Suara itu, suara yang pertama kali menyambut gue ketika baru saja masuk dua langkah dari pintu utama. Siapa lagi kalau bukan Bang Satya.

Ayah, Ibu, serta Mama dan Papa yang berada di ruang tengah sontak menoleh hampir bersamaan. Mendadak gue kembali merasa canggung. Tahu gitu, gue masuk bareng Rinaldy saja tadi. Ck!

Ah, sudahlah. Kepalang tanggung, gue melangkah mendekat untuk menyalami semua orang di sana. Kecuali Bang Satya tentu saja.

"Ya Tuhan ... menantu Ibu," sapa Ibu sambil memeluk gue ketika menyalaminya. Beliau tampak paling antusias menyambut perempuan yang dibilang menantunya ini. Ya ampun, Ibu.

"Sini, Sayang." Ibu menarik gue untuk duduk di sisinya. "Adhy mana?"

"Masih di-" Baru saja mau mengatakan Rinaldy masih di garasi, sosoknya sudah muncul di ambang pintu.

Sama seperti yang gue lakukan, dia lantas menyalami semua orang setibanya di ruang tengah, kemudian mengambil duduk di sisi kanan gue. Suasana di sini cukup hangat. Berbanding terbalik dengan dugaan gue yang mengira akan menjadi serba canggung antara dua pihak yang kini secara teori adalah besan.

Entah perasaan gue atau bagaimana, gue merasa ada yang aneh dengan pertemuan ini. Perbincangan berjalan ringan dan apa adanya. Enggak ada satu pun yang menyinggung soal insiden tempo hari lalu. Harusnya gue lega, sih. Cuma aneh saja rasanya.

Sudah dua jam sejak gue datang. Kini waktu menunjukkan pukul sepuluh malam. Enggak banyak kata yang keluar dari lisan gue. Mama Papa dan orang tua Rinaldy yang lebih dominan dalam obrolan. Entah itu saling tanya pekerjaan atau bertukar opini tentang tempat yang mengalami pembaruan. Dari sini gue tahu jika Ayah Jayadi Adhyaksa ini salah satu owner perusahaan konstruksi.

"Mama ngapain, sih, ke sini?" kata gue, begitu obrolan selesai pada pukul sebelas. Kini gue sama Mama ada di kamar tamu yang nantinya akan ditempati Mama dan Papa.

Mama spontan melayangkan tangan ke bahu gue. Kencang. "Kamu ... bukannya teh hatur nuhun udah ditengokin orang tua, malah."

"Kan bisa, atuh, Sabtu Minggu. Hari ini Adhis banyak tugas kuliah buat besok." Gue menggerutu seiring langkah menuju ranjang lalu duduk di sudutnya. Disusul Mama yang mengambil posisi enggak jauh dari gue.

Bersama dengan Mama adalah hal yang paling tidak menyenangkan sedari dulu. Entah sejak kapan tepatnya, yang pasti sejak gue merasa ketika Mama sudah melewati batasnya dalam menyetir kehidupan gue.

"Kamu teh kenapa enggak bilang kalau suami kamu orang berada?"

Di sini gue memutar bola mata, malas. Gue bisa menebak ke mana arah pembicaraan ini. Apakah semua emak-emak di seluruh pelosok Nusantara selalu mengedepankan harta dan strata?

"Mana Adhis tahu, kenal aja enggak."

"Mana ada enggak kenal langsung ngamar?"

"MA!" Refleks suara gue meninggi. Norma kesopanan yang gue pegang kini hanya setipis benang. Namun, masih ada setitik usaha gue untuk mempertahankannya. "Sekali lagi Adhis katakan, kalau yang kemarin itu fitnah. Rinaldy, dia yang Mama kenal suami Adhis itu, Adhis sama sekali enggak kenal dia sebelumnya."

"Nggak mung-"

"Adhis tahu Mama mau bilang nggak mungkin kalau Adhis nggak kenal Rinaldy, mana bisa kepergok dalam kamar dalam keadaan nggak selazimnya. Adhis tahu, Mama akan bilang kalau Adhis cuma alasan kalau bilang kami enggak pernah melakukan apa-apa. Tapi, please, Ma. Terlepas dari itu semua tolong jangan halangi perpisahan kami."

"Kamu mau pisah? Baru berapa hari? Emangnya nggak malu jadi janda padahal masih muda? Kumaha nanti kata temen-temen Mama punya anak janda muda. Bisa dikira bener kamu teh nggak ada yang mau. Nggak. Nggak usah ngadi-ngadi."

Spontan gue mengernyit. "Mama bilang ke temen Mama kalau Adhis nikah?"

"Ya iya, atuh. Udah lama temen-temen Mama nanyain kapan punya mantu."

Astaga, Mama! Enggak habis pikir gue. Mama lebih mementingkan citranya di depan teman daripada kehidupan gue yang rumit dan runyam.

"Jadi, gimana? Kamu teh emang beneran belum ada tanda-tanda udah isi?"

"Gimana mau isi, nganu aja enggak." Gue menjawab setengah hati. Tampaknya Mama makin ngadi-ngadi.

"Ya mungkin belum aja. Untung masih keburu nikah. Kalau enggak, uh ... amit-amit kamu hamil di luar nikah."

Kan?

"Ma, please, stop it. Mama sebaiknya tidur, besok pagi-pagi harus pulang dan jangan sering-sering ke Jakarta buat ketemu Adhis kalau bukan Adhis sendiri yang dateng menemui Mama."

"Ih, kok kamu kasar, Mama sendiri dibilang stupid."

Gue memejam, berusaha menahan letupan emosi. Jika bukan dengan Mama, gue siap menyemburnya saat ini juga. Oke, Dhis, calm down. Daripada makin keki, gue beranjak dari kamar tamu ini.

____________
Bersambung dulu. ☕

See you! ❤

The Freaky WeddingWhere stories live. Discover now