Jangan lupa follow, vote dan komen ya dear...
Sudah sebulan lamanya, aku larut dalam kesedihanku. Hidupku kacau, makanku berantakan. Suaraku bahkan hilang karena saking seringnya aku menangis dan berteriak frustasi. Demi Tuhan, kami bahkan sedang menyiapkan pernikahan kami.
Aku tak lagi melihat cerahnya mentari, tak ikut sibuk dengan hiruk pikuk lalu lintas Jakarta. Aku nyaris tak mengenali diriku sendiri saat ini.
Tanganku gemetaran, aku masih sibuk stalking bang Hamid. Dari medsosnya, menghujaninya dengan berbagai pesan berharap dia akan sedikit mengingatku kemudian kembali padaku.
Tapi, yang aku dapat justru mereka mengunggah berbagai momen bahagia mereka di media sosial mereka dan bang Hamid tak pernah sekalipun membalas pesanku. Rasanya marah, kecewa, sedih yang tak tertahankan.
Aku kembali menangis hingga mataku perih. Aku tak memperdulikan dunia yang ramai ini. Aku mengurung diri di kamar. Dengan keadaan rumah gelap gulita.
"Ya ampun! baby!"
Teriakan itu tiba - tiba terdengar seiring pintu kamarku yang terbuka. Entah bagimana caranya Naima berhasil membuka pintu rumah bahkan pintu kamar kostku ini. Aku kembali menangis pilu, sudah sejak itu pula bang Hamid meninggalkan tempat kost kami. Dan kini tempat ini menjadi kostku, bukan rumah kost kami.
"Baby, " lirih Naima sembari memelukku erat. Tangisku pecah bersamaan tubuhku yang berada dipelukan Naima. Kami menangis sesegukan.
"Bang Hamid, Nai," kataku lirih dengan suara serak.
"Iya, sudah ya. Semua sudah berlalu. Kamu nggak bisa begini terus," kata Naima lirih dengan tangannya yang terus memelukku erat.
"Yuk, bangun terus mandi. Saya bawa makanan untuk kamu," kata Naima dengan matanya yang aku yakini menatapku kasihan. Aku hanya mampu menggeleng, apa yang harus aku lakukan tanpa bang Hamid?
"Dengar ya, kamu gak akan bisa dapetin hati bang Hamid jika kondisi kamu berantakan begini. Kamu lihat kan, bagaimana cantik dan terawatnya tubuh pelakor itu?" Naima menjelaskan dengan lembut.
Aku memejamkan mataku sejenak, Naima benar. Betapa cantik dan terawatnya wanita itu. Aku kemudian membuka mata dan bangun meski dengan langkah berat. Tubuhku bahkan bergoyang, tapi aku harus mandi.
Setelah mandi, aku duduk di ruang tengah yang sepertinya sudah dibereskan oleh Naima.
"Kamu makan dulu, baru kita bicara. Aku udah kasih waktu buat kamu selama sebulan penuh. Dan sekarang nggak ada lagi," kata Naima tegas.
Aku tak menjawab dan hanya melanjutkan makanku perlahan. Perutku perih rasanya, dan aku hampir memuntahkan bubur itu. Ah, aku baru teringat bahkan perutku tak kemasukan apapun sejak tiga hari yang lalu.
"Udah deh. Kamu gak perlu stalking tu orang lagi. Blokir saja nomernya. Dan jangan mencoba menghubunginya lagi!" Tegas Naima padaku.
Aku membalasnya hanya dengan menatap matanya sayu, Naima tersenyum padaku lalu mengelus punggungku perlahan.
"Dengar, semakin kamu menghubunginya. Maka dia akan semakin muak dan kamu semakin dijauhi. Jadi, stop terus menerus menghubunginya. Apalagi mendatangi pelakor itu!" Tegur Naima dengan sorot mata tajam.
Ya, aku mendatangi pelakor itu beberapa minggu lalu. Bahkan aku sampai berlutut di bawah, memohon padanya agar dia meninggalkan bang Hamid
"Aku tidak tahu kalau dia punya kekasih. Aku pasti bisa menjauhinya seandainya hubungan kami belum terlalu jauh."
Aku teringat wanita itu bahkan ikut menangis bersamaku. Dia berkata ,"kenapa saya terlihat seperti orang ketiga yang menjijikan?"
Ternyata Naima tahu peristiwa itu, aku bahkan sampai di datangi bang Hamid saat itu.
"Ini salahku, jangan ganggu Ririn. Kalau kamu marah silahkan pukul aku, tapi jangan ganggu Ririn. Dia nggak salah," kata bang Hamid membela wanita itu.
Aku kembali terkekeh perih dengan air mata yang tak kunjung surut. Peristiwa beberapa bulan ini menyedot seluruh energiku. Terlalu menyakitkan sampai aku tak dapat mengungkapkan rasa sakitnya.
"Jangan diulangi lagi. Kita akan membuat bang Hamid menyesal dan mengejarmu kembali lalu kamu mencampakkannya," Tegas Naima. Tangannya bahkan mengepal tanda emosinya nyaris meledak.
Naima benar, aku akan membuat bang Hamid menyesal. Dia harus membayar semuanya. Masa depan cerahku, waktu delapan tahunku, air mataku, pekerjaanku. Dia harus membayar semuanya."Sekarang, kita pergi ke spa dan mulai merawat tubuhmu. Kamu harus menjadi cantik dan berbeda. Kamu bukan lagi Hanny yang mengabaikan dirimu sendiri demi lelaki brengsekmu itu. Kita ambil uang tabungan di atm kamu dan aku akan membantumu make over," jelas Naima menggebu.
Aku mengangguk dan tersenyum tipis, aku harus bangkit bukan untuk diriku. Tapi untuk Naima, sahabatku yang terus menangis melihat kondisiku.
"Lihat, kantung matamu sangat tebal. Kamu berantakan, bahkan kamu tidak memakai eyelinermu dengan benar," lirihku pada Naima.
Naima itu super model sekaligus owner sebuah brand pakaian terkenal di asia. Dia wanita cantik, langsing, putih, dia wanita yang sangat mementingkan penampilannya.
Sekarang justru terlihat kucel dan berantakan kali ini. Rasanya sangat aneh melihatnya begini. Tiba - tiba saja terbersit rasa bersalahku pada Naima. Dia harus kesini ditengah kesibukannya.
Dia terkekeh pelan, lalu kembali memelukku semakin erat.
"Ini semua gara - gara kamu! Aku sangat khawatir padamu. Kau menghilang dari bumi selama sebulan kau tahu, bahkan rumahmu pantas disebut kandang babi!" Ketus Naima.
"Kita pindah dari sini, aku sudah bilang ibu kostmu," ujar Naima lagi.
Kali ini, aku hanya menurutinya saja, aku tak punya tenaga untuk sekedar berpikir saat ini."Saat aku dengar kabar dari kamu aku langsung kesini dengan privat jet milik Abang Jack. Aku bahkan menunda semua jadwalku selama sebulan ini. Aku kehilangan puluhan milyar demi kamu. Asal kau tahu!"
Aku meringis, rasanya menyesal telah membuatnya merugi sebegitu banyaknya. Untungnya dia istri seorang pengusaha batu bara yang kekayaan suaminya aku yakin tak akan habis sampai delapan turunan.
"Dengarkan aku untuk kali ini, aku nggak mau kamu kehilangan akal sehat mu lagi ya!"
Aku mengangguk, dia bahkan telah membawa barang - barangku di kost. Mendadak banyak pegaiwainya yang berlalu lalang membereskan barangku.
Beruntungnya aku memiliki sahabat sebaik Naima. Meski kami bahkan sering tak berhubungan sama sekali, tetapi jika dalam kondisi seperti ini dia akan menjadi satu - satunya orang yang akan mengulurkan tangan untuk membantuku.
"Aku kan pernah bilang, jangan mencintai dan berkorban untuk orang lain hingga melebihi cintamu pada diri sendiri. Agar kamu punya jaminan atas diri sendiri jika seseorang berniat menghancurkanmu!"
Aku tertawa lirih, Naimaku memang secerewet ini. Setidaknya kali ini aku bisa tersenyum. Dia memang sahabat terbaikku.
Kau tahu, sahabat bukan berarti dia yang selalu berada didekatmu. Tapi sahabat itu adalah dia yang rela meninggalkan semuanya demi kamu. Orang yang akan memelukmu bahkan saat seluruh dunia menolakmu.
"Hei, kamu dengar aku tidak?!" Teriak Naima kesal.
Aku tersenyum tipis,
"Iya, iya aku mendengarmu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hai mantan!
Romance"maaf aku sudah tidak mencintaimu lagi." Ini tentang perjuanganku melanjutkan hidup setelah hubungan yang kami jalin selama delapan tahun berakhir dengan kalimat menyakitkan itu. "Kamu akan menyesal mas."