9

8.3K 709 122
                                    

Ruang kumpul depan tv diterangi oleh cahaya dari beberapa flash hape yang menyala. Suara gerimis diluar, angin malam yang berhembus masuk lewat sela-sela ventilasi memaksa mereka semua merapatkan selimut sampai batas wajah.

Beby memandang langit-langit atap diatasnya, imajinasinya terbang jauh ke masa depan yang ia inginkan, "Jujur, gue pengen ada kalian sebagai temen menuju hari tua pas udah dewasa nanti, yang gapapa ga ketemu tiep hari kayak sekarang pas jadi member, karena pasti kita punya kesibukan beda-beda, kalo sekarang kan kebetulan sama jadi intesitas ketemu mau ga mau jadi ketemu mulu."

"Kenapa kak?" tanya Jinan.

"Apanya?"

"Kenapa pengen tetep ada member?"

"Oh," Beby akhirnya mengerti, "karena apa ya, gue ngerasa orang-orang yang gue temenin tumbuh itu ada disini, bareng kalian, jadi gue kayak tetep berharap bisa bareng kalian dimasa tumbuh lainnya."

"Sama," Anin menanggapi ucapan Beby, "gue ngerasa ya temen-temen gue itu cuma para member ini. Bayangin, bertahun-tahun hidupnya lebih banyak di Jeketi, bahkan lebih banyak ngabisin waktu sama kalian daripada sama keluarga, selesai dari sini pasti gue pengen tetep temenan deket sama kalian, tetep pengen kalian ada, gitu."

"Mungkin maksudnya bukan ga punya temen lain selain kita kali kak Anin? Kak Anin kan punya temen kuliah sama temen kos?" Indy mencoba meralat jawaban Anin. Indy tau Anin adalah seorang anak rantau, tapi ia ingat Anin memiliki beberapa teman kos yang cukup dekat dengannya, dan Anin di mata Indy adalah seorang mahasiswa yang cukup hits dan terkenal jika dilihat dari segi penampilan. Tidak mungkin menurutnya Anin tidak mempunyai teman selain mereka, para member.

"Maksud gue temen deket yang bener-bener tau gue, gitu. Temen yang jadi tempat gue ngadu, kalo temen biasa mah jelas ada," Anin memperbaiki penjelasannya, "lagian gue kan triple tim jadi pasti gue makin banyak ngabisin waktu sama member, ngabisin waktu di Jeketi."

"Kalo gue nih ya," kali ini Eli yang menyampaikan isi pemikiran dan imajinasinya, "ga beda jauh sama kak Anin dan kak Beby sih, kalo ditanya pengen pasti pengen, malah gue maunya kita kalo udah lulus dari sini tuh tetep kontekan, tetep main bareng, kayak cuma status member doang yang ilang, tapi yang lainnya masih sama."

"Ga mungkin bisa," potong Gita langsung.

Fia tertawa, ia menyikut Gita yang ada disampingnya, "Jujur amat."

"Tau nih Gita, rese lo," balas Eli.

"Iya kan? Ga mungkin bisa sama, ga mungkin status member kita doang yang ilang, pasti semuanya berubah, kegiatan kita berubah, kebutuhan kita berubah, kesibukan kita apalagi. Pasti ada yang sibuk ada yang engga."

"Gue ngerti maksud Gita," Desy ikut buka suara, "mungkin yang Gita koreksi itu cuma bahasa Eli, kayak ga mungkin ga ada yang berubah kedekatan kita setelah grad nanti, gitu kan Git?"

"Bener ci Desy," jawab Gita mengangkat jempolnya tinggi-tingga agar Desy diatas kepalanya bisa melihat acungan jempol itu.

"Gue tiba-tiba kepikiran sekarang, gimana kalo kita beneran tinggal bareng-bareng, eh gausah sampe tinggal bareng-bareng deh, ribet pasti-"

"Ini kan udah tinggal bareng kak Tasya," jawab Chika langsung.

"Apa sih lo." Anin menoleh datar mendengar ucapan Tasya disampingnya.

"Sabar Chika dan kak Anin, ini mau gue ralat," balas Tasya melirik ke Anin, "gue beneran kepikiran gimana kalo pas kita udah grad, kita udah bukan anak remaja lagi, bener-bener udah dewasa, udah jadi wanita karier, bahkan mungkin kita masing-masing udah punya keluarga, terus kita masih pada temenan deket, masih saling ngadu masalah hidup masing-masing, masih suka jalan sama-sama, ih beneran seru kali ya?"

"Hidup kalo cuma dipikirin, dikhayalin doang enak ya ternyata, kayak seru aja gitu," Fia tersenyum. Kepalanya penuh dengan imajinasi akan ucapan Tasya. Seandainya semua ucapan-ucapan imajinasi itu jadi kenyataan, mungkin ia akan sangat bahagia.

Seandainya.

"Ketika kalian udah mikir sejauh itu sampe punya keluarga, ada Muthe dan Christy yang masih mikirin tugas sekolah hari senin apa," Jinan mengalihkan topik sebentar, sadar sejak tadi dua bungsu tim mereka tidak bersuara sama sekali.

"Jangankan Muthe sama Christy, Ara juga masih mikirin tugas dia buat senin," jawab Chika.

"Gue juga," saut Indy.

"Aku beneran mikirin tugas buat hari senin deh," ada nada cemas didalam ucapan Muthe itu, membuat para member yang lebih tua daripada dirinya menjadi tertawa.

"Makanya kayak aku dong udah dikerjain dari kemaren karena dipaksa kak Aya," Christy menyombongkan diri. Semua tugasnya selalu ia kerjakan di hari tugas itu diberikan karena dipaksa oleh Aya. Jika Aya tidak memaksanya, ia pun sebenarnya malas.

"Ya gimane, roommate Muthe aja tiga orang paling ga niat kelas di dorm ini. Gue, Gita, sama Kak Anin, ngingetin diri sendiri aja kita gagal, apalagi tiba-tiba jadi kayak kak Aya."

Tawa semua orang pecah mendengar penuturan jujur Tasya, "Indy tenang, mulai besok gue yang ingetin kerja tugas ya"

"Bener ci?" tanya Indy ragu.

"Ci Desy tuh yang ngomong barusan? Ga kesambet kan?" Anin ikut ragu mendengar ucapan Desy.

Desy tertawa, "Bener, biar lo ga ngiri liat Gracia diurusin sama Shani, Ara diurusin sama Chika, Christy diurusin sama Aya."

"Terus aku siapa yang ngurusin?" Muthe menunjuk diri sendiri.

"Kasian banget Muthe jadi anak kamar satu, tolong dong siapa yang mau berbaik hati adopsi Muthe, kita mengaku ga bisa ngelakuin tugas itu," Anin, member paling tua di kamar satu sedikit merasa bersalah tidak bisa berbuat seperti Desy, sebagai gantinya ia mencarikan member lain yang bisa mengurus Muthe lebih baik daripada dirinya atau Tasya dan Gita.

"Kita bakal seneng banget kalo ada bala bantuan yang mau ngurusin Muthe," sambung Gita.

Beby tertawa, "Ntar Muthe biar aku yang ingetin dan paksa ngerjain tugas sekolah." Mau tidak mau ia merasa harus turun tangan saat tidak ada member yang menawarkan diri. Memang hal itu tidak masuk kedalam tugas seorang kapten selama di dorm, namun ia merasa tetap bertanggungjawab dalam urusan ini.

"Makasih kak Beby sudah mewakili pekerjaan terberat di kamar satu," ucap Gita lagi, membuat Tasya dan Anin secara kompak ikut mengucapkan terimakasih juga.

"Bisa sekalian bangunin pagi juga ga kak Beby?" Muthe membuat penawaran, meminta lebih dari apa yang diberikan Beby.

"Ngga dulu deh kalo itu, kecuali gue ikutan bangun karena denger orang-orang rusuh baru gue bangunin."

"Udahlah gausah ada yang berharap punya partner buat kelas pagi-"

"Karena cuma ci Gre yang punya itu." Indy memotong ucapan Jinan.

"Karena cuma ci Shani yang rela dan ikhlas ngelakuin itu. Titik. Ga ada yang lain," sambung Ara.

Ucapan Indy dan Ara disetujui oleh semua member, "aku kangen ci Shani sama ci Gre deh jadinya, padahal baru malem ini doang ga ngeliat," tutur Christy mendengar nama GreShan disebut.

"Gue juga, buruan sembuh kek ci Gre biar bisa gabung sama kita lagi," Eli menyetujui ucapan Christy. Ia merindukan pemandangan GreShan disebelah Anin jika mereka tidur ramai-ramai dibawah seperti ini.

Belum ada dua puluh empat jam mereka tidak melihat dua sejoli yang sangat sering bersama itu, namun mereka merasa sudah sangat lama tidak melihat keduanya. Seolah ada yang kurang ditengah mereka.
-----
Suhu tubuh Gracia makin malam malah makin meningkat. Beberapa kali Gracia memutar tubuhnya ke kanan kiri, mencari posisi tidur paling nyaman. Shani yang sejak tidur tadi memegang tangan Gracia mau tidak mau terbangun karena menyadari betapa Gracia sangat gelisah dan tersiksa dalam tidurnya.

"Panas banget," gumamnya ketika meletakkan sebelah telapak tangannya diatas dahi Gracia.

"Aku ga bisa tidur." Suara Gracia mengagetkan Shani, "Kok gelap banget?" ucapnya lagi. Ia ikut membuka mata karena mendengar Shani terbangun, namun karena keadaan sangat gelap, ia tidak bisa melihat apa-apa.

"Iya yah." Shani ikut menyadari gelap yang menyelimuti. Biasanya, walau lampu kamar mati, keadaan tidak segelap ini, akan ada cahaya dari depan kamar yang menyelinap lewat bagian bawah pintu atau bagian ventilasi atas.

"Jangan-jangan mati lampu?"

"Ih apaan sih." Shani langsung memeluk lengan Gracia erat. Takut jika ternyata benar-benar mati lampu.

"Kayanya mati lampu beneran, coba nyalain lampu deh."

Shani merengek, "Ga berani." Turun dari kasur saja ia tidak akan berani, apalagi berjalan memutari kasur dan menekan tombol lampu yang ada didekat pintu kamar. Tidak akan ia lakukan.

"Nyalain flash hape." Gracia tertawa pelan mendengar rengekan suara Shani. Ia tau Shani benar-benar takut karena bisa merasakan pelukan dilengannya sangat makin mengerat.

"Ga berani Ge," ucap Shani sekali lagi. Kali ini ia membenamkan wajahnya dilengan Gracia saking takutnya dengan gelap yang menyelimuti mereka.

Dengan sebelah tangan yang bebas, Gracia susah payah meraba kasur dibagian atas menggunakan sisa tenaga yang ia miliki, mencari keberadaan hapenya ataupun hape milik Shani. Dibawah bantal ia menemukan apa yang ia cari, ntah milik siapa ia juga tidak tahu, sampai ia menghidupkan layarnya dan bisa melihat hape itu milik Shani. "Udah nih," ia mengarahkan flash ke Shani.

"Silau Ge," ucap Shani makin kembali membenamkan wajahnya saat melihat cahaya yang langsung terarah ke wajahnya.

"Oh iya maaf." Gracia meletakkan hape itu diatas bantal mereka.

"Satu doang? Nyalain semua."
"Makanya lepasin dulu, aku ga bisa nyari kalo kamu pegangin gini."

Shani langsung melepas tangannya dari lengan Gracia, ikut mencari keberadaan hapenya sendiri yang satu lagi, "Tapi kalo dinyalain semua sekarang, terus lowbet semua pas listrik masih padam gimana?" Gracia menoleh ke Shani. Ditangannya sudah ada dua hape milik sendiri.

"Emang ini bakal lama?"

"Ga tau, mas Plnnya ga ngasih tau aku bakal lama apa engga." Gracia bingung harus bagaimana menjawab pertanyaan Shani itu.

"Jadi gimana dong?"

"Ga usah takut ci, kan kamu ga sendirian, ada aku," terang Gracia, berusaha menenangkan Shani yang sangat takut dengan gelap, "atau kamu tidur lagi aja."

Shani menggelengkan kepalanya diatas bantal, "Kasian kamu ntar sendirian." Tidak mungkin ia tega untuk kembali tidur sementara Gracia disebelahnya tidak bisa tidur karena sakit.

"Gausah ngeliatin gitu," keluh Gracia pelan. Dibantu dengan flash cahaya hape, ia bisa melihat Shani yang menatap lekat kearahnya.

Sebelah tangan Shani memegang pipi Gracia lembut, "Panas banget, Ge. Mau aku kompres ga?" Ia tidak bisa tidak khawatir melihat kondisi Gracia seperti ini, "tapi kok telapak kaki kamu dingin?" tanya Shani lagi. Gracia punya kebiasaan suka menempelkan dan menggesekkan telapak kakinya ke kaki Shani, jadi ia bisa tahu perbedaan suhu tubuh Gracia itu.

"Ga tau," jawab Gracia dengan mata setengah terpejam, "kepala aku sakit banget deh, kayak mau pecah."

Mendengar itu, Shani memindahkan tangannya ke dahi Gracia, memijat dengan lembut area pelipis, berharap dengan begitu setidaknya rasa sakit yang dirasakan Gracia bisa berkurang sedikit.

Gracia kembali membuka mata, "kok sepi banget perasaan, kayak ga ada suara dari bawah."

"Ga bakal kedengeran sampe kamar kalo mereka ga teriak," jawab Shani.

Dua orang itu lalu sama-sama diam dengan mata saling pandang, "Apa?" tanya Shani.

"Apa?" Gracia balik bertanya.

"Kenapa ngeliatin?"

"Kamu juga ngeliatin aku," Gracia tidak mau kalah.

"Kamu pasti mau bilang sesuatu makanya ngeliatin kayak gitu, iya kan?" Shani merasa ada sesuatu yang ingin disampaikan Gracia lewat tatapan sayu itu.

Gracia tertawa pelan, "Si paling peka emang."

"Apa? Buruan bilang."

Dengan dua mata yang lurus menatap mata Shani, Gracia buka suara, "Aku pasti bakal kangen sama kehidupan kita disini-" ia diam sebentar, matanya lalu ia pejamkan, "-baru seminggu sih emang, tapi aku kayak udah adaptasi dengan kehidupan ini, kayak udah terbiasa dengan rutinitas harian disini."

Shani mendengarkan dengan baik, tidak memotong sama sekali. Sebelah tangannya masih sibuk memijat pelipis Gracia, sementara sebelah lagi sudah berada pada genggaman Gracia.

"Dibangunin, dipaksa kelas pagi, ngeliat para tim masak makan siang yang suka heboh, diteriakin kak Beby kalo kita berdua yang dapet tugas cuci alat bekas masak dan kitanya lama banget nyucinya, main, ngerjain tugas, makan bareng, terus tidur lagi."

Tiap ucapan Gracia menghadirkan bayangan didalam kepala Shani. Mau tidak mau Shani ikut merasakan apa yang Gracia rasakan.

"Tapi aku paling kangen sama kamu sih pasti, kangen dibawelin, kangen diurusin kayak gini."

"Ini efek badan kamu yang panas banget ya makanya ngelantur kayak gini?"

Gracia tersenyum samar, "beneran tau, pasti ntar kalo udah selesai kehidupan di dorm aku bakal nangis banget." Ia juga tidak mengerti apakah ini pengaruh panas tubuhnya atau pengaruh sakit kepalanya, tiba-tiba saja seluruh perasaan itu hadir, dan ia merasa ingin menyampaikannya ke Shani.

"Ge, ih" Shani paling tidak suka pembahasan melow begini, "ngomongin yang lain aja."

"Tuh kan, tadi aja maksa aku buat ngomong apa yang mau aku omongin, giliran sekarang aku bilang kamunya ga mau denger," protes Gracia, matanya kembali ia buka.

Kini giliran Shani yang tertawa pelan, lucu melihat Gracia yang memasang ekspresi ngambek, "Kan kirain kamu mau bilang apa kek gitu."

"Kamu emang ga sedih kalo kita ga tinggal disini lagi? Ga tinggal bareng-bareng lagi?" tanya Gracia. Ia kembali membelokkan pembicaraan mereka ke semula.

"Sedih lah pasti."

"Sedih kenapa?"

"Karena disini rame, kalo misal udah ga disini lagi, aku balik ke apartemen pasti langsung ngerasa sepi karena ga rame lagi," tutur Shani. Perbedaan paling besar yang akan ia rasakan adalah keramaian disini tidak akan ia dapatkan di apartemennya jika pulang nanti.

"Selain itu apa lagi?" tanya Gracia kembali. Gracia punya cara tersendiri agar Shani mau berbicara dan bercerita panjang lebar, yaitu dengan menanyainya terus menerus tiap selesai berbicara.

"Selain itu, sedih karena disini kayak udah banyak banget moment yang kita bikin bareng-bareng yang kayak kamu bilang, dari pagi sampe malem pasti ada aja kelakuan semua member, terus ga tau kapan bisa kayak gini lagi, malah mungkin ga bakal ada lagi nih yang kayak ginian, jadi pasti bakal kangen banget," terang Shani panjang lebar. Ia menatap wajah dihadapannya. Wajah pucat nan sayu itu tidak menanggapi apa-apa. Diam dengan dua mata yang terpejam, membuat Shani bingung apakah Gracia sudah kembali tertidur.

"kok kamu diem?" Gracia membuka matanya perlahan.

"Kirain kamu udah tidur lagi."

Gracia menggeleng, ia mengubah posisi tidurnya, terlentang lurus menghadap atas. Tangannya yang sejak tadi memeluk sebelah tangan Shani ia lepas untuk memijat kepalanya, "Kepala aku kayak mau pecah ci," rintihnya hampir menangis.

Shani menghidupkan satu lagi flash di hapenya kemudian bangun dan mengambil kotak obat serta botol minum Gracia diatas meja, disampingnya. "Bangun dulu minum obat."

"Tadi kan udah," ucap Gracia, ingat setelah makan tadi ia sudah menelan satu butir obat.

"Tadi buat demam, sekarang buat sakit kepala." Shani mengeluarkan satu tablet obat sakit kepala dari bungkusnya lalu membuka tutup botol minum Gracia, "Ge," panggilnya pelan karena Gracia masih berbaring.

Dengan patuh, Gracia mengangkat punggung, hal itu membuat sakit dikepalanya makin terasa karena ia bergerak. Buru-buru ia mengambil obat dan botol minum ditangan Shani, menelannya lalu kembali tidur seperti semula.

Tak berselang lama, Gracia benar-benar menangis. Sesenggukan pelan karena merasa kesakitan. Sambil tertawa Shani memeluk Gracia, tidak tega tapi juga merasa lucu, "Kamu kalo nangis kayak gini udah kayak bayi gede tau ga."

"Jahat banget malah diketawain," ucap Gracia disela tangisnya, membuat Shani makin tertawa.

"Sakit banget ya?" tanya Shani setelah tawanya reda. Kini ia benar-benar merasa tidak tega dan amat khawatir.

"Banget," Gracia mengangkat pandangannya, menatap Shani dengan wajah penuh air mata, lalu menunjuk bagian kepalanya yang sakit kepada Shani, "beneran kayak mau meledak ci."

Shani tidak salah, pemandangan Gracia yang mengadu seperti ini benar-benar membuatnya seperti seorang bayi, "Masih mau main ujan lagi ga kalo diajakin?" tanya Shani sambil memijat pelan bagian kepala yang Gracia tunjuk tadi.

Gracia menurunkan pandangan mendengar pertanyaan itu dan berhenti menatap Shani, "Udah diketawain, sekarang diomelin," ucapnya setengah merengek dengan air mata yang masih setia mengalir di kedua pipinya.

"Kan nanya doang, kali aja masih mau."

"Emang boleh?" tanya Gracia polos.

"Bolehlah, tapi kalo sakit kamu pindah tidur dibawah," tandas Shani sambil tersenyum.

Gracia menggeleng pelan. Tau bahwa itu adalah larangan mutlak Shani yang tidak bisa ia bantah lagi, "Iya iya, ga bakal lagi."
-----
Sepanjang malam, dengan diiringi oleh suara hujan yang kembali turun amat deras membasahi bumi, juga listrik yang tak kunjung menyala, Shani dengan setia menunggu Gracia yang sakit. Ia akan ikut tertidur jika Gracia jatuh tertidur, dan akan kembali bangun jika Gracia mulai gelisah dalam tidur.

Jam tidur Shani mau tidak mau menjadi berantakan, bahkan selama dua hari kedepan. Alasannya karena Gracia benar-benar tidak bisa tidur dengan nyenyak saat malam selama sakit dan hal itu membuat Shani ikut tidak tidur juga demi menjaga dan merawat Gracia. Sebenarnya para member apalagi Desy dan Indy, sudah menawarkan diri untuk menjaga Gracia ketika malam agar Shani bisa tidur, namun Shani menolak dengan baik. Bukan karena ia tidak butuh bantuan para membernya, tapi lebih kepada ia tetap tidak akan tidur dengan tenang jika tau Gracia juga tidak tidur dengan tenang dan nyenyak.

Sebagai gantinya, semua member selama dua hari berturut-turut bergantian masuk ke kamar dua, menjenguk sekaligus melepas kangen kepada GreShan karena dua orang itu menjadi sangat jarang hadir ditengah mereka, bahkan saat makan siang dan makan malam sekalipun, dimana seharusnya semua member harus duduk bersama dimeja makan sesuai peraturan tidak tertulis yang mereka buat bersama saat awal masuk kesini. Namun mengingat kesehatan Gracia yang tidak memungkinkan, mereka tidak masalah melihat Shani membawa makanan keatas dan makan didalam kamar, malah mereka merasa sedih karena GreShan tidak bisa bergabung bersama mereka saat makan.

"gue liat-liat kamar dua udah mulai kayak ruang kumpul nih pada disini semua," Desy mengedarkan padangannya keseluruh penjuru kamar dua. Jika dua hari kemarin member bergantian masuk, sore ini semua berkumpul disini, menyebar diseluruh tempat, mulai dari atas tempat tidur, hingga rebahan dengan posisi saling berjejer didepan jendela beralaskan selimut ntah milik kamar mana dan siapa yang membawa. Benar kata Desy, pemandangan kamar dua tak ubahnya seperti pemandangan ruang kumpul, semua ada walau semua sibuk dengan kegiatan masing-masing.

"Abis ci Shani sama ci Gre lama banget ngilangnya dari kita, kan kita kangen," ucap Muthe yang tengkurap disamping Eli, mengerjakan tugas sekolahnya untuk dikumpul besok. Disampingnya, Christy melakukan hal yang sama, mereka tidak terpengaruh walau Eli, Gita, Tasya dan Jinan menonton film disebelah mereka.

"Kenapa ga dari kemaren ya kita ngumpul disini?" Fia baru menyadari seharusnya mereka melakukan hal ini dari kemarin, memindahkan tempat kumpul ke kamar dua.

"Gue yakin bakal diusir ci Shani sih kalian kalo ngumpul disini pas ci Gre masih sakit banget," jawab Indy yang ada diatas tempat tidur GreShan, rebahan disamping Shani yang kini tertawa.

Desy yang bersandar pada dinding belakang tempat tidurnya dan Indy ikut menyaut, "Ga usah Shani, gue yang bakal ngusir kalian kalo dari kemaren udah ngumpul disini."

"Ih kenapa?" tanya Muthe tidak mengerti, "padahal kan seru kalo semua ngumpul kayak gini," terangnya lagi.

"Soalnya kita semua berisik, ga kumpul semua aja kita berisik apalagi kalo kumpul semua, ci Gre kan butuh istirahat," jawab Aya. Desy diatas kasur langsung mengangkat jempolnya tinggi-tinggi, membenarkan jawaban Aya.

Gracia dan Shani tertawa, mereka merindukan momen seperti ini yang beberapa hari kemarin sempat tidak mereka rasakan, "susah yah emang kalo jadi orang ngangenin, baru ga muncul berapa hari udah pada nyariin," ucap Gracia, bangun dari posisi tidur, lalu duduk agar bisa melihat para membernya.

"Engga sih Gre, kita kangen sama ci Shani, bukan sama kamu," balas Anin langsung dari samping Desy.

"Tau nih ci Gre pede abis," Tasya mengangkat pandangannya dari layar laptop demi bisa melihat Gracia. "orang kita kangennya sama ci Shani kok," lanjutnya lagi.

Mendengar itu, Gracia langsung menjatuhkan tubuhnya kembali dengan wajah cemberut, membuat semua member tertawa, "Sumpah lo bocah banget ci kalo kayak gitu, lebih bocah dari Christy malah," Indy tidak bisa berhenti tertawa.

"Heh" Gracia mengangkat sedikit punggungnya demi bisa melihat Indy yang ada disamping Shani.

"Aku dulu sebelum tinggal bareng kayak gini ngeliat ci Gre tuh imejnya cool, apalagi semenjak potong rambut pendek, kayak auranya senior galak gitu kan," Ara disamping Anin mendadak buka suara tentang pendapatnnya terhadap sosok Gracia, "tapi semenjak disini, mendadak semuanya buyar."

Gelak tawa langsung terdengar memenuhi kamar dua. Semua orang menghentikan kegiatan mereka demi menertawakan apa yang Ara sampaikan, "ga tau ilang kemana aura kaptennya, aura coolnya," terang Ara lagi.

"Gue kira gue doang yang ngerasa kayak gitu," sambung Fia. Ia juga merasakan hal yang sama dengan Ara, kehilangan sosok cool sang kapten KIII semenjak tinggal seatap.

"Gracia tuh kalo ga ada Shani dan lagi di theater dia emang cool, berwibawa, berkharisma, tapi karna lagi seatap dan dia bareng Shani mulu jadi kalian lebih sering ngeliat dia versi anak-anak," Desy membeberkan pandangannya, tidak peduli dengan Gracia yang langsung merengek karena dikatai anak-anak.

"Gracia tuh bocahnya Shani," tambah Beby.

"ci Gre kayak lagi ga ada disini dikatain kayak gitu," sambung Chika dari sebelah Aya.

"Emang aku bocah ya ci?" Gracia bertanya ke Shani. Ia menolak percaya yang lain, yang ingin ia dengar dan ia percaya hanya ucapan Shani.

Shani menggeleng, "Engga-"

"Tuh!" potong Gracia langsung dengan semangat karena merasa ada yang bela.

"Kamu tuh batita Ge, bukan bocah," sambung Shani lagi yang ternyata belum menyelesaikan ucapannya, membuat gelak tawa kembali memenuhi kamar dua, dan membuat Gracia kembali memanyunkan bibir.

"Kangen banget ngisengin GreShan kayak gini," ucap Tasya disela tawa, "lo sembuh dong ci, biar kita bisa main bareng lagi."

"Iya nih cepetan sembuh dong ci," suat Christy.

"Katanya tadi ga kangen, sekarang pada nyuruh buruan sembuh," cibir Gracia.

"Maksudnya kalo kamu sembuh kan ci Shani jadi bisa main sama kita lagi, gitu Gre, bukan karena kita kangen kamu," balas Anin, sekali lagi menjatuhkan jawaban Gracia.

"Ci, kamu jangan main sama mereka ya, mereka jahat," adu Gracia, yang langsung dijawab oleh tawa renyah dan pelukan oleh Shani karena gemas melihat wajah Gracia.

"Gracia tuh udah sembuh sebenernya, sekarang tinggal manjanya aja yang masih tinggal," ucap Desy karena melihat Shani memeluk Gracia.

"Biasa bocilnya Shani," sambung Beby. Gracia tertawa tidak peduli, ia malah balas memeluk Shani.

"Indy apa ga mau turun aja?" tanya Chika.

"Indy lo persis kayak orang ketiga disitu," jelas Aya yang melihat keatas tempat tidur GreShan.

Indy menggeleng, alih-alih menyingkir dan menjauh dari GreShan, ia memilih memeluk Shani dari belakang. Tiga orang itu tertawa diatas tempat tidur. Melihat itu, Anin pindah ke tempat tidur GreShan, ikut bergabung kedalam pelukan, disusul Desy, kemudian Ara, hingga akhirnya semua member ikut bergabung kedalam pelukan lalu tertawa bersama.

Sore di kamar dua sedikit berbeda dari biasanya. Para penghuni dorm memindahkan kebersamaan yang hangat dan gelak tawa penuh kebahagiaan kedalamnya, membuat dua diantara empat orang penghuninya merasa amat bersyukur karena dikelilingi oleh orang-orang seperti member mereka.
-----

-----
Akhirnya up setelah hampir sebulan 🥺🥺🥺
Tapi kok Gracia udah ngelantur gimana perasaannya nanti kalo selesai dari dorm? apakah dia spill kalo KIII seAtap ga lama lagi bakal selesai? 🤔
Mari kita tunggu kebenarannya sampai cerita ini habis.
Btw, ini masih ada yang baca kan? Masih kan? Kan pembaca halogresan tersabar dan terbaik 🥺
Makasih loh udah mau nunggu loh, udah mau baca, vote dan komentar, makasih banget loh hehe
-----

KIII SE-ATAPTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang