Serendipity
Usiaku 30 tahun, high quality jomblo, lalu tiba-tiba diminta pertanggungjawaban seorang Duren alias Duda keren?
Aku kudu eotteoke miskah?
-Kayla, kacung corporate, 30 Tahun-
#1-romansakomedi (020821)
#1- fiksipopuler (110821)
Cover : Ay...
Yeaaa akhirnya Up, setelah sebelumnya drama unpublish 🤭🤭. Pengennya ngasih kejutan di malam takbiran, eh gak sengaja kepencet publish waktu edit, baru sadar setelah selesai nyiapin buka puasa 😂 jadi sori kalau sempat gak bisa buka part 16 yaaa
Sekarang, happy reading, THR lebarannya Serendipity up, padahal sebelumnya sempat kena block writer, alhamdulillah bisa teratasi.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Happy reading yaaaa... Part spesial untuk kalian semua. ❤️❤️❤️
------------------
Berumah tangga ada seninya. Memutuskan menikah, seperti memutuskan naik wahana roller coaster, sensasinya tentu bikin ajojing, kadang butuh teriakan, kadang tertawa menghiasi setiap putaran rel yang ibarat putaran kehidupan pernikahan.
Butuh komitmen, butuh safety belt, supaya bisa bertahan dan kuat menjalaninya. Seperti itu pula yang dialami Segara, dia pernah jatuh saat naik roller coaster pertama, sekarang dia ingin kembali naik roller coaster kedua….
"Apa sih ini?" kuhela napas dalam-dalam, jemariku berhenti mengetik di latar 12 inch, "gini amat sih bahasaku, kaku." berkacak pinggang, kembali kubaca ulang narasi yang kusiapkan untuk part selanjutnya dari cerita si duda mencari cinta. Sudah lama sekali nggak update, membuat readers kesayanganku meronta-ronta penuh damba. Halah.
Aku berdiri dari kursi kitchen island, hari Sabtu, tadi selepas subuh, tiba-tiba muncul ide, seharusnya kubuat catatan kecil supaya nggak hilang dari ingatan, tapi belum kesampaian, Bara justru mengajak ngobrol sambil nonton kajian pagi di TV.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Dia bersandar di sofa, dengan mata yang terlihat berat diajak kompromi. Semalam Bara pulang larut, meeting evaluasi akhir bulan dengan kolektor dan surveyor kantor, tentang target penanganan kredit macet.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Wajahnya kusut semalam, kemejanya sudah tak lagi rapi di dalam celana slimfitnya, dasinya udah gak ada, kancingnya dua atas sudah dilepas. Haduuh, penampilannya yang berantakan justru terlihat seksi, untung kolektor dan surveyor kantor laki semua, nggak rela deh kalau cewek-cewek kantor liat dia kayak gitu.
Pfth. Kayla-Kayla, kamu takut suamimu disleding anak kantor? Berlebihan sekali. Aku mendorong kepalaku sendiri. Gara-gara nemani Bara ngobrol yang hanya bertahan lima menit saja, ideku sudah ambyar seketika, seiring Bara yang sudah hilang keperaduan.
Wajahnya terlihat sangat lelah. Padahal niatnya mengajak ngobrol supaya nggak tidur setelah subuh, rupanya dia kalah dengan staminanya yang sedang turun.
"Apa kumasukkan mantan istrinya ya? tapi konflik apaa yang mau kubuat? Ya gini nih, seharusnya bikin outline dulu biar gak gampang kena block writer." aku mengomel sendiri.
Outline atau kerangka karangan seharusnya memang dibuat lebih dulu ketika ingin menulis sebuah cerita, supaya alur bisa terkendali, tidak mudah kena block writer atau mampet ide.
Tapi yach, dasar aku, kadang buat outline saja alurnya berubah, ideku bermunculan seperti petasan dan bisa berubah sewaktu-waktu. Paling suka bikin plot twist, ketika readers mulai bisa menebak jalan cerita. Seru aja bikin mereka menebak-nebak eh berakhir tak sesuai dugaan.
Aku hendak beranjak mengambil minum dari dispenser ketika dua tangan memelukku dari belakang, melingkar posesif dengan kepala yang ditelusupkan di ceruk leherku. Napasnya membuat tengkukku merinding.
"Bar, tanganmu nggak petakilan gini nggak bisa?" rupanya dia sudah bangun, aku melirik jam dinding. Astaga, sejam aku duduk di kitchen island, baru dapat dua paragraf, itupun kaku sekali. Sekarang, malah pengangguku sudah bangun. Pfth.
"Nggak bisa," jawabnya serak, terdengar malas, khas orang masih mengantuk, "aku capek, mau seperti ini dulu." dia makin melingkarkan kedua tangannya di pinggangku, "nyamannya."
Kuhela napas, ya sudahlah. Hak dia juga kan? Aku Istrinya. Sejenak kubiarkan dia seperti itu dengan kedua mata yang masih terpejam.
"Bar?"
"Mas Bara..," gumamnya pelan, "pengen denger kamu panggil aku Mas Bara."
Dahiku mengernyit, aku tak bisa melihat wajahnya yang bersembunyi di ceruk leherku. Dia sadar atau ngelindur?
"Susah ya Kay percaya lagi padaku?"
Aku mengerjap, kenapa dia tiba-tiba bertanya seperti itu?
"Aku nggak minta hakku sebagai Suami, tapi pengen denger kamu memanggilku Mas…" suaranya masih pelan dengan serak khas orang mengantuk, "Mas Bara…, seperti dulu…"
Sepertinya dia ingin manja, karena penat dengan pikirannya sendiri. Pasti sulit sekali di posisinya, tekanan dari pusat untuk mengendalikan kantor cabang supaya tidak kolaps dengan NPL atau kredit macet yang tinggi, belum lagi trauma pernikahan pertama yang bisa jadi disembunyikannya jauh dalam hati.
Tangan kananku terangkat, mengusap lembut kepalanya yang ada di ceruk leherku sebelah kiri.
"Dari tadi, kamu ngomel sendiri, lagi ngapain?" tanyanya, masih dengan langgam malas dan tak berubah dari posisinya.