33. Epilog

46.3K 2.8K 91
                                    

Seorang pria tampan berjalan membelah kerumunan di bandara dengan wajah dingin dan tatapan tajam andalannya sambil menggeret kopernya. Dia adalah Fatih.

Mata tajamnya menelisik mencari seseorang yang tengah menunggunya. Lalu manik hazel nya melihat dua orang berbeda jenis yang menyandarkan tubuhnya di mobil. Segera ia menghampiri dua orang tersebut.

"Mas Fatih!!!" Teriak salah satu dari mereka yang berjenis kelamin perempuan. Ia langsung memeluk Fatih erat yang dibalas tak kalah erat dari Fatih.

"Kangen" rengeknya manja yang membuat Fatih terkekeh.

"Mas juga" balas Fatih singkat.

Gadis itu mengerucutkan bibirnya kesal dengan balasan Fatih yang singkat. "Singkat banget. Berarti mas gak kangen sama Fatin"

Gadis yang diketahui bernama Fatin itu langsung menghampiri pemuda yang sedari tadi menatap drama mereka berdua.

"Kak. Mas Fatih gak kangen sama Fatin" adunya kepada pemuda itu yang merupakan kembarannya.

Pemuda itu menghela nafas melihat betapa menjanya gadis didepannya. "Mas Fatih bukannya gak kangen sama Fatin. Mas Fatih kan baru turun dari pesawat, pasti capek" ucapnya memberi pengertian.

Fatin berdecak kesal dan langsung masuk ke mobil, lalu menutup pintu mobil dengan keras yang membuat beberapa orang melihatnya.

"Noh, si Fatin ngambek" ledek pemuda yang bernama Fahri.

Sedangkan Fatih merotasi kan matanya dan langsung masuk menyusul adik bungsunya, meninggalkan adik pertamanya. Fahri hanya bisa bersabar dengan sifat dingin kakaknya lalu menyusul masuk ke mobil.

Fahri mulai menjalankan mobilnya, sesekali melirik Fatin yang duduk di sampingnya. Sedangkan di belakang ada Fatih yang tengah memejamkan matanya. Entah dia tertidur atau hanya menutup mata.

Fatin melirik ke belakang. Kenapa kakak pertamanya tidak peka sama sekali. Harusnya Fatih membujuknya agar tidak marah lagi kepadanya. Tapi ini, malah diam saja. Ia menyenderkan kepalanya kasar, membuat Fatih membuka matanya.

Sedangkan Fahri geleng-geleng kepala melihat tingkah adiknya yang seperti baru mengenal Fatih. Fatih memang cuek, tapi sebenarnya Fatih peduli dengan keluarganya apalagi dengan Umi dan adik bungsunya.

"Kamu masih marah?" Tanya Fatih bingung yang melihat Fatin diam. Biasanya adik bungsunya itu tidak bisa diam dan terus mengoceh.

Fatin hanya diam memejamkan mata.

Fatih sedikit mencondongkan badannya dan mengelus pipi Fatin yang ditepis oleh sang empu.

"Jangan berisik. Fatin udah tidur" ketusnya yang masih memejamkan mata.

Fatih dan Fahri saling melirik satu sama lain. Fahri mengedikkan bahunya acuh dan kembali fokus menyetir, mengabaikan Fatih yang tengah menatapnya.

Sesampainya di rumah, Fatin langsung turun dan menutup pintu mobil dengan keras. Gadis itu langsung masuk ke rumah, meninggalkan kedua kakaknya yang tengah menatapnya.

"Adek kenapa sih?" Tanya Fatih yang masih bingung.

"Kayak gak tau aja gimana adek. Adek gak suka kalau mas tadi jawabnya singkat. Tau sendiri adek kalau adek marah, ujung-ujungnya ngadu sama Umi dan Abi"

Fatih dan Fahri masuk menyusul Fatin yang sudah masuk lebih dulu. Saat masuk, Aisy datang menyambut mereka berdua dengan senyuman dan pelukan hangat.

"Assalamualaikum Umi"

"Waalaikumsalam"

"Adek ke kamar Umi?" Tanya Fahri melihat lantai dua yang merupakan kamar Fatin.

"Iya. Baru masuk mukanya udah cemberut gitu. Memangnya ada masalah apa?" Tanya Aisy penasaran.

"Biasa Umi. Kayak gak tau adek gimana" balas Fahri.

"Kamu mau pulang atau nginap disini?" Tanya Aisy kepada Fatih.

Fatih memang tinggal di rumah yang pernah ditempati Fathan dan Aisy dulu. Sedangkan Fatur tinggal di tempat Keluarga istrinya. Orangtua Fathan sudah meninggal enam tahun yang lalu.

"Nginap dulu. Fatih ke kamar adek dulu" ucapnya naik ke lantai dua.

Fatih membuka pintu kamar Fatin. Aroma khas bayi menyeruak ke Indra penciumannya dengan kamar nuansa biru pastel dan beberapa hiasan dinding yang menambah kesan bagi kamar Fatin.

Fatin yang menyadari jika Fatih masuk ke kamarnya langsung kembali fokus ke ponselnya sambil tengkurap dan memalingkan wajahnya. Fatih menghela nafas gusar. Sejujurnya, pria itu sangat lelah dan merasa pusing. Tapi melihat adik bungsunya yang marah membuatnya harus menyelesaikan masalahnya dulu.

Fatih duduk dan mensejajarkan kakinya yang lelah di ranjang. "Masih marah, hm?" Fatin masih diam.

Kemudian Fatih menangkup wajah Fatin. Menekan-nekan pipi chubby Fatin dan memencet bibirnya yang maju. "Maaf. Kalau mas jawabnya singkat. Mas bingung mau jawab apa. Mas juga kangen banget sama kamu. Jangan marah ya" ucapnya mengeluarkan senyuman tampan yang jarang ia keluarkan untuk orang lain selain Umi dan Fatin.

"Harusnya Fatin yang minta maaf. Fatin udah egois dan manja. Maafin Fatin" ucapnya yang ingin menangis. Melihat wajah tampan Fatih yang kelelahan membuat Fatin luluh.

Fatih tersenyum manis. Adik bungsunya ini memang sangat manja, cengeng dan polos.

Fatih mencium kening dan pipi Fatin berkali-kali. "Mas ke kamar kakak dulu"

Fatin mengangguk mencium pipi kakak pertamanya. "Jangan lupa mandi" cengirnya.

Fatih mengangguk dan pergi ke kamar Fatin. Selesai mandi, ia dan Fahri turun bersamaan dengan Fatin yang baru keluar. Mereka bertiga turun bersamaan dengan Fatin yang berada di tengah.

Fathan yang melihat itu tersenyum bangga menatap anak-anaknya. "Bibit unggul memang"

Mereka bertiga duduk berhadapan dengan orangtuanya. Keluarga kecil Fathan pun menikmati momen kebersamaan mereka.

Malamnya, Aisy dan Fathan tengah berbaring dengan memeluk satu sama lain dan memberi kehangatan. Fathan mengelus rambut Aisy, sedangkan Aisy menyembunyikan wajahnya di dada bidang suaminya.

"Gak kerasa anak-anak sudah besar" ucap Fathan memecah keheningan.

"Iya. Rasanya baru kemarin aku gendong mereka"

"Waktu cepat berlalu. Apalagi sekarang Gilang sudah menikah, malah udah punya anak"

Aisy terkekeh kecil. Gilang memang sudah menikah empat tahun yang lalu dan sudah dikaruniai anak yang masih berumur tiga tahun.

"Tinggal tunggu Fatih nikah, terus kita nimang cucu deh!"

.

.

.

Fatih tengah berjalan pulang. Ia baru saja selesai mengajar dan mengontrol Pesantren. Saat melewati Kobong Santriwati, ia disuguhkan dengan teriakan dan tatapan kagum. Ini sudah biasa baginya dengan teriakan alay seperti itu.

Gus Fatih gantengnya keterlaluan

Nikmat mana yang engkau dustakan

Alay banget sih kalian

Makin hari makin ganteng

Fatih mengabaikan teriakan Santriwati. Mata tajamnya menatap seorang gadis yang memakai rok pliskit berwarna abu-abu dengan kaos panjang kebesaran berwarna pastel dan kerudung panjang berwarna abu-abu pula. Serta topi di kepalanya yang menambah kesan tersendiri baginya.

Dari gayanya dan cara berjalannya, ia sudah bisa menebak jika gadis itu adalah anak kota. Apalagi pendengarannya yang menangkap gadis itu berbicara dengan bahasa gaul khas Jakarta.

Fatih menatap gadis itu intens dan sebuah senyuman tipis terbit di wajah tampannya. Untung saja tidak ada orang yang melihatnya. Lalu ia kembali melanjutkan langkahnya.

.

.

.

Hihihi

Gus & Ning udah tamat

Untuk Squel nya aku update besok

Assalamualaikum

GUS & NING (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang