3. Sakha, dan semua tanggung jawabnya.

13 3 1
                                    

Pulang dengan otak dan tubuh yang lelah di sore hari membuat mood Sakha buruk. Apalagi melihat setumpuk cucian yang belum dijemur dan mendengar seruan – seruan Jenan yang sedang bermain game di kamarnya.

"Bang Jenandra!"Sakha berseru, memanggil. Namun tidak ada jawaban dari Jenan, justru terdengar suara tawanya.

"Budek dia bang kalo lagi nge – game, kaya' gatau aja lu"celetuk Eja yang baru saja keluar dari dapur dengan sekaleng softdrink dalam genggamannya.

"Ja, jemur baju sana"titah Sakha, menghempaskan tubuhnya di atas sofa. Menghela nafas panjang, lelah.

"Elu aja Kha, gua ada tugas"ujar Eja sembari berjalan menaiki tangga. Dinilai dari nada bicaranya, dia benar-benar ada tugas – bukan hanya sekedar bualan.

"Wira!"Sakha berteriak, memanggil mangsa lain

"Gua udah nyapu sama nyuci piring, kak!"Wira balas berteriak dari dalam kamarnya

"Panggilin Bang Je dek, suruh jemur! Kaki gua masih pegel ini!"seru Sakha. Hening beberapa saat sebelum akhirnya Wira berjalan menuju tangga, berdiri di anak tangga paling atas.

"Ngeri, kak. Disemprot gua. Elu aja ya"ujar Wira sembari nyengir, lantas balik badan dan kembali ke kamarnya.

Sakha memijat pelipisnya sebelum berdiri, memutuskan untuk mengerjakan pekerjaan itu sendiri. Kalau terus membujuk saudara-saudaranya, pasti bunda sudah pulang sebelum baju-baju tersebut sempat dikeluarkan dari mesin cuci.





Tepat setelah sholat isya', Sakha segera pergi ke kamar. Membaringkan tubuhnya yang sudah memberontak – pegal, pusing dengan suhu tubuh yang sedikit hangat. Akhir-akhir ini memang Sakha terlalu memaksa tubuhnya, entah untuk berfikir ataupun beraktifitas.

"Kak Sakha, kemaren lu jadi beli mie kaga?!"terdengar teriakan Dimas, entah darimana. Sakha ingin menjawab, tetapi kepalanya tidak bisa diajak kompromi. Berdenyut, sakit.

'Padahal belum ngecek laporan, belum finishing tugas kelompok, belum ngomongin hasil rapat.....' Sakha membatin, banyak sekali yang belum dia selesaikan.

'Coba gua tuh kayak Eja, gaada capek-capeknya' batin Sakha lagi, memijat kepalanya. Sakha memejamkan kedua kepalanya, mencoba untuk tidur. Tidak ada lagi yang bisa dia lakukan selain beristirahat.

"Kenapa sih...."Sakha merintih pelan, kepalanya selalu saja sakit setiap kali tubuhnya drop. Sakha tanpa sadar menjambak rambutnya sendiri dengan tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya menggenggam dan dia pukul-pukulkan ke arah tembok di sebelahnya.

"Lu kenapa sih Kha.....kenapa....."Sakha menggumam pelan, kali ini pukulannya pada tembok semakin kuat.

"Itu suara apa ya? Mengganggu mohon maaf!" terdengar teriakan dari kamar Wira, membuat Sakha tersadar dan berhenti memukul tembok kamarnya. Dia menghela nafas berat, kali ini kedua tangannya meremas rambutnya kasar, lantas menariknya.

Perlu sepuluh menit bagi Sakha untuk mengontrol rasa sakit yang menyerangnya. Dia menghela nafas panjang, kembali memejamkan kedua matanya. Mencoba untuk tidur.

Tubuhnya benar-benar lelah.

"Sakha?"bunda memanggil dengan nada lembut, membuka pintu kamar anak keduanya dengan pelan. Bunda berjalan memasuki kamar, menghampiri Sakha yang masih berbaring di atas kasur. Tidak biasanya anak itu masih tidur jam segini.

"Tuh kan, sakit"gumam bunda, menyentuh kening Sakha. Demam. Bahkan raut wajah Sakha terlihat tidak enak, sepertinya tidurnya tidak nyenyak. Bunda tersenyum kecil, menyingkirkan rambut yang jatuh ke wajah anaknya itu.

"Sakha, makasih ya sayang. Sakha udah jadi saudara yang baik, mau ngalah sama saudaranya, Sakha udah ngelakuin yang terbaik, Sakha udah jadi the best version of Sakha selama ini. Terima kasih, Sakha. Sekarang Sakha kasih reward ya buat tubuh Sakha, selamat istirahat sayangnya bunda" bunda berujar panjang lebar sembari mengompres Sakha.

Anak - anaknya BundaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang