BAB 5
Inong DiterimaSetelah Bu Ani memperkenalkan Inong dengan Jessy dan Ferdi, Inong langsung bergegas menghampiri keduanya dan mencium tangan calon majikannya bergantian. Inong terlihat percaya diri berada diantara mereka. Inong nampak yakin kalau dirinya akan diterima kerja oleh keluarga itu.
“Sebelum kerja disini, apa kamu pernah bekerja sebelumnya, Nong?” tanya Jessy sambil menyelidik calon pembantu barunya.
“Belum pernah Bu, saya sebelumnya hanya tinggal di panti asuhan. Karena orang tua saya tidak mampu mengurus saya dan adik saya,” jawab Inong dengan lancar.
“Lalu, apa kamu bisa mengurus anak balita? Sedangkan usia kamu masih muda begini, karena nanti di rumah saya, kamu hanya tinggal berdua dengan Frita, selama kami bekerja,” ungkap Jessy kembali sambil menatap Inong dengan lekat.
Namun, Inong mengalihkan pandangannya dari tatapannya, kemudian menjawab kalau dirinya sanggup. Dia menjelaskan, kalau dirinya sudah terbiasa mengurus adik-adiknya yang masih kecil di panti asuhan.
Karena tidak enak dengan ibu mertua, dan juga karena dirinya ingin cepat menjalankan rencananya, akhirnya Jessy menerima Inong bekerja.
Ferdi pun tampak setuju, karena ia selalu manut dengan apa yang diputuskan istrinya, selama hanya menyangkut kepentingan anaknya. Karena ia percaya, istrinya lebih mengerti dalam memberikan yang terbaik untuk anaknya.
Inong terlihat senang, karena telah diterima oleh keluarga Ferdi. Dirinya langsung mengucapkan terimakasih berkali-kali kepada Bu Ani, Ferdi, dan Jessy.
Dan mereka langsung melakukan kesepakatan tentang upah yang akan diberikan untuk Inong, lalu menyuruhnya memulai bekerja hari Sabtu nanti, di saat Jessy akan pulang ke rumah orang tuanya.
Karena di rumah orang tuanya, ia telah memiliki perabot rumah tangga yang lengkap, yang ia kumpulkan dari sebelum menikah dengan Ferdi. Sehingga ketika pindahan nanti, ia tidak perlu memikirkan untuk membeli perlengkapan rumah tangga lagi.***
(POV Jessy)
Pagi ini, aku kembali merapihkan baju yang akan kami bawa pindahan nanti, hanya cukup dua tas ransel, baju kami sudah terangkut semua. Sebagian bajuku yang lain, berada di kamarku yang ada di rumah orang tuaku.
Setelah merasa sudah rapih, aku keluar dari kamar dan langsung melihat Inong, yang sudah berada di ruang tamu ditemani oleh kedua mertuaku, di bawah kakinya ada sebuah tas besar, yang sepertinya tas Inong yang akan dibawa olehnya.
“Sudah selesai semuanya, Jess? Kalau sudah, langsung pesan taxi online saja, biar kamu, Frita, dan Inong naik taxi online, dan Ferdi yang bawa motornya,” ucap Uti sambil mengambil Frita dari gendonganku dan menciuminya berkali-kali.
“Besok, kalau kalian jadi pindah segera kabari kami, yah. Nanti kami akan menyusul ke rumah orang tuamu, untuk mengantar kalian pindah,” ucap Akung kepada kami, sembari mengusap kepalaku.
Kebiasaan Akung memang seperti itu, walau kami tidak pernah terlihat sejalan, tapi ia sering menunjukan rasa sayangnya kepadaku.
“Baik, Akung. Nanti malam kami kabari, kalau besok jadi pindahnya. Bang Ferdi juga sudah memesan taxi nya, kok, tinggal menunggu datang saja,” jawabku sambil menyuruh Frita untuk segera berpamitan, “Ayo Frita, pamit sama Akung dan Uti!”
Tidak lama taxi yang dipesan suamiku sudah terpakir di depan pagar. Kami langsung segera berpamitan, begitu pun Inong. Wajah Akung dan Uti terlihat sedih, menahan air matanya.
Kak Feri memberikan wejangan kepada Bang Ferdi agar selalu dewasa dalam mengatasi permasalahan rumah tangga, dan jangan segan-segan untuk meminta bantuan bila butuh sesuatu.
Fani tampak sedih dan tak henti menciumi dan mencubiti Frita, karena selama ini, ia juga sering ikut menjaga Frita bila Uti sedang sibuk dan kerepotan.
Selepas semuanya sudah berpamitan, kami segera masuk ke dalam mobil dan berangkat ke rumah orang tuaku.
***
“Assalamu’alaikum Omaa, Akiii!” teriakku ketika membuka pintu mobil. Kedua orang tuaku memang selalu berada di teras rumahnya bila pagi hari, menikmati masa tua mereka, dengan hidangan susu dan camilan.
Mereka tidak langsung menjawab, mungkin karena heran, tidak biasanya aku datang menggunakan taxi. Ditambah ada Inong yang ikut keluar dari dalam mobil, bikin mereka malah tambah bingung.
“Wa’alaikum salam. Kok, tumben naik taxi. Loh, ini siapa? Kenapa bawa-bawaan banyak begini, kamu diusir?” tanya Oma sambil tersenyum, mencandaiku.
Ibuku memang murah senyum dan ramah, dalam keadaan apapun ia selalu bicara sambil tersenyum. Jarang sekali terlihat marah di wajahnya yang sudah berkeriput.
“Nggak, Oma. Nanti aku jelasin di dalam. Ini, tolong gendong dulu Fritanya! Jessy mau bayar taxi nya,” ucapku sambil menyerahkan Frita kepelukan Oma, sedangkan Inong sibuk menuruni tas-tas dari dalam bagasi.
Terlihat Bang Ferdi juga sudah sampai, dan langsung ikut membantu Inong mengangkati tas ke dalam.
Setelah kami sudah berkumpul di ruang tamu, aku memperkenalkan Inong kepada orang tuaku, dan menjelaskan apa yang sudah menjadi rencana kami.
Kedua orang tuaku menyambut rencanaku dengan senang, sedari kecil aku memang diajarkan untuk mandiri di keluarga ini, jadi saat aku ingin berpisah dari mereka, tidak ada yang perlu dikagetkan lagi.
Namun, ketika melihat Inong, seperti ada yang mengganjal di raut wajah Oma, aku dapat merasakannya sama sepertiku.
Inong gadis yang terlihat lugu, model jilbab yang dikenakan pun masih seperti anak-anak panti yang sopan dan rapi, tidak mengikuti trend fashion ABG jaman sekarang.
Namun, entah mengapa aku merasa wajahnya tidak sesuai dengan karakternya. Aku berpikir, apa ibuku juga memikirkan hal yang sama denganku.
Oma mempersilahkan Inong untuk istirahat di kamar kosong yang tersedia, di rumah ini ada empat kamar tidur. Satu kamar tidurku, dengan perabot yang lengkap, ada TV, Kulkas, buffet, lemari, dispenser, dan ranjang besi. Lalu disebelahnya lagi kamar Mas Ardi, dan satu lagi kamar orang tuaku, serta kamar tamu yang berada di depan kamar mas Ardi.
Di rumah orang tuaku sangat berbeda dengan rumah mertuaku. Bila di rumah mertua makan dan nonton tv selalu dilakukan bersama, disini semua aktivitas dilakukan di kamar masing-masing. Maka tak heran bila di rumah ini, setiap kamar pasti ada TV, DVD, Kulkas, bahkan sampai setrika baju dilakukan di kamar masing-masing.
Setelah mengantar Inong, Oma langsung ke kamarku. Wajahnya terlihat seperti ingin membicarakan hal yang sangat penting.
“Jess, Ibu boleh kasih pendapat tidak?” ucap Oma dengan suara pelan sekali. Hampir setengah berbisik, seperti mau bicara rahasia saja.
“Bicara apa Oma, silahkan saja,” jawabku sambil merapihkan pakaian.
“Kalau menurut Ibu, lebih baik kamu jangan pindah besok. Biar pembantu kamu belajar dulu di rumah ini selama seminggu. Inong itu masih terlalu muda, biar dia belajar dulu sama Ibu, walau ia bilang berpengalaman, tetap saja Ibu kurang yakin,” terangnya masih dengan nada setengah berbisik kepadaku.
Aku berpikir betul juga saran dari Oma, secara ibuku adalah keturunan bangsawan. Oma pernah bercerita ketika kecil ia tinggal bersama eyangnya yang keturunan raja, dan mempunyai banyak pelayan. Pastinya Oma lebih mengerti untuk urusan seperti ini, akhirnya aku menyetujui pendapat Oma.
Suamiku pun ternyata tidak keberatan dengan pendapat Oma, lagian memang minggu ini jatah kami menginap di rumah orang tuaku. Lalu aku segera menghubungi Akung, untuk menyampaikan pendapat Oma. Mereka pun merespon dengan baik, karena memang mereka menginginkan yang terbaik untuk cucunya.
***
Next, penasaran dengan si Inong...
Baca terus yah ceritaku, jangan lupa Follow, subscribe dan like n coment, Terima kasih 😘
KAMU SEDANG MEMBACA
Pembantu Kok, Gitu?
General FictionSeorang wanita karir, yang membutuhkan ART untuk mengurus anaknya, namun harus menghadapi berbagai macam karakter pembantu yang didapatnya