Prologue

301 66 113
                                    

Fiora tidak ingat jelas, kapan pertemuan pertamanya dengan cowok bernama Junio Ragardi Dirgantara itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Fiora tidak ingat jelas, kapan pertemuan pertamanya dengan cowok bernama Junio Ragardi Dirgantara itu. Cowok sejuta pesona yang menjadi idaman hampir seluruh murid perempuan SMAnya. Awalnya Fiora hanya mengenal nama Raga sebagai nation's crush para kaum hawa, namun ada satu kejadian yang membuatnya memandang seorang Raga sedikit berbeda. Yang jelas hanya butuh 3 kali pertemuan untuk bisa menjatuhkan hatinya pada sosok kapten basket sekolah itu.

Di sebuah sore di bulan Januari. Fiora berlari menembus derasnya hujan dari sekolahnya menuju halte yang berada tepat di seberang sekolah. Jemarinya terangkat menyisir rambut yang lepek akibat cipratan hujan. Hawa dingin menusuk kulit yang hanya berbalut seragam sekolah yang tipis. Tubuhnya sedikit bergetar kedinginan. Tangannya yang bebas terangkat memeluk tubuhnya sediri.

Matanya menyisir kendaraan yang lewat, berharap ada mobil fortuner hitam berhenti di depannya. Ray, ayah Fiora sudah menelepon 10 menit yang lalu, berpesan akan menjemput. Selagi matanya bergerak menatap jalanan, tak sengaja tatapannya jatuh pada seorang cowok yang tengah berjongkok di trotoar seberang. Cowok itu jelas tengah membuka payung hitam, namun kenapa dia membiarkan dirinya sendiri kehujanan?

Mata Fiora menyipit seolah memperjelas adegan yang menarik perhatiannya itu. Samar-samar terlihat seekor kucing liar yang tengah makan sambil berteduh di bawah payung cowok itu. Wajah cowok itu nampak tidak asing baginya. Ah! Cowok yang tengah memegang payung itu Raga, si kapten basket yang sangat populer di sekolahnya.

Di pertemuan kedua, berlatarkan di sebuah taman samping sekolah yang agak sepi. Fiora baru saja pulang dari kantin seusai membeli kopi kalengan untuk meredakan kantuknya akibat begadang tadi malam. Tidak hanya kopi, ia juga membeli roti coklat pesanan Dira, teman sebangkunya. Langkahnya terhenti ketika melewati koridor dekat taman. Sebuah suara tangisan anak kucing menyita perhatiannya. Kepalanya tertoleh menyisiri area taman yang tampak kosong. Dengan di liputi rasa penasaran, Fiora akhirnya menginjakkan kakinya di tanah berumput itu.

Ia berkeliling area taman sambil mengeong, berharap anak kucing itu muncul dengan sendirinya. Tidak perlu waktu lama, Fiora berhasil menemukan anak kucing kurus yang berlari masuk ke bawah tumpukan kursi kayu yang sudah tak terpakai. Dia mendekati anak kucing itu dengan hati-hati dan sebisa mungkin tidak menimbulkan suara berisik. Semakin Fiora mendekat, anak kucing itu semakin berlari masuk, bersembunyi di bawah tumpukan kursi. Tubuh kurus kucing itu membuatnya iba. Sontak ia langsung membuka bungkus roti coklat titipan Dira. Fiora akan membelinya lagi di kantin nanti.

Dia berjongkok agak jauh dari tumpukan kursi agar anak kucing itu tidak merasa terancam. Tangannya bergerak menyobek roti kemudian memberikannya pada anak kucing malang itu. Perlu sedikit waktu sebelum akhirnya dengan perlahan anak kucing itu mendekati roti yang di berikan Fiora. Menggigit dengan mulut kecilnya, kemudian membawa roti itu masuk ke kolong kursi. Anak kucing itu memakan rotinya dengan rakus, membuat hati Fiora teriris membayangkan perut kecil yang kelaparan itu entah sejak kapan.

The OrdinaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang