Sedikit bahagia mendengar kesepakatan dan suatu impian yang cukup nyata di depan mata karena aku dan Fina memiliki rekan dosen yang menjanjikan, namun aku tak begitu mengerti sindiran Prof perihal Universitas yang dikatakan terisolasi tersebut.
Sebenarnya, aku tak begitu memikirkannya karena aku sudah nyaman dengan keadaan ini, namun selintas terbesit dibenakku bahwa aku yakin ada alasan besar dibalik terisolasinya Universitasku ini, Universitas Kungu.
Ah, lagi-lagi hujan datang menghantam bumi, aromanya selalu membuatku kagum dan menusuk dalam-dalam hatiku, sedikit menggangku pikiranku perihal rahasia yang disindir oleh dosenku.
Memang wajar bulan Januari 2031 ini dominan hujannya daripada teriknya. Kukatakan dominan karena di tahun ini cuaca sangat sulit diprediksi, bahkan oleh search engine gugel sekalipun.
“Baik semuanya, kita bubar, minggu depan saya siapkan tiket perjalanan kalian untuk meneliti selama 2 bulan di berbagai daerah yang sudah ditentukan sebagai sampel acak kita, sekian dan semangat!” Kata Prof. Yusri menyemangati.
Saatnya tiba untuk berkeliling Indonesia, dan Bibiku, sangat khawatir. Aku tak tega meninggalkannya, ia yang merawatku selama ini, seketika menangis karena kusakiti dengan cara meninggalkannya untuk beberapa waktu lamanya. Tak terasa air mataku ingin kukeluarkan.
Tapi tidak! Gengsi sekali diriku, pun aku ingin menguatkan mereka agar tak sedih dan yakin untuk melepaskanku sementara waktu. Dan akhirnya ucapan “Jaga diri baik-baik” pun terucap ikhlas oleh bibi dan pamanku.
Tidak! Aku tak boleh menangis, aku ingat pesan nenek bahwa aku mesti siap pada penderitaan untuk sebuah impian, aku mesti siap berkorban untuk sebuah impian, ada harga yang harus dibayar dalam sebuah kebahagiaan! Aku janji Nek, akan memenuhi kutukanmu untuk menjelajahi luasnya Indonesia tercinta!
Sudah lama kuperhatikan Beni tak menyapaku, aku hampir lupa bahwa aku memiliki kontaknya di Whatsappku. Kucoba kontak, mungkin akan mendapat pesan perpisahan hangat sebelum ku berangkat ke Jawa Timur sebagai destinasi penelitian pertama yang kujelahi.
“Ben, sebentar lagi aku pergi ke Jawa Timur nih, nggak kangen lu?” Pesan itu hanya ceklis satu, menandakan belum diterima pesanku oleh ponselnya.
Mungkin ia sedang sibuk, mengingat ia waktu itu menolak ajakanku bergabung dalam tim penelitian dikarenakan dia memiliki agenda.
“Baik rekan-rekan, ini tiket untuk kalian masing-masing silahkan duduk sesuai nomor yang tertera pada tiket ya, kita akan turun di stasiun Mojokerto, Provinsi Jawa Timur sekitar jam 03.00 pagi esok hari.” Kata Prof. Yusri menginstruksikan.
“Pak Yusri, ini saya misah sama anak-anak dan bapak ya?” Tanya Bu Rani
“Iya Bu, kereta hari ini cukup padat, jadi saya hanya berkesempatan dapat tiket dengan nomor tersebut.”
Kereta pun datang, mulai kuamati tiket yang kubawa dan aku mulai masuk ke dalam kereta. Bangku dalam kereta dua-dua ternyata, di tahun ini kereta belum mengalami banyak perubahan dibanding 10 tahun yang lalu, hanya petugas kebersihan dan pengantar makanan dan minumannya saja yang diganti menjadi robot-robot yang terlihat futuristik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Petrichor
AdventureAroma hujan menghantam tanah, tak diragukan lagi nikmatnya. Menusuk dalam-dalam tepat di hati sesiapa yang menghirup aromanya. Tak terkecuali Candra, seorang mahasiswa yang "dikutuk" neneknya untuk menjelajah Indonesia. Entah untuk apa, yang jelas...