Memiliki seorang kakak yang berbeda sifat itu terkadang menjengkelkan.
Kakakku adalah gadis ceria, terlalu frontal, terkadang terkesan memalukan dengan sifat konyolnya.
Sedangkan aku, gadis pendiam, terlalu hati-hati dalam berbicara dan sangat serius dalam segala hal.Kami berdua seperti hitam dan putih. Sangat berlawanan. Aku bahkan tak yakin, kalau ia dilahirkan duluan sebelum diriku.
Walau sifatku yang lebih menyukai kedamaian, tetapi sebagai manusia aku butuh teman. Dan teman pertamaku adalah kakakku sendiri.
Ia yang mengajarkanku tentang keberanian, petualangan, kerja keras, dan mental baja. Diam-diam, aku sangat iri sekaligus terkagum-kagum padanya.
Aku hanya kutu buku yang ingin dilihat keren agar orang lain mau menjadi temanku. Ya, mereka mendekat lalu pergi. Sebatas memanfaatkan pikiranku yang terlalu lugu.
Berbanding terbalik dariku. Kakakku memiliki banyak teman. Perempuan atau laki-laki, adik kelas atau teman seangkatan, mereka semua senang berteman dengannya.
Walau iri, aku hanya bisa tersenyum. Ikut bahagia dengan kebahagiaannya.
Kakakku selalu ada di sisiku. Suka maupun duka, asmara maupun patah cinta, kami selalu bersama.
Kakakku adalah pembicara sekaligus motivator terbaik bagiku. Dan aku selalu berusaha menjadi pendengar terbaik pula.
Sedekat apa pun aku dengannya, tetap saja kami bersikeras menutupi identitas kami sebagai kakak-adik.
Alasannya sangat konyol ku rasa, tetapi ini dianggap serius oleh kakakku.
Perbedaan warna kulit, bentuk badan dan sifat, itulah yang membuat kami tak nyaman saat teman-teman, maupun guru mengetahuinya.
Aku selalu dibilang 'Kakak', padahal aku adiknya. Dan kakakku selalu dibanding-bandingkan dengan sifat dan warna kulitku.
Aku akui, dia cantik dengan kulit sawo matang khasnya, tetapi ia tidak terlalu percaya diri. Ia bilang, selama masih ada garis keturunan kami yang memiliki warna kulit putih, maka ada harapan pula untuk ia jadi sama seprtiku. Aku menggeleng heran saat ia berkata demikian.
Lalu, bentuk badanku yang lebih berisi daripadanya, kerap kali diduga sebagai anak sulung. Aku sedikit—ah, tidak. Sangat tersinggung dengan ucapan manusia minus akhlak itu. Tidak sopan mengkritik berat badan perempuan!
Tetapi, malam ini aku menemukan hal terburuk dalam hubungan kakak adik ini.
Kakak sepupuku menikah. Ia terlihat cantik dengan balutan gaun putih. Kebahagiaan aku lihat tak luput dari wajahnya yang menawan.
Seketika, aku teringat kakak.
Perlahan, aku sadar. Usia kami bukan lagi cocok dengan permainan petak umpet. Kami akan menjadi seorang perempuan dewasa dan menikah dengan jodoh yang telah ditentukan oleh Sang Pencipta.
Bagaimana hubungan persaudaraan kami setelah itu?
Tidak ada yang menjahiliku dengan sikap aneh bin ajaib miliknya. Dan tak ada lagi seseorang yang akan aku beri ceramah dadakan.
Semua akan berubah dan itu membuat air mata menitik seketika.
Aku segera menghapusnya dengan ibu jari. Aku sangat merindukan kakak.
Mungkin ini saatnya untuk menjadi adik yang baik. Menghabiskan banyak waktu untuk kakakku satu-satunya.
Agar kelak, meski kami akan berpisah, tetapi cerita tentang kenangan selalu terucap dari mulut.
Yah, kakak. Adikmu ingin menerjang, memberi pelukan hangat untuk kali ini saja. Menenangkan hati ini agar kelak bisa mengikhlaskan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Potongan Memori
Short StoryHanya mengikuti tantangan konsisten menulis selama 30 hari berturut-turut. Kumpulan cerpen biasa yang menghadirkan tokoh-tokoh yang harus menemukan potongan memori untuk berdamai dengan masa lalu, atau pun mencari sesuatu di masa depan.