0.46

1.6K 239 29
                                    

Taeyeon membuka pintu kamar putri bungsunya perlahan. Di sana ia bisa melihat Yeri duduk di sisi tempat tidur seraya menggenggam sebuah benda. Taeyeon ikut duduk di sebelah Yeri, dan ketika itu ia bisa menangkap keterkejutan di wajah putrinya.

Yerim sedang melamun.

"Mommy panggil sejak tadi kau tidak menjawab." ucap Taeyeon.

"Maaf." lirih Yeri.

Taeyeon tersenyum, perlahan ia mengusap surai hitam Yeri. Rasanya ia sudah lama tidak melakukan itu pada Yeri, dulu hampir setiap saat Yeri akan bermanja padanya.

Pandangan Taeyeon kini jatuh pada sebuah benda di tangan Yeri. Tampak seperti gelang, Taeyeon belum pernah melihat Yeri memiliki gelang itu.

"Kau baru saja membelinya?" tanya Taeyeon seraya menunjuk gelang yang Yeri genggam.

Yeri terlihat menggeleng. Ia kembali menatap gelangnya.

"Ini pemberian Yewon."

Satu kalimat yang sukses membuat Taeyeon terkejut. Setelah sekian lama Yeri tak pernah membahas mengenai Yewon, tapi kali ini Yeri berbicara padanya tentang Yewon.

Sejak hari dimana Yeri tersadar dari komanya, dan setelah Taeyeon menjelaskan tentang apa yang terjadi pada Yewon, Yeri tak lagi menanyakan tentang Yewon. Perubahan sikap Yeri tentu menimbulkan kekhawatiran bagi keluarga Kim, Yeri berubah menjadi gadis yang pendiam dan tak peduli sekitar.

Yeri memang tak pernah membahas tentang Yewon kembali. Tapi percayalah, hatinya setiap saat tersakiti ketika mengingat semua hal tentang Yewon.

Tidak ingin membuat keadaan semakin rumit, memilih menyimpan segalanya sendiri. Tanpa sadar justru sikapnya malah semakin membuat keluarganya khawatir. Ia tidak lagi membagi segala kesedihannya pada yang lain. Ia cukup mengerti jika yang terluka tak hanya dirinya.

"Kami bertiga mendapatkannya. Yewon menyiapkannya sebagai hadiah ulang tahun kami." ucap Yeri kembali.

Taeyeon bisa melihat sedikit senyum yang terukir di wajah putrinya. Hal yang sangat jarang terlihat dari Yeri sejak keluar dari rumah sakit. Meski senyum yang terlihat sekarang tampak menyedihkan.

Perlahan Taeyeon meraih gelang itu dari telapak tangan Yeri, lalu kemudian ia memakaikannya di pergelangan tangan Yeri.

"Cantik. Yewon pasti senang kau memakainya."

Yeri menatap pergelangan tangannya yang sudah di hiasi gelang pemberian Yewon. Ia kembali tersenyum.

"Mom."

Yeri menatap sang Ibu yang juga sedang menatapnya.

"Aku ingin tau apa yang Yewon alami selama aku koma."

Taeyeon menelan salivanya susah payah, menceritakan apa yang terjadi pada Yewon sama saja dengan mengorek luka di hatinya. Mati-matian ia menutupi kesedihannya di depan suami dan ketiga anaknya. Ia tidak boleh lemah, ia harus bisa menjadi penguat untuk ketiga malaikatnya.

"Kau ingin tau?" tanya Taeyeon memastikan.

Yeri mengangguk menjawab pertanyaan Ibunya. Ia berusaha menyiapkan diri dengan segala kemungkinan buruk yang akan ia dengar. Selama ini yang ia tau Yewon pergi karna kondisinya yang semakin menurun. Dan ketika ia koma, ia sama sekali tidak tau apa saja yang terjadi pada keluarganya.

"Kanker Yewon sudah memasuki stadium akhir."

Yeri diam membeku, ia tau jika Yewon sakit. Tapi ia tak menyangka jika penyakitnya sudah separah itu.

"Dokter mengatakan harapan hidupnya kecil. Penyakit ganas itu sudah menguasai tubuh Yewon."

Taeyeon menjeda ucapannya. Rasanya ia ingin menangis kala mengingat kejadian beberapa waktu lalu di rumah sakit. Saat alat medis yang menghubungkan detak jantung Yewon berbunyi secara brutal, membuat semua orang kalang kabut di buatnya. Tubuh Yewon mulai menolak segala cairan kimia yang di suntikkan. Saat itu keputusasaan mereka begitu tampak. Dokter memberitahunya agar siap dengan segala kemungkinan buruk yang akan terjadi.

Kamu akan menyukai ini

          

"Yewon sempat sadar, kau tau siapa yang ia tanyakan saat pertama kali membuka mata?"

Taeyeon menatap Yeri, ia bisa melihat genangan air di kedua mata Yeri.

"Dia mencarimu. Saat dia bangun kau masih tertidur."

"Yerim."

Itu kata pertama yang Yewon ucapkan setelah sadar. Taeyeon kala itu tidak mampu mengucapkan apapun. Keadaan Yeri saat itu juga tidak baik-baik saja. Hingga dalam kondisi yang begitu lemah, Yewon memaksa untuk melihat Yeri.

"Dia datang dan berbicara denganmu. Yewon sangat khawatir dengan keadaanmu Yeri."

Bodoh!

Yeri pikir Yewon itu gadis bodoh. Memikirkan keadaan orang lain padahal dirinya sendiri juga tengah sakit keras.

Yewon egois!

"Mengapa Mommy membiarkannya pergi? Kak Irene pernah mengatakan padaku jika Yewon akan baik-baik saja."

Sekuat tenaga Taeyeon manahan air matanya agar tidak jatuh. Tapi bagaimanapun ia menahannya, air mata itu tetap jatuh membasahi pipinya.

"Yerim."
Taeyeon menggenggam erat tangan putri bungsunya.

"Mommy tidak bisa menahannya karna Yewon tidak ingin kembali merasakan sakit."

Yeri menunduk, bahunya bergetar karna menangis. Ia sangat ingin bertemu Yewon, ia ingin melihat saudarinya. Tapi keinginannya itu seolah hanya harapan semata. Entah kapan ia bisa bertemu Yewon kembali.

"Aku rindu Yewon Mom, aku ingin bertemu dengannya." suara Yeri terdengar memilukan.

Taeyeon hanya mampu mendekap tubuh Yeri. Mengusap punggungnya perlahan seraya membisikkan kata-kata menenangkan untuk Yeri. Taeyeon tidak tau kapan semua akan kembali membaik. Mengingat kesedihan masih sangat melekat di hati keluarganya.

"Jangan menangis, Yewon akan marah jika tau adik kesayangannya menangis."

......

Jennie melangkahkan kakinya menuju halaman belakang rumah Kim. Di sana terdapat sebuah lapangan basket yang beberapa bulan lalu di siapkan oleh Ayahnya. Itu adalah permintaan Yewon, adiknya itu mengatakan bahwa halaman rumah Kim begitu luas, tak masalah jika dibuat satu lapangan basket. Ketika itu sang Ayah langsung memenuhi permintaan Yewon.

Lapangan basket itu sudah terselesaikan, namun Yewon belum pernah menginjakkan kakinya di sana. Jennie mengambil satu bola basket. Ia menatap bola itu sejenak. Jennie baru tau jika Yewon mahir dalam bermain basket, ia pernah melihat Yewon memainkan bola basket di sekolah. Jennie pikir adiknya itu sangat hebat, pintar dalam bidang akademis, menguasai ilmu bela diri, juga pandai bermain basket. Jennie melempar asal bola itu ke arah ring. Bolanya membentur papan ring.

Sehebat apapun Yewon, dia tetap memiliki kelemahan. Dan kelemahan yang Jennie benci adalah, kenyataan jika Yewon memiliki penyakit mematikan.

Sudah hampir satu tahun tapi kesedihan itu tak kunjung hilang dari hatinya. Ia pikir ia hanya sedang bermimpi sekarang, dan ketika bangun nanti ia akan melihat Yewon di sampingnya.

Kau tidak suka melihatku menangis, tapi kau sendiri yang membuatku menangis.

Jennie duduk dengan memeluk kedua lututnya. Tidak, ia tidak menangis. Rasanya air mata sudah tak mampu mewakili perasaannya.

Seseorang terlihat berjalan lalu mengambil bola basket yang tadi Jennie lempar.

Duk

Duk

HATETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang