"A-Ald" sebut Ice pelan menatap Aldrich, mata Ice melebar.
"Lo udah tau semuanya, kan?" Aldrich menatap Ice sebentar dengan tatapan kekecewaannya, kemudian ia langsung berjalan melewati Ice begitu saja.
Ice membeku, ia ingin menangis saat itu juga. Matanya sudah berkaca kaca. Sedangkan Sea, ia sesekali menoleh ke arah Ice dan ke arah Aldrich yang lama lama menghilang ditelan jarak.
Akhirnya Ice tidak tinggal diam, ia berbalik arah kemudian berjalan menyusul Aldrich, begitu pula Sea yang akhirnya mengikuti Ice.
Ice akhirnya melihat Aldrich, ia langsung berjalan mendekatinya dan menghalangi jalannya "Ald, gue minta maaf" Aldrich berusaha menghindar, tetapi gadis itu terus saja menghalangi jalannya.
Akhirnya Aldrich berhenti menghindar "Nanti aja ngomongin masalah kita, gua cape, pengen istirahat" selesai bicara, Aldrich langsung berjalan melalui Ice begitu saja, dan saat itu lah tangisan Ice terpecahkan.
Sea yang melihat semua adegan itu pun perlahan bergerak mendekati Ice, ia menatap Ice yang kini menunduk.
Perlahan Sea membawa tubuh Ice kedalam dekapannya dan membiarkan air mata gadis itu membasahi bajunya.
~~~
Sea mengantar Ice sampai di rumah Ice, Ice serasa tidak berenergi lagi setelah Aldrich berbicara begitu padanya, ia sudah tidak berniat melakukan apapun, konsentrasinya sudah bubar semua, ia tak dapat berpikir jernih sekarang.
"Ice, gue balik dulu ya" kata Sea yang hanya dibalas oleh anggukan Ice, kemudian Ice langsung masuk ke dalam rumahnya dan langsung menuju kamarnya.
Ice merenung seharian dikamarnya, beginikah rasanya patah hati? Ternyata ini lebih sakit dibanding saat ditolak Sea.. entah kenapa, hanya beberapa kata dari Aldrich dapat membuat Ice menjadi separah ini, padahal Aldrich belum saja mengucapkan kata 'putus' dengan Ice.
"Lo udah tau semuanya, kan?"
Perkataan itu terus saja menghantui benak Ice sekarang, Ice mengingat tatapan yang diberikan Aldrich padanya saat itu, tatapan yang sungguh menyakitkan, Ice tersenyum getir.
Gadis itu mengambil hpnya, sebenarnya ia sangat ingin menghubungi Aldrich, tetapi ia juga takut bila nanti ia harus tambah bersedih karena bisa saja Aldrich memutuskannya lewat telepon.
Setelah menimbang nimbang, akhirnya Ice menelepon Aldrich, ia menunggu panggilan tersebut diangkat oleh Aldrich tetapi pria itu tak kunjung mengangkatnya, ia malah mematikan hpnya langsung.
Ice tambah bersedih, ia tak tahu lagi harus berbuat apa, mungkin ia hanya harus bersabar untuk menemui Aldrich besok di sekolah.
~~~
Ice kini berada didepan kelasnya, ia ragu untuk melangkahkan kakinya masuk sebab Aldrich telah berada didalam.
Akhirnya ia pun melangkah masuk dengan jantungnya yang terus berdetak kencang dan tak beraturan.
Aldrich menoleh menatap Ice sebentar kemudian ia memalingkan pandangannya ke arah bukunya yang berada diatas mejanya. Ice tak tau harus berbuat apa hingga akhirnya ia meletakkan tasnya di kursinya kemudian berjalan ke bangku Aldrich.
"Ald, bisa ga si lo ngomong sesuatu sama gue, jangan diemin gue gini, gue ga ngerti maksud lo" Ice hanya ingin menangis sekarang, entah kenapa dirinya sangat lemah bila dihadapi dengan permasalahan seperti ini, matanya sudah berkaca kaca menatap Aldrich. Aldrich menoleh balik menatap Ice, pria itu telah melihat mata gadis itu yang berkaca kaca, sebenarnya ia kasihan, tetapi ia sudah terlanjur kecewa dengan gadis didepannya ini.
Aldrich berdiri dari kursinya, kemudian menarik tangan Ice dan berjalan keluar dari kelas, ia mencari tempat tersepi dari sekolah ini.
"Selesaiin masalahnya sekarang, biar bisa bebas jalanin hidup masing masing" kata Aldrich kepada Ice.
"M-masing masing? Apa maksud lo ngomong gini?" Aldrich tak menjawab, ia malah memalingkan wajahnya.
"Ald, gue minta maaf, gue janji, gue ga akan gini lagi, gue ga akan menutupi sesuatu lagi dari lo, gue janji, kasih kesempatan gue ya, gue mohon" Ice sudah tak dapat menahan tangisannya, ia telah menangis sejadi jadinya didepan Aldrich, tak peduli seberapa lemahnya dia sekarang, dia hanya ingin Aldrich memaafkannya dan kembali seperti dulu.
"Gue udah pernah ngasih kesempatan bagi lo buat ngomong, tapi lo masih memilih jalan ini, sekarang lo udah terlambat, Ice."
"Ald... hiks, hiks.." Ice terus menangis.
"Gue paling benci sama pembohong... Apalagi orang yang bohongin gue adalah orang yang paling gue... percaya" Aldrich memalingkan wajahnya, rasanya matanya telah berkaca kaca.
"Jujur aja, gue kecewa... sama lo" air mata Ice terus mengalir, kata kata Aldrich seakan menusuk nusuk hatinya, kini dadanya hanya dipenuhi rasa sesak saja. Aldrich berbalik arah, berniat berjalan dari sana, tetapi tangannya di tahan oleh Ice.
"Lo juga pernah bohongin gue, lo juga pernah hiks.. lo pernah bilang kalo Sea yang bantuin gue, padahal itu lo, kenapa lo ga anggep ini udah imbang? Hikss"
Aldrich tambah kesal mendengar Ice berbicara seperti itu, ia kembali menoleh ke arah Ice "Imbang? Dengan gue ngeboongin lo pas itu, ga ada kerugiannya sama sekali bagi lo, tapi ini, yang lo lakuin bisa ngerubah hidup gue seumur hidup, jelas beda"
"Cukup Ice, percuma lo nahan hubungan kalo yang keluar dari mulut lo gaada kebenarannya sama sekali, dari pertama gua udah berusaha percaya sama lo, tapi lo telah menghancurkan kepercayaan gue. Terkadang mungkin lo masih sayang sama Sea, makanya lo masih mau bantuin dia buat nutupin ke gue" Aldrich tersenyum getir menatap mata Ice, kemudian ia berjalan pergi dan membiarkan pegangan Ice pada tangannya terlepas begitu saja.
Tangisan Ice tambah menjadi jadi, beginikah rasa cinta? Hhh, pada akhirnya ia juga tidak dapat mempertahankan hubungan pertamanya.
Ice menghapus kasar air matanya, ia berjalan menuju kelasnya, dalam hatinya berpikir bahwa setelah ia masuk ke dalam kelas, ia sudah bertingkah seakan tak terjadi apapun, ia harus mengubur dalam dalam perasaan yang sesungguhnya sedang ia rasakan saat ini.
Ice melangkah masuk, ia langsung berjalan dan duduk di bangkunya, berusaha tak peduli dengan seisi kelas, begitu pula dengan lelaki yang baru saja berhadapan dengannya, Aldrich. Tapi ia gagal, gagal berakting bahwa ia sedang baik baik saja.
Setelah bel istirahat berbunyi, hampir semua murid keluar kelas, disana hanya tersisa Ice dan Dinary.
Ice menatap kosong kedepan, Dinary yang duduk disampingnya menyadari akan hal itu. "Ice, lo gapapa kan? Gue liat dari tadi lo diem mulu, bukan lo banget" Ice menoleh ke Dinary.
Ia tak sanggup berkata apapun, entah kenapa melihat wajah Dinary sekarang seakan membuatnya tambah ingin menangis.
"Hiks, hiks.." Ice mulai menangis lagi.
"Ice..." Dinary menatap Ice khawatir, ia perlahan memeluk Ice dari samping.
"G-gue udah putus... s-sama Aldrich"
Dinary terdiam, ia hanya memeluk Ice dalam keheningan sebab ia rasa bila ia berbicara sesuatu pada saat ini tak akan membuat keadaan membaik, jadi ia hanya bungkam dan mendengarkan semua yang ingin Ice beritahu. Pelukan yang diberikan Dinary seolah memberi energi kepada Ice, Ice melepas pelukan itu setelah beberapa menit berpelukan kemudian menghapus kasar air matanya.
"T-ternyata ini lebih sakit.... Dibanding pas ditolak sama Sea" Ice tersenyum getir. "Gue yang salah, ga seharusnya gue bohongin dia... Padahal dia udah ngasih kesempatan gue buat ngaku, tapi gue masih membuang kesempatan itu demi nyelamatin Sea... Hiks"
"Sebenernya, awalnya emang gue beneran salah, ga seharusnya gue kepo sama identitas mereka berdua, kalo hari itu gue memutuskan pulang sama Aldrich dan ga masuk ke rumah Sea, gue juga ga akan tau kenyataannya, dan semua juga ga akan gini" kata Ice seolah Dinary mengerti maksudnya.
Heyo guyys, keknya udh deket mau tamat cerita ini, moga kalian suka sampai saat ini')
-Eileen
KAMU SEDANG MEMBACA
My Twins Lovers (END)
Teen Fiction[COMPLETE] Ice Preechaya Waismay, si gadis pengarang cerita profesional, seorang secret admirer yang tak pernah dianggap oleh Sea Grissham Aidyn, pria berkharisma yang berprestasi di sekolahnya. Sampai suatu saat Ice melakukan pertukaran pelajar ke...