Hai hai selamat pagi semuanya.
Gimana nih bab 2 nya? KENTANG gak sih? Ada yang punya pengalaman yang sama kayak April dan Bram? Hihiii. Kasihan ya. Ada aja yang gangguin mereka bikin baby boy.Yang belum masukin cerita ini ke work, bolehlah ya ditambahkan biar saat up bisa masuk notif kalian.
Ting Tong
Ting TongKonsentrasiku terpecah karena bunyi bel rumah yang terus berdenting. Kudengar Mas Bram memaki-maki. Sumpah serapahnya muncul juga padahal aku jarang sekali mendengarnya berkata kasar. Aku tahu ia juga merasa kesal karena konsentrasinya buyar bahkan ambyar. Bayangin saja, saat kamu sudah berada di atas puncak tiba-tiba terpeleset jatuh, resikonya sakit dan malu bahkan ada yang mati. Sama halnya dengan kami, lagi seru-serunya mau meletus ternyata balonnya kempes.
Tak memperdulikan bel yang terus berbunyi, kubisikan kata-kata penuh desahan menggoda—usaha terakhirku untuk menyempurnakan hadiah ini—sebelum akhirnya kami berdua mendapatkan surga yang diinginkan. Rasanya mungkin tidak selepas saat malam pertama, tapi kelegaan sudah tersirat dari wajah ganteng Mas Bram. Aku bersyukur akan hal itu.
Ting Tong
Ting Tong“Shit up!” maki Mas Bram kembali dengan serampangan saat memakai celananya.
“Sayang, di kamar saja!” titahnya seolah aku barang antik yang tak boleh terlihat orang lain setelah digosok-gosok pemiliknya.
Aku yang masih ada di atas ranjang mengacak rambut dengan sebal. Perlahan kubersihkan diri lalu menyusul Mas Bram turun. Memilih pakaian yang lebih sopan dan tertutup. Alih-alih mendengarkan perintahnya, suara ribut-ribut jelas terdengar dari bawah. Bukan hanya suara Mas Bram melainkan ada suara laki-laki asing lainnya sedang beradu argumen dengan Mas Bram.
“Ada apa, Mas?” tanyaku dari belakang. Mas Bram justru mendorongku ke samping dan membuatku tertutupi oleh badannya. Tangan kekarnya menahan dari samping agar aku tak bisa terlihat. Diperlakukan seperti ini semakin membuatku penasaran.
“Itu Ibu Aprileya Saphira ya, ini Bu, ada tagihan,” sahut petugas pinjol yang tengah berusaha untuk lebih masuk ke dalam rumah. Mas Bram terus berusaha untuk melindungiku. Aku terdiam kala mencuri dengar bahwa ada tagihan atas namaku. Sedang aku tidak memiliki pesanan apa pun selain pizza viral yang langsung kubayar tunai hari ini.
“Kamu salah orang. Jangan main fitnah, ya! Istri saya tidak mungkin punya hutang!” kali ini nada bicara Mas Bram terdengar meninggi. Aku tahu, ia tengah menahan amarah juga merasa jengkel. Seharusnya petugas pinjol ini datang satu jam kemudian, mungkin akan beda cerita penyambutannya. Dia datang di saat yang tidak tepat dan tidak diharapkan.
“Loh, Pak. Saya hanya menjalankan tugas. Ini benar alamat rumah Pak Bram Widjaja dan Ibu Aprileya Saphira kan? Kompleks Nagari No.45. Sama Pak dengan alamat yang ada di tagihan ini. Lalu ini juga nomor telepon Ibu. Saya tadi juga sudah mengkonfirmasi di pos satpam depan jika benar ini alamat rumah Bu April dan Pak Bram. Jika Pak Bram tidak mau melihat. Ibu, tolonglah lihat ini. Saya juga pegawai, Pak, Bu!” cecar petugas yang mengenakan baju dengan bordir uang di sakunya. Seragam berwarna merah garis abu-abu itu terasa sangat familiar dan sering muncul pada iklan pinjol terkenal di televisi . “Saya harus mendapatkan tanda tangan Ibu April,” imbuhnya dengan memelas.
Aku yang mendengarkan dari balik punggung Mas Bram merasa simpati. Petugas itu hanya menjalankan kewajibannya. Jika ia tidak menagih dari kreditur ke kreditur yang lain otomatis ia tidak akan menerima gaji. Salah satu tugas debt collector memang suka dimaki-maki orang seperti situasi saat ini.
“Coba lihat, Mas!” secepat kilat aku membalik diri dan menghadap petugas. Terlihat Mas Bram semakin jengkel. Aku tahu Mas Bram berusaha melindungiku tapi aku juga ingin tahu bagaimana bisa tagihan online ini nyasar atas nama dan alamat yang benar. Kenapa tagihan ini tidak nyasar ke rumah artis terkenal yang mudah sekali mengeluarkan uang. Kenapa harus ke rumahku yang sejatinya aku sudah tidak lagi bekerja dan tidak berpenghasilan.
“Pril, kamu apa-apaan sih!” protes Mas Bram yang hendak mengambil paksa lembaran tagihan itu.
“Lihat dulu, Mas!” elakku.
“Ini, Bu. Ini atas nama Bu Aprileya Saphira, tertanggal sekian dan sudah akan melewati batas waktunya. Jatuh temponya tanggal sekian… 45 hari lagi terhitung dari hari ini jika tidak dilunasi maka saya terpaksa akan mengambil mobil ini, Bu.” Petugas itu menunjuk honda CRV lawas yang disayang-sayang Mas Bram di dalam garasi. Ibaratnya itu mobil adalah istri kedua Mas Bram karena selalu setia menemaninya berangkat dan pulang kantor selama lima tahun lebih. Mobil satu-satunya yang kami miliki akan jadi jaminan jika pinjaman online yang membludak mencapai empat puluh juta lebih itu tidak terbayarkan. Kali ini bukan Mas Bram yang marah, melainkan aku pun turut meledak.
“Mas, saya tidak pernah hutang online ya! Kalau ini penipuan saya bisa laporkan ke polisi loh!” tantangku.
“Saya juga tidak main fitnah, Bu. Perusahan kami bukan abal-abal, Bu. Semua ada barang buktinya. Ini surat-surat yang Ibu tanda tangani. Coba Ibu periksa dulu!” petugas pinjol kembali menyerahkan seluruh berkas yang ada di map merah. Aku dan Mas Bram meneliti dari halaman awal hingga akhir. Semua tanda tanganku dan Mas Bram adalah asli. Aku tercengang menyadari bahwa dokumentasi yang kubawa adalah asli. Pikiranku sudah kalut. Siapa yang berani memfitnahku.
“Ibu dan Bapak bawa dulu. Saya cuma butuh tanda tangan Ibu April setelah itu saya akan pergi. Masih ada waktu satu bulan lebih, Pak, Bu. Saya yakin kalian pasti bisa melunasi ini semua.” Wejangan si petugas pinjol yang sok bijak semakin menambah beban. Aku terpaksa membubuhkan tanda tangan.
Bagi sebagian orang uang 40 juta bukan hal yang sulit bahkan terbilang kecil. Namun, untukku dan Mas Bram uang dengan nominal sekian termasuk besar. Aku mengingat-ingat bahwa uang tabunganku tidak sampai setengahnya. Sepertinya aku akan memakainya dulu untuk mengurusi masalah ini. Benar kata Papa dan Mama, uang bisa dicari lagi tapi kebahagiaan tidak ada yang sanggup untuk membelinya.
Petugas pinjol sudah pergi sepuluh menit yang lalu. Kulihat Mas Bram terdiam sejak aku membubuhkan tanda tangan. Kulihat pizza viralku yang sudah dingin. Mood untuk menghabiskannya sudah lenyap. Rasa lapar pun hilang entah kemana padahal aku tadi juga sudah membawa sepiring pizza yang niatnya akan dimakan setelah olahraga di kamar.
“Mas mau pizza lagi?”
“Tidak!” tolak Mas Bram dengan dingin. Setahun ini Mas Bram sering kok mengatakan ‘tidak’ saat aku menawarinya kopi, camilan, bahkan ciuman. Namun, nada tinggi yang sekarang terucap membuat penolakan ini terasa yang paling sakit.
“Kenapa Mas bentak aku sih!” protesku lirih dan mulai terisak. Harapannya aku tidak ingin drama dengan menangis, tapi susah sekali mengendalikan diri.
“Aku nggak bentak, ya! Aku cuma bingung kenapa kamu justru tanda tangan itu? Jangan-jangan kamu benar punya hutang?” Tuduhan yang dilontarkan Mas Bram terlalu kejam. Pertama dalam pernikahan ini, aku merasa tidak punya harga diri. Sejak pagi aku sudah berusaha menjadi seorang istri yang baik. Membereskan rumah, memberikan hadiah tepat di hari ulang tahun pernikahan yang pertama, memuaskan hasrat suami, dan kini berbalik arah, aku dituduh memiliki hutang. Napasku bergemuruh, ingin rasanya meluapkan emosi tapi aku tak berani. Aku ingat petuah Mama jangan sekali-kali membentak suami.