"Ketika kamu bertemu rasa sakit,
dan merasa kehilangan.Di situlah kamu akan belajar,
akan arti sebuah keikhlasan."***
Nayma Pov
Sampai di rumah, aku segera membersihkan diri di kamar mandi. Ibu pun melakukan hal yang sama. Padahal tadi aku hanya bercerita, mau ada tamu yang datang.
"Apa ia seorang pria?"
Aku mengangguk. Aku jujur mengatakan pada ibu, Kak Hanif akan datang. Namun aku tidak memiliki ekspektasi yang tinggi tentang apa pun.
Ibu pernah mengatakan, beliau senang melihat aku bersama kak Hanif. Ibu langsung jatuh hati ketika kak Hanif datang ke rumah membawakan kursi roda.
Ketika aku ingin menolak pemberian kak Hanif, tapi ibu malah menegurku. Kata ibu, tidak baik menolak kebaikan hati seseorang. Biarlah itu jadi jalan pahala Kak Hanif untuk ibu.
Selesai mandi, aku bercermin dan menatap penampilanku sore ini. Yang tampak di sana adalah seorang perempuan yang tetap berusaha tegar, apa pun yang terjadi.
Dua pekan ini aku selalu berdo'a dan merenung. Aku tahu latar belakang keluarga Kak Hanif. Ayah dan kakaknya adalah dokter Spesialis di rumah sakit ternama. Mungkin nantinya Kak Hanif akan mengikuti jejak kakaknya.
Sudah dua tahun setelah lulus, kak Hanif bercerita kalau ia magang di Departemen Anestesi. Aku selalu bahagia mendengarnya, meski melalui line telepon ia bercerita.
Apa pun yang ia lakukan, selalu penuh semangat dan bahagia. Apakah aku menyukai dia?
Jujur aku memang menyukai kak Hanif. Sungguh menyenangkan bertemu dengan seorang pria yang tulus menyayangimu.
Tapi semua jadi berbeda sejak dua pekan lalu aku mengatakan sesuatu yang membuat ia berpikir ulang.
Sesuatu yang berharga dari diriku telah hilang. Sesuatu yang seharusnya hanya aku peruntukkan untuk suamiku kelak.
Sebelum aku berpamitan dengan guru-guru dan temanku di sekolah yang lama. Sudah banyak yang mencemoohku.
Tidak sedikit yang mengatakan aku adalah "bekasnya Kak Aidan." Mungkin saat itu benar adanya aku butuh pelarian.
Dari tempat yang telah melabelku sebagai perempuan kotor, aku pindah ke tempat baru yang belum pernah kukenal.
"Perempuan bekas Aidan" adalah gelar yang membuatku semakin terpuruk.
Terlebih lagi setelah Kak Aidan lulus, teman-teman bercerita lelaki itu sudah memiliki pacar baru.
Pacarnya lebih cantik, lebih pintar dan lebih segalanya dari aku. Lalu aku memilih pergi dan menghilang. Selama satu tahun aku menjalani terapi untuk memulihkan psikisku.
Tidak mudah untuk bangkit karena aku seperti tidak percaya diri untuk menatap masa depan.
Adzan Maghrib berkumandang. Membuyarkan lamunanku tentang masa lalu. Aku mengambil mukena di atas tempat tidur dan bersiap shalat berjama'ah bersama ibu.
Selesai shalat, ibu mengusap pipiku.
"Apa pun keputusan dokter Hanif nantinya, kamu harus ikhlas ya Nak. Seperti ibu yang belajar ikhlas melepas ayahmu pergi untuk selamanya. Itu benar-benar sangat berat kehilangan orang yang kita sayang."
Tiba-tiba saja aku menitikkan air mata. Sepertinya ibu sudah memiliki firasat terhadap jawaban Kak Hanif. Aku tidak boleh menaruh harapan terlalu tinggi pada manusia.
KAMU SEDANG MEMBACA
SELAKSA CINTA
RomanceCinta itu saling menjaga kehormatan satu sama lain hingga hari akad pernikahan tiba. Cinta itu saling menghargai segala perbedaan dan mempertemukan persamaan. Jika cinta pada akhirnya tidak menakdirkan kita bersatu di pelaminan, maka hanya kepada Al...