"Gi-gimana caranya nyebrang alam?" tanya Alan berkeringat, berharap En tidak memiliki jawaban.
"Astral projection," jawab En singkat.
Alan semakin heran menatap Enriko. "Jalan-jalan pake—wujud arwah?"
"Yups."
"En, itu cuma mitos. Enggak ada yang namanya perjalanan astral!" bantah Al.
"Tapi di sini ada. Ibu nulis tentang itu di jurnal ini. Apa cuma kebetulan?"
Al menggeleng sambil tertawa tipis. "En, ini adalah hal yang baru dan enggak mungkin seseorang bisa langsung begitu aja ngelakuin ini dipercobaan pertamanya. Ya, kalo emang astral proyeksi ini bener-bener ada."
"Kita enggak akan pernah tahu kalo enggak mencoba sama sekali." En menutup jurnalnya. "Oke, kita omongin itu nanti. Sekarang kita harus nemuin pohon bambu yang dimaksud sama anak yang tadi sebelum maghrib."
Alan tak tahu harus berkata apa lagi. Ia hanya menggaruk kepala sambil mengikuti En dari belakang. Mereka berpencar untuk mempercepat penelusuran.
***
Beberapa jam berlalu. Al kini kelelahan, ia duduk dan bersandar di sebuah batu besar yang berada di belakangnya. Sesekali ia teguk minuman kaleng yang ia simpan di kantong jaket. Di tengah lelahnya, Alan membuka gambar yang diberikan Nauval sambil memperhatikan sekelilingnya.
"Ini item-item apaan coba? Apa itu bocah salah gambar? Terus coret-coret enggak jelas buat ngehapus gambar yang jelek?" gumamnya sambil menoleh ke belakang mencari petunjuk.
Alan memicingkan mata menatap batu berwarna gelap yang menjadi sandarannya, lalu menatap gambar itu lagi, kemudian ia menoleh ke arah sekumpulan pohon bambu yang membentuk lingkaran tak beraturan di samping batu itu. "Bola hitam ... adalah batu besar ini." Dengan secepat yang ia bisa, Al berusaha untuk mencari En.
***
Kini Alan dan Enriko berdiri di depan sekumpulan pohon bambu yang berkerumun membentuk pola lingkaran tak beraturan. En mengeluarkan ponselnya, ia menatap bar sinyal yang kosong. "Orang bilang, tempat angker itu mengandung medang magnet yang bisa bikin kacau sinyal dan alat elektronik lainnya." En kini tersenyum menatap Al. "Di seluruh hutan bambu ini, ada sinyalnya, kecuali di sini. Yups, kita berhasil nemuin sarang makhluk itu."
"Berhasil, berhasil, hore ...," ledek Al menggunakan logat Dora, dengan wajah datarnya. "Ya udah, sisanya silakan diurus, tuan pemburu."
"Nanti dulu," bantah En. "Enggak ada jaminan proyeksi astral nanti bakalan berhasil, jadi seenggaknya kita berdua harus coba. Minimal ada salah satu di antara kita yang berhasil."
Al menggosok-gosok kepalanya dengan raut wajah dongkol. "Ya, ya, ya, ya! Oke."
Kini mereka berdua duduk di depan batu besar sambil membuka jurnal peninggalan Mira. "Hal pertama yang harus dilakukan untuk melakukan proyeksi astral adalah ...." En menoleh ke arah Alan yang sedang meneguk ludah. "Rileks. Kita harus dalam kondisi yang rileks."
"Oke, rileks," sahut Alan.
En mengangguk, kemudian menatap jurnal itu kembali. "Selanjutnya, memindahkan kesadaran dari tubuh fisik. Caranya adalah dengan menghipnotis atau memberikan sugesti pada diri sendiri, lalu fokus untuk memindahkan kesadaran ke dalam roh."
"Roh, oke." Alan memasang senyum bodohnya.
"Roh atau tubuh astral akan selalu terhubung dengan tubuh fisik, disambungkan oleh energi tak kasat mata yang biasa disebut 'benang perak'. Gunanya untuk membimbing roh kembali pada tubuh fisik."
KAMU SEDANG MEMBACA
Jurnal Sagara : Jejak Kegelapan
HorrorKehidupan Al dan En berubah, ketika mereka mengetahui tentang kebenaran di balik kematian orang tua mereka. Kepingan puzzle mulai tersusun lewat sebuah jurnal milik almarhum sang Ibu, yang menyeret mereka ke dalam ngerinya kegelapan yang lebih pekat...