Cookie

332 2 0
                                    

Ahn Seongmin x Ham Wonjin

Rating K+

1k+ words

.
.
.

Sorotnya yang serius juga niatnya yang kuat dalam memahami sesuatu, bisa membuat Ahn Seongmin tak henti untuk memperhatikan. Dari poni tipis yang membingkai dahi dengan apik sampai bibir lovable mengkilap karena dipoles lipgloss, sudah cukup untuk mejadi daya tarik. Dan Ahn Seongmin berhasil ditarik olehnya.

"Demikianlah presentasi dari kami, jika ada kurangnya mohon dimaafkan. Terakhir, ada yang ingin bertanya sebelum presentasi ini kami tutup?"

Mengerjap, ada tiga orang mahasiswa lainnya yang mengangkat tangan di depan mereka.

Bukan gerutuan serta pandangan penuh dengki, Ham Wonjin malah tersenyum menyambut pertanyaan sulit yang diajukan. Ia berdiri dengan tenang di samping Notulen sementara ia dibalik meja dosen, mengoperasikan laptop. Setelah tiga pertanyaan selesai diajukan, Seongmin pun beranjak menghampiri rekan setim yang lain. Turut ikut serta berkontribusi dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.

dan Seongmin lagi-lagi dibuat heran oleh sosok Ham Wonjin, sebab,

... mengapa Kakak Tingkatnya yang satu itu mengulang matkul yang satu ini? Karena sepenglihatan Seongmin, Wonjin bukan tipe orang yang suka bermalas-malasan yang sampai mempengaruhi nilainya. Mau menanyakan hal yang satu itu pun, Seongmin sungkan. Memang siapa ia? Hanya seorang Adik Tingkat yang kebetulan sekelas dalam matkul yang sama, dan kebetulan juga, ditempatkan di kelompok yang sama oleh kertas takdir. Pencegah rasisme, pembagian kelompok waktu itu menggunakan sistem arisan soalnya.

.
.
.

"Habis ini mau langsung ke kafe? Atau kelas lagi?"

Terdiam sebentar akan sapa itu, Seongmin baru menoleh ketika Wonjin sudah selesai membereskan barang-barangnya, bangkit untuk beranjak tapi masih menyempatkan diri dulu untuk melempar senyum padanya.

Seongmin juga membalas senyumnya sebelum menjawab, "Kafe." Membuka kunci layar, 11.20 a.m terpampang di sana. "Mau jam makan siang soalnya dan aku diminta ganti shift sama temen."

Wonjin mengangguk untuk itu. Bibirnya sedikit maju ketika memahami sesuatu, dan itu selalu sukses menggelitik hati Seongmin dengan sesuatu tak kasat mata. Entah apa, mungkin bulu angsa.

"Kalau gitu aku duluan, masih ada kelas. Dah, Seongmin."

Seongmin menunggu Wonjin sampai pemuda itu hilang dalam jarak pandangnya terlebih dulu sebelum membalas lambaian tadi. "Dah."

Duh, padahal ia mau mengajak makan siang bersama sebelum berangkat ke kafe.

.

Pukul tiga sore,

... lebih sedikit, saat bel yang dipasang di atas pintu kafe tempatnya bekerja kembali berdenting, untuk yang ke-sekian kalinya hari ini. Seongmin langsung memasang senyum ramah seprofesional mungkin, walau rahangnya mulai terasa kaku karena terus menerus tersenyum sejak sinag tadi. Tapi oh tapi, sepertinya senyum yang kali ini bukanlah senyum yang diusahakan, melainkan senyum alami. Lihat saja bagaimana kelopak itu melengkung sampai terlihat seperti tertutup akan kedatangan Ham Wonjin ke kafe tempatnya bekerja.

"Selamat datang."

Wonjin membalas senyumnya. Pria yang datang bersama Wonjin juga membalas senyumnya, tapi Seongmin langsung melunturkan senyum ketika matanya bersitatap dengan si Tinggi dari Fakultas Ekonomi. Tidak tahu siapa namanya, yang Seongmin tahu, pemuda itu juga temannya Wonjin.

          

Kedua pemuda berbeda tinggi itu mengambil duduk di dekat jendela. Lalu mengeluarkan peralatan tempur -laptop juga beberapa buku serta pulpen- baru si Tinggi itu beranjak ke sini, memesan sesuatu.

Ugh, Seongmin malas melayani sebenarnya. Tapi apa boleh buat, pelayan adalah Raja. Mana orang di depannya ini berbau uang seperti Mr. Crab lagi. Tidak ada alasan untuk Seongmin mengusirnya pergi.

.
.
.

Terhitung 40 menit sudah, saat kedua orang itu selesai dengan urusan, sepertinya tugas, mereka itu. Ya, Seongmin menghitung, dengan bantuan arloji di tangan.

Si Tinggi ke luar pintu kafe terlebih dulu ketika Wonjin berbelok ke arah kasir. Seongmin langsung saja pasang pose siaga ala Pegawai teladan. Biasa, pencitraan.

"Totalnya jadi 7200 Won."

Wonjin menyerahkan selembar uang 10.000 Won. Selagi menghitung kembalian, mulutnya juga menanyakan, "Habis ini masih ada kelas, Kak?"

Wonjin menyimpan kembalian itu ke dalam saku celana terlebih dulu sebelum menjawab, "Engga, tapi aku mau ke perpustakaan sih. Ngelanjutin skripsi."

Tersenyum simpul, Seongmin, "Semangat ngerjain skripsinya."

"Makasih. Kamu juga, semangat kerjanya."

Sedikit penghiburan itu berhasil menyalakan api kecil dalam diri Seongmin. Tenaganya jadi ter-charge 100% kembali.

.
.
.

Pukul delapan malam,

... lebih sedikit, saat Wonjin mendengar suara tapak langkah kaki menghampirinya di salah satu sudut perpustakaan yang sepi. Wonjin sengaja memilih tempat ini supaya ia lebih bisa berkonsentrasi. Menghentikan sebentar tarian jarinya di atas keyboard dan menoleh, ternyata itu Ahn Seongmin, adik kelasnya di kelas statistika. Wonjin tersenyum kecil, tidak menyangka bahwa Seongmin akan benar-benar datang seperti yang pemuda itu bilang dichat, sejam yang lalu.

Belum sempat menyapa, Seongmin sudah lebih dulu menaruh sesuatu di samping laptopnya. Sebuah toples berisikan banyak sekali cookies mini. Toplesnya tidak terbuat dari kaca, melainkan plastik mika dengan pita warna pink yang mengelilingi bagian atas dan bawahnya. Pengemasannya cantik, yang membuahkan senyum di bibir Wonjin. Ia lalu bertanya, "Buatku?"

Seongmin mendudukkan diri di samping Wonjin dulu, baru mengangguk. "Iya."

"Wah, makasih. Perhatian banget sih kamu." Wonjin terkekeh, sebelum melanjutkan kembali kerjanya yang dijeda.

Bagaimana tidak perhatian, Wonjin. Kalau itu menyangkut seseorang yang kau suka. Manusia mana pun, Seongmin yakin pasti akan selalu mengusahakan yang terbaik untuk mendapatkan atensi dari sang pujaan hati, dan Seongmin hanya sedang berusaha. Tolong lihat segala perlakuannya padamu dari sudut pandang yang berbeda!

Andai saja Seongmin dapat mengatakan itu. Cari mati, namanya. Status Wonjin yang masih single atau sudah taken saja ia tidak tahu.

Tapi jika pun tidak, akankah acara diam-diam sukanya ini akan terus berlanjut dengan mulus?

Sebuah napas terembus, tak serta merta membawa pergi beban yang ada di hati.

Serba salah.

"Aku tahu Kakak maunya cookies seukuran tangan yang kalau dibelah, keluar coklat meleleh itu."

Tertawa, Wonjin juga mengangguk.

"Tapi di sekitar sini ga ada toko yang jualan itu."

Wonjin menggumam mengiyakan.

"Dan aku, tahu dimana toko yang jual itu."

Telunjuknya berhenti di tombol spacebar, Wonjin melirik lewat sudut mata. "Di mana?"

"Di dalam Mall deket Central Park, baru launching kata temanku, jadi pasti banyak diskon."

"Wah, menarik."

Seongmin sungguh berusaha menahan nada suaranya agar tidak terdengar terlalu riang. Ia membuat gerakan menurun pada bibir agar tidak terangkat ke atas membentuk senyum. Mengalih sebentar dari Wonjin untuk menormalkan degup jantung, setelah itu dia,

"Minggu ini Kakak luang? Kalau iya, kita bisa ke sana."

Wonjin tidak langsung menjawab. Tatap matanya serius selagi jarinya ribut menghasilkan suara tak tak tak. Mungkin sedang menuangkan ilham secepat mungkin agar pemikiran itu tidak keburu kabur. Dan Seongmin sedang berkeringat dingin di sini. Sebulir keringat sebesar biji jagung jatuh menuruni pelipis, raut wajahnya harap-harap cemas seperti orang yang tengah menahan sembelit karena kebanyakan makan cabai. Duh, perutnya jadi mulas.

Menit berlalu sebelum tombol terakhir ditekan kencang pertanda selesai. Seongmin langsung menegakkan posisi duduk, siap mendengar jawabnya. Tapi yang ke luar dari bibir Wonjin adalah,

"Maaf, tadi kamu bilang apa?"

Jangan kecewa Ahn Seongmin! Tadi, Wonjin itu hanya terlalu fokus saja. Tidak apa-apa, ayo ulangi ajakanmu itu. Ya! Begitu.

"Kakak luang Minggu ini?"

Wonjin mengecek kalender di ponsel terlebih dulu, baru kemudian mengangguk. "Ya, aku luang kok. Ga ada kegiatan apa-apa Minggu ini."

Tahan Seongmin, kau tidak boleh merayakan selebrasi dulu sebelum Wonjin menerima ajakan jalanmu.

"Kalau gitu, kalau Kakak masih mau makan cookies yang besar itu. Kita bisa ke Mall yang ada di samping Central Park, Minggu ini."

Ada waktu sebelum Wonjin mengiyakan, dan Seongmin mati-matian menahan raut wajahnya agar terlihat normal.

"Boleh, boleh banget malah." Wonjin tertawa di akhir.

Dan Ahn Seongmin, pulang dengan hati yang berbunga malam itu.

Pada hari Minggunya pun, Seongmin merasa jadi orang paling bahagia di dunia, karena bisa melihat Wonjin dalam balut pakaian casual. Kemeja warna pink pudar yang menutupi kaus putih di dalam serta jeans pas badan yang membentuk kaki, sukses mencuri hati Seongmin untuk yang ke-sekian kali. Entah ada berapa stok hati dalam diri Seongmin. Yang ia tahu dan ia yakini, jika Wonjin meminta semua hatinya, Seongmin akan memberikannya dengan ikhlas.

End.

FeeverhaanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang