***
"Mau minggat kamu, Dek?"
Aku refleks berhenti di depan lemari pakaian, lalu menengok ke arah pintu.
Mas Rimba dengan rambut gondrongnya yang agak ikal, jalan masuk ke kamar, lalu duduk di pinggiran ranjang, tepat di samping tumpukan baju yang akan kumasukkan ke carrier.
"Seneng ya kalau aku minggat?" tanyaku sambil kembali menghadap lemari, mengambil tujuh pasang kaos kaki yang kebanyakan berwarna abu-abu.
"Jangan lah, nanti siapa yang Mas godain?" tanyanya sambil cengar-cengir waktu aku berbalik dan jalan ke arahnya, meletakkan setumpuk kaos kaki di samping tumpukan kaos.
"Mas Alas tuh godain!" balasku menyebut nama kembarannya yang sering diajaknya debat cuma perkara dia suka bikin mie goreng dengan ditambah kuah sedikit, sementara Mas Alas lebih suka kalau benar-benar kering. Atau perkara telur mata sapi yang setengah matang, sama yang matang sempurna.
Mas Rimba malah mendengkus, lalu tangannya meraih satu kaos polos warna coklat, dan digulungnya seperti yang biasa kulakukan kalau packing pakaian tiap diajak Pandu dan Langit nanjak. Trik yang diajarkan Mas Rimba sebenarnya, yang juga hobi nanjak, agar carrier bisa muat banyak barang.
"Berangkatnya lusa kan, Dek?"
Aku cuma mengangguk buat merespon Mas Rimba. Sementara tanganku melakukan apa yang dilakukannya, menggulung kaos satu demi satu.
"Jadi diantar apa dijemput?"
"Mas Alas janji mau antar. Dia kebetulan shift malam." Kali ini aku menyahut meski enggak melihat Mas Rimba.
"Pouch P3K-mu mana?"
"Di luar, masih diisiin sama Mama."
"Kenapa enggak bawa keril yang gedean?"
"Ini juga udah gede," jawabku sambil merujuk ke carrier warna biru dengan ikatan kain tenun khas Timor Leste di sisi kanan, hadiah dari Mas Rimba waktu habis diajak temannya jalan-jalan ke sana. Sementara di sisi kiri ada gantungan boneka beruang dari Mas Alas.
"Biasanya aku pakai yang 45 liter," tambahku.
Mas Rimba cuma mengangguk sekilas, dan lanjut membantuku menata pakaian agar muat masuk ke carrier 65 liter milikku.
"Boleh enggak sih kalau nanti dijengukin?"
Sontak ganti aku yang mendengkus, dan tersenyum geli waktu kontak mata dengannya.
Meski penampilan kedua Masku macho dan gahar, tapi mereka sebenarnya punya hati yang lembut, sangat perhatian, dan selalu mengkhawatirkanku seperti anak kecil.
"Coba aja datang, kalau enggak diomelin papa nanti!"
"Memangnya papa bakal ikut?"
Aku menggeleng. Papa memang enggak akan ikut sejak hari pertama, tapi kudengar beliau akan datang bersama rombongan dosen lain untuk mengunjungi kami. Kata senior sih memang seperti itu kalau dosen senior. Yang disuruh stay menemani mahasiswa ya dosen-dosen yang masih muda.
"Tapi pasti akan ada yang lapor kalau Mas muncul di sana," sahutku tanpa menjelaskan lebih rinci, tapi aku yakin dia sangat paham siapa yang kumaksud.
"Ck! Daya disogok bakso juga luluh!"
Aku kembali mendengkus, kali ini diiringi senyum miring. Seingatku mereka saling kenal karena Pak Daya pernah ke rumah buat ketemu Papa, urusan pekerjaan konon katanya. Enggak mungkin kalau mereka sudah saling kenal dengan sendirinya, karena mereka enggak di ruang lingkup pertemanan yang sama. Bidang mereka jelas berbeda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kuliah Lapangan
Teen FictionBagi kami mahasiswa jurusan Geologi, enggak perlu naik gunung buat tahu sifat asli seseorang. Saat fieldtrip, semua itu sudah mulai terlihat, mana yang bisa diajak kerja sama, dan mana yang enggak. Apalagi saat Kuliah Lapangan, kenapa? Karena selama...